Heboh Pangkalan Militer Asing
Presiden Jokowi dan Menlu Retno Marsudi sudah menegaskan sikap Indonesia tidak akan ada pangkalan asing di Indonesia. Kunjungan Menlu AS Mike Pompeo lebih merupakan silaturahmi sesama teman baik.
Kunjungan ”biasa” Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo ke Jakarta (28-29/10/2020) telah menimbulkan heboh karena munculnya berita ”AS akan membangun pangkalan militer di Indonesia”.
Padahal, Indonesia ”hanya” menjadi negara keempat dari lima negara dalam tour lima hari Pompeo kali ini setelah India, Sri Lanka, Maladewa, dan kemudian Vietnam. Memang kunjungan ini terkesan menjadi ”tidak biasa” karena digambarkan sebagai ”sarat retorika anti-Beijing yang ditujukan kepada Partai Komunis China”.
Upaya negara-negara besar untuk mendapat akses di negara lain untuk mendirikan pangkalan militer bukanlah fenomena modern. Mulai abad ke-20, khususnya masa Perang Dingin, dengan AS dan Uni Soviet sebagai negara adidaya, pangkalan militer dipahami sebagai yang dikenal saat ini, yaitu sebagai ”infrastruktur untuk perang” (infrastructure for wars) yang menyediakan fasilitas personel, logistik, dan persenjataan, serta C3 (command, control and communication).
Upaya negara-negara besar untuk mendapat akses di negara lain untuk mendirikan pangkalan militer bukanlah fenomena modern.
Menurut David Vine (Base Nation, Metropolitan Book, 2015), meskipun AS telah menutup ratusan pangkalan militer di Irak dan Afghanistan, negeri Paman Sam ini masih mempertahankan sekitar 800 pangkalan di lebih dari 70 negara atau teritori di dunia.
Pangkalan militer, mulai dari yang sangat besar yang dikenal sebagai Little America hingga yang mini Lily Pads yang berupa fasilitas radar kecil, tersebar dari Italia sampai Samudra Hindia, dan dari Jepang hingga Honduras, belum termasuk unconfirmed facilities.
Baca juga: Pompeo Bujuk Mitra AS di Asia untuk Membendung China
Semua negara P-5 (anggota tetap Dewan Keamanan PBB) memiliki pangkalan militer di luar negeri. Inggris, Perancis, dan Rusia memiliki sekitar 30 pangkalan/fasilitas: Rusia di 15 negara, Perancis (13), dan Inggris (17). Adapun China, yang mulai ”reachout”, memiliki di Argentina, Myanmar, Tajikistan, dan terakhir di Djibouti.
Memang pada abad ke-21 ini terlihat arah baru peran pangkalan militer, di mana upaya menumpas terorisme dan kemanusiaan menjadi sangat penting, pasca-serangan September 2001. Kent E Calder mengungkapkan (Embattled Garrison, 2007): ”… sejak 9/11 AS menghadapi masalah pangkalan yang kompleks.
Sementara upaya melawan terorisme semakin meluas menjadi arc of instability global dan sekutu-sekutunya menjadi skeptis dan letih, tekanan semakin kuat datang dari Arab Saudi hingga Turki, Korea Selatan, dan lainnya. Tampaknya sesuatu lebih besar dari ’Sindrom Perang Irak’ sedang terjadi…”.
Baca juga: Abraham Accord dan Pemimpin Generasi Baru Arab Teluk
Di Asia Tenggara, setelah ditutupnya pangkalan AS di Clark dan Subic Bay, Filipina (1992) yang tadinya merupakan salah satu yang terbesar di dunia, dan di Cam Ranh Bay, Vietnam Selatan (1972), bukan berarti tidak ada lagi fasilitas asing.
Pangkalan Udara U Tapao (Thailand) sejak 1981 telah menjadi base bagi kegiatan latihan militer AS Cobra Gold, bersama Thailand dan Singapura. Pangkalan ini juga digunakan AS dalam perangnya di Irak (2003) dan menjadi markas multinasional dalam mengoordinasikan bantuan kemanusiaan dalam bencana tsunami di Sumatera (2004).
Pangkalan Udara U Tapao (Thailand) sejak 1981 telah menjadi "base" bagi kegiatan latihan militer AS Cobra Gold, bersama Thailand dan Singapura.
Di Filipina, meskipun AS sudah keluar pada 1992, sejak 2002 ada sekitar 600 tentara AS di tujuh Lily Pads yang membantu pemerintah menghadapi pemberontak di Mindanao Selatan; dan sekitar 6.000 tentara beroperasi sementara dalam rangka latihan militer.
Pangkalan di sekitar RI
Disadari atau tidak, di sekitar Indonesia keberadaan fasilitas militer sudah lama ada meskipun tidak menjadi ”heboh”. Di Malaysia, pangkalan Butterworth digunakan Australia sebagai bagian dari komitmennya dalam Five Power Defence Arrangements (FPDA). Dalam kerangka FPDA juga, di Singapura, AS mengoperasikan fasilitas pelatihan di pangkalan Mountain Home dan Luke.
Sementara Australia mengoperasikan Flying Training School dan Oakey Army Aviation Center. Selain itu, sudah sejak lama Indonesia diapit oleh dua pangkalan bomber AS, yaitu di Diego Garcia, di tengah Samudra Hindia, dan di pangkalan udara Andersen di Guam di Samudra Pasifik, dan di Darwin (Australia).
Tidak heran kalau kunjungan Pompeo diduga dimaksudkan untuk membendung pengaruh China di kawasan Indo-Pasifik.
Dalam konteks pangkalan militer, kunjungan Pompeo ke Vietnam (29-30 Oktober 2020), yang mendadak ditambahkan dalam jadwal kunjungannya, mestinya perlu menjadi perhatian. Selain memperingati 25 tahun hubungan keduanya, seminggu sebelumnya perdana menteri baru Jepang Yoshihide Suga memilih kunjungan pertamanya ke Hanoi.
Bisa jadi AS lebih tertarik karena secara historis pernah mengoperasikan pangkalannya di Cam Ranh Bay, atau juga mengincar sebagian Kepulauan Paracel, yang disengketakan dengan China. Mengikuti Game Theory, hal ini akan mengimbangi pangkalan China di sebagian Kepulauan Spratly, yang disengketakan dengan Filipina (Dian Wirengjurit, AS-China Mau Dibawa ke Mana, Kompas, 1/9/2020).
Baca juga: AS-China, Mau Dibawa ke Mana
Oleh karena itu, dapat dipahami kalau salah satu tujuan Pompeo ke Hanoi konon untuk ”membujuk” Vietnam bergabung ke dalam koalisi QUAD plus (AS, Jepang, Australia, dan India). Gagasan yang diprakarsai oleh PM Jepang Shinzo Abe dan sempat mati suri itu kini dihidupkan lagi. Pada 3-6 November 2020 ini dilaksanakan latihan militer ”Malabar” pertamanya secara lengkap.
Jauh panggang dari api
Dengan demikian, potensi mendirikan pangkalan di Indonesia menjadi ”jauh panggang dari api”. Alasannya, pertama, hal itu tidak secara spesifik dibahas, baik dalam pertemuan dengan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi maupun dengan Presiden Jokowi.
Kedua, Indonesia mungkin menjadi satu-satunya negara yang masih gigih mempertahankan prinsip non-alignment (nonblok) secara konsekuen melalui kebijakan bebas-aktifnya (Dian Wirengjurit, Mendayung di Antara Tiga Karang, Kompas, 18/7/2020).
Baca juga: Mendayung di Antara Tiga Karang
Ketiga, Indonesia bukanlah negara claimant di Laut China Selatan. Bagi Indonesia, menjaga dan mengamankan wilayah teritori Laut Natuna Utara dengan kekuatan sendiri lebih penting daripada mengandalkan pada satu kekuatan besar, yang dalam dinamika geopolitik internasional senantiasa bisa berubah.
Keempat, sesuai dengan semangat ZOPFAN (1971) dan Traktat Bangkok (1995), keberadaan pangkalan asing adalah ”tabu” di Asia Tenggara.
Oleh karena itu, apabila AS atau negara besar mana pun masih ”mimpi” untuk memiliki pangkalan militer di Indonesia, pasti mereka akan ”gigit jari”.
Apalagi, seperti kata Vine, dengan ongkos pemeliharaan sekitar 100 miliar dollar AS per tahun, ”… kita harus mengkaji kembali prinsip-prinsip strategi militer kita, cara kita berhubungan dengan dunia, dan the base nation that America has become.
Presiden Jokowi dan Menlu Retno Marsudi sudah menegaskan sikap Indonesia ”tidak akan ada pangkalan asing di Indonesia”. Lalu apa makna di balik kunjungan Pompeo yang begitu ramai dispekulasikan? Dengan uraian di atas, jawaban yang pas adalah silaturahmi. Bukankah sesama teman baik (close friend), yang terikat dalam kemitraan komprehensif, harus saling bersilaturahmi?
Dian Wirengjurit, Analis Geopolitik dan Masalah Internasional.