Kita Cuma Bisa Ini?
Tak akan selesai dibedah semua kisah, tetapi terbukti manusia itu makhluk sosial yang butuh interaksi fisik dengan sesama. Dengan tingkat kepatuhan yang berbeda, mayoritas publik mengekang diri lebih dari separuh tahun.
”Ampun, pengin banget jalan-jalan.”
Sejak bulan kedua pandemi cetusan itu mulai terdengar di antara kelompok travelling saya yang terbiasa pergi sebulan sekali. Enam bulan pandemi, cetusan senada keluar terbanyak dari jajak pendapat (japat) non-ilmiah yang saya lemparkan dalam beberapa grup Whatsapp (WAG).
Ada yang rindu berkendara ke luar kota, luntang-lantung di metropolitan jiran, menaklukkan puncak gunung, atau mengejar ikan pari di laut. Ada yang mimpi menunggangi yak Tibet sambil menarik ger Mongolia berisi ratu Bhutan yang mengibarkan bendera Olimpiade Tokyo 2020 di antara Montenegro dan Macedonia—mimpi spesifik bin absurd buah kekecewaan batalnya rencana setahun.
Rindu berwisata ternyata menyaingi rindu bersosialisasi dengan orang tak serumah. Sesuatu yang sudah dilontarkan semua orang tanpa japat.
Dari 100-an jawaban japat, mayoritas wanita rindu perawatan tubuh seperti pijat, facial, dan potong rambut. Baik pria maupun wanita kangen bioskop—bertolak belakang dari wacana bahwa layanan streaming akan mematikan sinema.
Beberapa ingin berolahraga di pusat kebugaran, mengajar murid secara tatap muka, menemani anak ke arena permainan, atau jajan di pinggir jalan.
Pencinta seni meratap karena mayoritas museum ditutup sementara pameran besar, kecuali Artjog, dibatalkan. Ansya, praktisi pertambangan di pedalaman Sulawesi, kangen belanja sendiri ke kota tanpa jasa titip.
Tak semua kerinduan bersifat hedonis. Ada yang rindu menghadiri misa dan menerima hosti secara langsung. Seorang ekspat Indonesia di Kanada kangen shalat Jumat berjemaah karena mesjid di kotanya terlalu kecil untuk perjarakan fisik. Komunitas meditasi mengangankan retret, menyatukan fokus sambil bersimpuh bersebelahan.
Beberapa jawaban datang dari relung psikis yang dalam. ”Kangen bisa memeluk teman,” keluh Yohana, wiraswasta. Munar, eksekutif pariwisata, rindu beraktivitas di luar tanpa repot membentengi diri dari ancaman virus—sebuah sentimen yang diamini banyak orang termasuk saya, dan saya angkat di sini Juli lalu.
Lola, ibu muda perantau, ingin mudik menjenguk pusara ibunya yang wafat di awal pandemi. Sunu, perawat ICU, rindu memeluk orangtuanya karena saat Lebaran pun hanya berani mencium tangan dari balik masker medisnya. Dokter Rangge ingin aman membuka WAG tanpa membaca kabar sejawat yang diintubasi, menurun saturasi oksigennya, atau gugur akibat Covid-19.
Tak akan selesai dibedah semua kisah, tetapi terbukti manusia adalah makhluk sosial yang butuh interaksi fisik dengan sesama. Dengan tingkat kepatuhan yang berbeda, mayoritas publik mengekang diri lebih dari separuh tahun. Namun, karena kurva tak jua melandai, makin banyak yang ke luar rumah untuk kerja atau bersosialisasi demi tetap waras.
Sebagian berusaha kuliner dan hortikultura rumahan baru memang demi bertahan hidup. Namun banyak hobi lainnya, termasuk pesepeda dan penjelajah alam dadakan, seolah simbol kebosanan. Yang berpunya bisa mensyaratkan tes usap sebelum dinner party atau ke pulau privat, tetapi berapa yang mampu atau mau begitu?
Bosan berbuah lalai. Bila di awal pandemi ke pasar pun tangan disarung, saat ini berkeliaran dengan masker tergantung.
Lebih dari soal kejenuhan, menciutnya ekonomi adalah masalah riil jutaan rakyat, mulai dari pemilik warteg, pegawai toko, sampai pengusaha otomotif. Berapa pertikaian bisnis karena wanprestasi kontrak, atau hotel yang melego perabot demi arus kas? Berapa orangtua yang menuntut penurunan iuran karena anak belajar dari rumah, sedangkan sekolah harus tetap menggaji guru yang kerja daringnya acap lebih berat?
Berapa usaha yang setelah PHK dan likuidasi aset cuma menyisakan cukup kerangka agar tak kehilangan izin usaha, alias perusahaan zombi?
Belum lagi ranah sosial. Orang bisa menertawakan para lajang yang mengeluhkan sulitnya bertemu kenalan baru saat pandemi, tetapi bagaimana dengan perceraian yang meningkat? Terjadi di China pada bulan Maret, di sini sekarang. Berapa perkerabatan yang merenggang karena sebagian masih mengamalkan protokol kesehatan, sementara sisanya mulai percaya SARS-CoV-2 sudah selesai atau konspirasi?
Bak bandeng presto, dibenam air dan dibekap uap dalam pressure cooker. Semua perselisihan yang selama ini diabaikan merebak ke permukaan. Bedanya bandeng akan nikmat tanpa tulang, kita mungkin cuma akan meledak berhamburan.
Dari 2 kasus dan 0 kematian pada 2 Maret, dalam enam bulan Indonesia membukukan 180.648 kasus dan 7.616 kematian (termasuk 140 anak dan 100 dokter). Tepat delapan bulan, 415.402 kasus dan 14.044 kematian, sementara pengetesan menurun. Ekonomi masuk resesi.
Namun, tetap tak terasa kepemimpinan dan strategi konkret manajemen wabah, baik di daerah maupun di pusat. Rakyat diimbau tidak liburan, tetapi ”hari kejepit” malah diperpanjang dengan cuti bersama. Janji vaksin bertaburan, tetapi miskin kepastian.
Tak cukup tempat untuk mengulik deretan masalah di atas, jadi mari fokus pada vaksin. Katakanlah lampu Aladdin memberikan kita vaksin yang teruji klinis dan disetujui BPOM pada 1 Desember, bakal tersisa 31 hari produksi tahun ini.
Kalaupun bisa memproduksi sejuta vaksin per hari, pada 31 Desember 2020 baru tersedia 31 juta vaksin, hanya cukup untuk 11,5 persen dari 270 juta populasi.
Agar seluruh populasi minimal tervaksin sekali pada 2021, sekitar 750.000 orang harus divaksin per hari antara 1 Januari dan 31 Desember 2021. Punyakah kita infrastruktur untuk ini? Pembagian santunan Lebaran untuk 1.000-2.000 orang saja sering kacau di lapangan. Lalu bagaimana kalau perlu divaksin dua kali sebelum ampuh? Bagaimana bila lampu Aladdin, maksud saya vaksin, tak lekas ketemu?
Marah? Saya mulai takut. Di tiap WAG, ada yang mengaku sudah pengap bermasker. Saya takut mereka menyerah berdisiplin. Takut bahwa pada suatu titik ramai tenaga kesehatan mengundurkan diri.
Takut bahwa sekian bulan dari sekarang pemerintah tetap gagap tanggap sementara rakyat kian acuh dan egois, dan akhirnya kita menjadi persilangan Sons of Anarchy dan The Walking Dead versi surga pulau tropis. Sudah 75 tahun merdeka dan delapan bulan pandemi, apakah Indonesia hanya bisa ini?
Jakarta, 5 November 2020
Lynda Ibrahim, Konsultan Bisnis dan Penulis