Kartun Nabi dalam Paradoks Eropa
Mudah ditebak, sikap keras Macron terhadap kaum pendatang, terutama imigran Muslim, dimaksudkan untuk menarik suara dari pendukung partai sayap kanan ini.
Seorang remaja Perancis asal Chechen, Rusia, nekat membunuh dengan cara memenggal kepala seorang guru SMP, Samuel Paty, di pinggiran Paris, karena ia dianggap menghina Islam. Beberapa hari sebelumnya, guru sejarah itu memberikan pelajaran kebebasan berpendapat dengan mengambil contoh kasus kartun Nabi Muhammad.
Dua minggu kemudian, tiga orang ditusuk dan dipenggal di dalam Gereja Notre Dame di kota Nice. Pelakunya Brahim, keturunan Tunisia. Meski dua peristiwa itu terjadi di tempat berbeda, penyebabnya sama: kemarahan disulut kartun Nabi.
Di Perancis, juga negara lain di Eropa, kartun Nabi memang sangat kontroversial. Bagi umat Islam, sosok Nabi tak boleh divisualkan, apalagi dikartunkan dengan aroma olok-olok. Tetapi, dengan dalih kebebasan pers dan berekspresi, beberapa negara Eropa tak sekali dua memuat kartun Nabi di media publik. Sebut saja, koran Denmark, Jyllands-Posten, memublikasikan wajah rekaan Nabi Muhammad pada 2005.
Di Perancis, juga negara lain di Eropa, kartun Nabi memang sangat kontroversial.
Dengan alasan sama, majalah Perancis, Charlie Hebdo, memuat kartun itu pada 2006 dan 2015. Penerjemahan bebas atas kebebasan berekspresi itu sudah berakibat nyata: kekerasan berbuah kekerasan. ”Kekerasan lisan dan tulisan” memantik kekerasan fisik.
Isu imigran
Sejatinya bumi Eropa adalah ranah tempat tumbuhnya peradaban non-kekerasan, setelah diluluhlantakkan oleh kenistaan Perang Dunia II yang tak terperi. Tetapi, kenapa sejak publikasi kartun Nabi di Denmark pada 2005 Eropa menjadi tempat berpusarnya siklus kekerasan? Seolah ada paradoks antara idealisme Eropa dan realitas sosial-politiknya.
Gejala kekerasan ini dapat disigi setidaknya dari tiga perspektif. Pertama, perspektif ideologis Uni Eropa. Dalam artikulasi politik luar negerinya, entitas regional ini memproyeksikan nilai dan adab Eropa ke seantero dunia.
Termaktub dalam Mukadimah Lisbon Treaty 2009, ada lima nilai (jamak dirujuk sebagai ideologi Eropa) yang dipromosikan: kebebasan, demokrasi, persamaan hak, kemanusiaan, dan supremasi hukum. Kelima nilai itu diproyeksikan berlandaskan pada warisan kebajikan dan peradaban Eropa yang berbudaya, religius, dan berprikemanusiaan.
Nilai itu sudah menjadi mantra Uni Eropa bagi politik dalam dan luar negerinya. Kebebasan berekspresi menjadi alasan pembenar atas publikasi kartun Nabi. Tetapi, bukankah kebebasan juga mengandung anasir tanggung jawab jika ia dilihat dalam konteks sosio-politik?
Menghargai keyakinan dan kepercayaan orang lain (baca: agama) intrinsik di dalamnya terkandung kebajikan yang berbudaya dan religius. Manakala kebebasan berekspresi tidak dikait-laraskan dengan landasan kebajikan yang berbudaya dan religius—seperti titah Lisbon Treaty—niscaya meletuplah kemarahan. Kekerasan pun muncul. Tatkala ada letupan amarah dengan kekerasan akibat kartun Nabi, sebenarnya kita sedang menyaksikan paradoks Eropa dalam melakoni nilai idealnya dalam tataran praksis.
Kedua, ditilik dari teropong politik kebudayaan Eropa, isu imigran sungguh dilematis bagi Eropa. Berpegang pada nilai kemanusiaan sesuai amanat Lisbon Treaty, Perancis membuka pintu bagi pendatang dari Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia Tengah.
Namun, justru karena kebijakan kemanusiaan ini, Eropa terpapar pada problem sosial-politik yang pelik: integrasi sosial. Bagaimana rawannya isu imigran dan integrasi sosial di Perancis bisa dirujuk balik pada kerusuhan rasial yang meletus pada Oktober 2005.
Namun, justru karena kebijakan kemanusiaan ini, Eropa terpapar pada problem sosial-politik yang pelik: integrasi sosial.
Kasatmata peristiwa itu sepertinya hanya masalah perebutan rezeki dan lapangan kerja antara penduduk lokal dan warga pendatang. Tak sesederhana itu. Pelaku kerusuhan itu adalah pengangguran asal Afrika Utara yang mayoritas Muslim. Tak pelak, atribut Muslim yang disematkan pada pelaku kerusuhan memicu sentimen anti-pendatang, lebih spesifik lagi: anti-Islam.
Kemarahan, kerusuhan, dan kekerasan itu kemudian dikaitkan dengan etnik, ras, dan agama tertentu. Muncul sentimen anti-Islam. Sesungguhnya kohesi sosial di Perancis masih menjadi masalah, jauh dari disebut tuntas. Dunia terkesima melihat pesatnya perluasan anggota Uni Eropa (UE) pasca-Perang Dingin. Akademia Hubungan Internasional sering merujuk UE sebagai cerita sukses integrasi ekonomi dan harmonisasi hukum.
Itu bisa terjadi karena UE menerapkan EU Common Policy di bidang ekonomi dan hukum. Tetapi, lain halnya di bidang sosial. Pengamat UE, Chris Rumford, menengarai kemajuan integrasi di bidang ekonomi yang didorong pasar tunggal tak serta-merta diikuti integrasi sosial (European Cohesion? Contradiction in EU Integration, MacMillan Press, 2000).
Bisa dimaklumi jika integrasi sosial di UE berjalan lamban karena isu imigrasi erat terkait dengan sentimen sosio-kultural masyarakat Eropa, antara penduduk lokal dan pendatang. Perancis mau menerima pendatang dan pengungsi karena sesuai nilai ideal UE: kemanusiaan. Tetapi, imigran ini justru menimbulkan masalah sosial. Dalam situasi paradoks seperti inilah isu kartun Nabi mencuat kembali. Maka tak ayal, mengangkat kembali isu sensitif itu bak melempar bara ke dalam sekam kecemburuan sosial.
Faktor Macron
Ketiga, dalam perspektif politik domestik, isu imigrasi di Eropa ternyata bukan melulu masalah sosial-ekonomi. Beberapa tahun terakhir ia merambah masuk ke ranah politik domestik. Harian New York Times (29/10) mengungkap hal menarik: perbedaan sikap antara dua presiden Perancis, Jacques Chirac (1995-2007) dan Emmanuel Macron (presiden sekarang), terhadap kartun Nabi.
Ketika kasus kartun Nabi meledak pertama kali di Perancis pada 2006, tak setuju dengan publikasi itu, Chiraq menyatakan salah satu fondasi negara Perancis adalah ”toleransi dan menghormati semua agama/kepercayaan”. Bandingkan dengan sikap Macron yang cenderung membela publikasi kartun Nabi dengan menyatakan itu bagian dari kebebasan berekspresi dan hak menghujat (right of blasphemy).
Memang dalam beberapa tahun terakhir, bandul politik Eropa berayun ke kanan.
Banyak pihak menduga sikap Macron yang cenderung keras terhadap Islam ini tidak terlepas dari upayanya untuk menangguk suara pada Pilpres 2022. Memang dalam beberapa tahun terakhir, bandul politik Eropa berayun ke kanan.
Artinya, partai sayap kanan yang anti-imigran semakin meningkat suaranya di beberapa negara Eropa. Mudah ditebak, sikap keras Macron terhadap kaum pendatang, terutama imigran Muslim, dimaksudkan untuk menarik suara dari pendukung partai sayap kanan ini.
Manuver politik para elite untuk meningkatkan suara pendukung sah saja dalam kompetisi politik. Sama sahnya ketika para elite politik mengambil simpati kelompok tertentu dengan cara bersikap keras pada kelompok lain. Namun, ketika sikap keras itu sampai mencederai toleransi, keberagaman, dan kepercayaan/agama kelompok tertentu, yang muncul adalah kemarahan.
Meskipun kemarahan dan kekerasan juga tak dibenarkan dalam politik yang berbudaya, sikap politik yang mengulik sensitivitas agama kelompok tertentu, apalagi oleh kalangan elite politik, justru akan menghadirkan paradoks dalam politik Eropa yang menjunjung nilai kemanusiaan, keberagaman, kebebasan, dan demokrasi.
(Darmansjah Djumala Diplomat; Dosen S-3 Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung)