Kekerasan mematikan di Austria hanyalah noktah dari cepatnya perkembangan paham radikalisme di dunia. Perlu upaya bersama untuk menyukseskan program deradikalisasi dengan melihat secara utuh akar radikalisme.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Upaya deradikalisasi bagi anggota kelompok keras belum memuaskan. Metode dan model baru dibutuhkan agar lebih efektif membalikkan mindset pesertanya.
Peristiwa yang menyebabkan empat orang tewas di Vienna, Austria, pada Senin (2/11/2020) dilakukan oleh Kujtim Fejzulai (20), simpatisan milisi Negara Islam di Irak dan Suriah dan berkewarganegaraan ganda Austria-Macedonia Utara. Ia sempat mengikuti program deradikalisasi. Fejzulai ditembak mati oleh polisi.
Program deradikalisasi di Vienna (Derad) dikelola oleh 13 mentor, bekerja sama dengan individu yang diduga menjadi radikal atau telah menjalani hukuman terkait teror. Program ini memungkinkan pihak berwenang memantau individu yang berpotensi menimbulkan risiko ke depan.
”Namun, faktanya, teroris berhasil mengelabui program deradikalisasi Kementerian Kehakiman. Kita perlu mengevaluasi dan mengoptimalkan sistem di sisi peradilan,” kata Menteri Dalam Negeri Austria Karl Nehammer.
Direktur Derad Moussa Al-Hassan Diaw membantah laporan media Austria bahwa kantornya telah menyatakan Kujtim Fejzulai bukan ancaman dan ia yang menjamin pembebasannya. Nyatanya, Fejzulai dibebaskan dari penjara pada Desember 2019 dengan persyaratan lebih lunak. Memang, kita pun sulit mengukur keberhasilan upaya deradikalisasi.
Nehammer menyatakan, aparat intelijen Austria telah menerima informasi dari badan intelijen Slowakia pada bulan Juli. Namun, ada kelengahan intelijen yang diduga akibat masalah komunikasi. Antara tahun 2012 dan 2014, ratusan pemuda Austria pergi ke Suriah dan perekrutan mereka difasilitasi oleh sebuah jaringan yang berbasis kota, terutama di kota Graz. ”Sebelum serangan teror terjadi, menurut informasi yang saat ini tersedia, ada beberapa hal yang juga telah terjadi,” katanya (Kompas.id, 6/11/2020).
Selain agama, terorisme juga lebih banyak terkait dengan ketidakadilan dan kemiskinan. Upaya deradikalisasi juga tidak semata terkait dengan perubahan mindset, tetapi juga kesejahteraan para mantan kelompok radikal. Mantan pelaku bom Bali 1, Ali Fauzi, mengatakan, akar ekstremisme kekerasan tidaklah tunggal, tetapi saling berkaitan, sehingga untuk mengobatinya pun tidak bisa dengan metode tunggal.
Menurut Ali, deradikalisasi berjalan lebih pelan dibandingkan dengan perekrutan pelaku teror. ”Perlu proses panjang saya bisa seperti ini. Pertemuan dengan korban terorisme telah menghancurkan ego dan membuka hati saya. Saya melihat sendiri dampak besar dan tragis serangan teror terhadap korban dan keluarganya,” kata Ali, yang sejak 2011 melakukan upaya deradikalisasi dengan membentuk yayasan.
Kasus Fejzulai di Austria hanyalah noktah dari cepatnya perkembangan paham radikalisme di dunia. Perlu upaya bersama untuk menyukseskan program deradikalisasi dengan melihat secara utuh apa yang sebenarnya menjadi akar masalah munculnya radikalisme.