Ekonomi dan Stok Pengetahuan
Pasar domestik tak cukup sebagai pengungkit skema ekonomi berbasis pengetahuan. Harus menjangkau pasar yang lebih luas. Investasi teknologi informasi mesti merambah seluruh pelaku ekonomi.
Pada 16 Oktober 2020 lalu, saya diundang hadir pada diskusi terkait isu vital: ekonomi berbasis pengetahuan atau EBP (knowledge-based economy). Diskusi diselenggarakan Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia.
Topik ini bukan perkara baru karena percakapan terkait EBP sudah muncul sejak tiga dekade lalu. Penerapan kegiatan ekonomi yang bersentuhan dengan pengetahuan kian kencang sejak masa teknologi dan informasi (internet) menjelajah ke seluruh lekuk kehidupan. Ketika ekonomi kreatif jadi kosakata baru dalam perbincangan ekonomi, saat itu pula relevansi pengetahuan tak bisa lagi ditampik.
Baca juga:Meredam Ongkos Resesi
Diksi kreatif tak ada urusan dengan faktor produksi konvensional (modal, tanah, tenaga kerja/yang mengandalkan otot), tetapi seutuhnya berkelindan dengan gagasan. Ia juga tak lagi dibatasi lokasi (pabrik atau semacamnya), tetapi melampaui ruang (beyond space).
Topik ini bukan perkara baru karena percakapan terkait EBP sudah muncul sejak tiga dekade lalu.
Babakan pembangunan
Sejarah pembangunan bisa dibagi dalam banyak babakan, tetapi sekurangnya empat fase ini bisa jadi informasi umum atas perjalanannya. Pada abad merkantilisme, yang kemudian dilanjutkan periode kolonialisme dan imperialisme, kesejahteraan diperoleh lewat penguasaan sumber daya ekonomi (alam). Kaum yang memiliki dan menguasai SDA punya keunggulan mengakumulasi kesejahteraan.
Ekspansi ekonomi dilakukan lewat penaklukan sehingga melahirkan penjajahan. Negara berlimpah SDA berjaya awalnya, tetapi setelahnya alpa mengurus pengembangan ekonomi yang tak bersandar dari pemberian Tuhan ini. Akibatnya, derajat ekonomi merosot begitu sumber daya ekonomi terkikis. Muncul istilah kutukan SDA (resource curse hypothesis) dan Penyakit Belanda (Dutch Disease).
Baca juga: Peluang Meminimalkan Resesi
Setelah faktor di atas gugur, ditengarai pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh tingkat kepadatan penduduk. Negara dengan intensitas penduduk rendah dianggap memiliki peluang menyejahterakan rakyatnya. Kegiatan ekonomi negara dengan kepadatan penduduk tinggi berada di level subsistensi karena rendahnya rasio penduduk dan lahan (man-land ratio).
Namun, fakta ini terbantah sebab negara dengan kerapatan penduduk penuh, seperti Jepang dan Hong Kong, punya tingkat pendapatan per kapita tinggi. Brasil dan Rusia yang kepadatan penduduknya relatif rendah pendapatan per kapitanya lebih kecil ketimbang Swiss atau Jerman.
Pandangan mutakhir menganggap teknologi sebagai faktor penjelas suatu negara bisa mengakumulasi kekayaan dan pertumbuhan ekonomi. Teknologi membawa suatu negara selalu bisa memperbarui kegiatan ekonomi menjadi efisien dan membuat pekerjaan lebih produktif. Inilah pangkal rujukan dari abad knowledge-based economy.
Tidak berhenti di situ, dalam dua dekade terakhir, muncul diskursus lebih pekat soal pentingnya faktor kelembagaan (institutions) sebagai variabel yang mendorong pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Berpacu dengan Resesi
Kelembagaan—berbeda dengan faktor pendidikan, SDA, penduduk, dan teknologi—dipandang bisa menerangkan fenomena perbedaan pencapaian kemajuan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) antarnegara. Acemoglu dan Robinson (2012) menyebutkan kelembagaan sumber terpenting yang menentukan suatu negara/bangsa gagal atau maju perekonomiannya.
Negara yang kelembagaannya inklusif cenderung kinerja ekonominya bagus. Sebaliknya, negara yang kelembagaannya jeblok/ekstraktif, kinerja ekonominya buruk, misalnya pertumbuhan ekonomi tidak berlanjut, produktivitas yang rendah, dan kesejahteraan ekonomi terpuruk.
Negara yang kelembagaannya inklusif cenderung kinerja ekonominya bagus.
Destruksi kreatif
Negara yang berhasil menggabungkan EBP dengan kelembagaan yang solid terbukti menghasilkan capaian gemilang, misalnya Korsel dan Finlandia. Sekurangnya terdapat lima karakter pokok dari negara yang mengombinasikan keduanya. Pertama, mengonstruksi karakter manusia yang berorientasi ke penciptaan, bukan pengekor. Tujuan inovasi melampaui efisiensi (di tahap awal).
Baca juga: Menulis Indonesia 2045
Kedua, pendidikan formal dan informal ditujukan menambah stok pengetahuan (kedalaman terhadap bidang yang ditekuni), bukan gelar kesarjanaan. Ketiga, insentif kelembagaan inovasi mesti lebih besar ketimbang aturan main spesialisasi, baik pada lingkup negara, korporasi, maupun komunitas.
Keempat, alokasi dan jenis kegiatan di dalam mata anggaran publik dirombak supaya menghasilkan inovasi. Kelima, institusi pendidikan dan riset jadi jangkar ekonomi. Ia memimpin sekaligus mendorong arah pembangunan.
Model produksi pada masa lalu mengandalkan pembagian kerja/spesialisasi agar produktivitas tenaga kerja meningkat. Terkait kelembagaan, tugas terpenting yang harus dikerjakan agar muncul spesialisasi adalah menciptakan aturan main yang efisien (Yeager, 1999). Indikator vital efisiensi kelembagaan bisa dilihat dari tinggi/rendahnya biaya transaksi.
Terdapat dua jalur yang jamak dilakukan. Pertama, membuat regulasi (formal maupun informal) yang menjamin kepastian pelaku ekonomi melakukan transaksi. Kedua, memperkuat sistem penegakan jika terjadi masalah dalam proses transaksi. Biaya transaksi yang rendah akan memperbesar pasar karena kenaikan permintaan. Selanjutnya, dorongan pasar yang kian besar inilah yang menuntut pembagian kerja. Ujungnya, spesialisasi memacu tingkat produktivitas dan menjadi sumber utama pertumbuhan (kinerja) ekonomi.
Baca juga: SDM Nasional dan Transaksi Berjalan
Kelembagaan semacam itu masih penting, tetapi kian kehilangan relevansi sejak endogenous technical change theory yang bersandar teknologi dan inovasi jadi tulang punggung ekonomi (Maradana et al, 2017). Schumpeter memperkenalkan konsep creative destructive untuk menjelaskan kebutuhan ’merusak’ konsep lama digantikan penciptaan baru, khususnya yang bertujuan menangkap peluang, metode produksi dan transportasi, desain pasar, dan bentuk baru dari organisasi industrial.
Indikator vital efisiensi kelembagaan bisa dilihat dari tinggi/rendahnya biaya transaksi.
Implikasinya, operasionalisasi kelembagaan dalam pendekatan dinamis ini berbeda dengan kasus pertumbuhan statis. Kelembagaan (aturan main) dalam pendekatan dinamis fokus mengubah perilaku organisasi agar terjadi perubahan dan peningkatan teknologi sehingga produk yang dihasilkan kompetitif di pasar. Peran terpenting kelembagaan adalah mendesain aturan yang membuat korporasi punya insentif melakukan proses ”perusakan kreatif”, yang bertepi pada penemuan teknologi baru dan picu pertumbuhan ekonomi.
Transformasi sosial
Lebih dari 25 tahun silam, John Elkington (1994) mengenalkan konsep Triple Bottom Line (People, Planet and Profit). Pada masa itu juga berkibar arus pembangunan yang meletakkan pertumbuhan ekonomi sebagai capaian utama. Promosi pertumbuhan ekonomi sebagai agenda pembangunan marak sejak dekade 1950-an sehingga semua negara memberi target tunggal pada perolehan ini. Hasilnya tak mengecewakan, pertumbuhan ekonomi melesat dan kesejahteraan ekonomi meningkat.
Baca juga: Akselerasi Pemulihan Ekonomi
Namun, soal yang segera mengintip dengan terang ialah ketimpangan menyeruak dan lingkungan terkoyak. Korporasi yang bekerja di bawah payung ideologi pertumbuhan ekonomi itu berjalan dengan prinsip sama: mengakumulasi laba. Elkington mengamati praktik itu dengan jernih sehingga mengeluarkan maklumat pentingnya menjaga traktat keseimbangan kepentingan segi tiga hidup: manusia (sosial), semesta (lingkungan), dan ekonomi (laba).
Konsep ini awalnya bekerja dalam level mikro (korporasi), yakni kerangka kerja perusahaan yang mendasarkan operasi pada implikasi sosial, lingkungan, dan ekonomi. Konsep profit tak dimaksudkan sekadar aspek finansial, tetapi keseluruhan faedah: prosperity (kesejahteraan). Lelaku pada level perusahaan didorong tak hanya mengakumulasi laba, tetapi memberikan semua komitmen untuk menjaga kemekaran lingkungan dan kemasalahan manusia.
Isu sosial dan ekologi jadi basis produksi. Kinerja korporasi pun mesti berubah, tak hanya diukur dari kesehatan finansial. Pengukuran efisiensi investasi tak cuma dari pendapatan yang diperoleh (ROI), tetapi diturunkan ke variabel lebih luas, SROI (social return on investment) dan fokus investor/analis ekonomi lebih diutamakan ke ESG (environmental, social, and governance).
Konsep ini kemudian diangkat ke level makro (negara): memandu pembangunan yang fokus pada pencapaian ekonomi, sosial, dan lingkungan. EBP punya potensi jadi sumber ketimpangan baru apabila alas pendidikan dan stok pengetahuan tak diatur dengan saksama, yakni hanya dinikmati lapisan atas masyarakat. Pada titik ini, EBP menjadi pendorong transformasi sosial apabila adaptif dengan fondasi pembangunan yang meletakkan manusia, lingkungan, dan ekonomi pada posisi setara.
Konsep profit tidak dimaksudkan sekadar aspek ”finansial”, tetapi keseluruhan faedah: prosperity (kesejahteraan).
EBP pada masa depan sangat penting untuk memastikan agar perkara yang terkait dengan penciptaan lapangan kerja, pemerataan pembangunan, kedaulatan dan kemandirian ekonomi, dan kelestarian lingkungan terjaga dengan baik.
EBP inklusif adalah keniscayaan yang harus diperjuangkan bagi pencapaian model pembangunan ekonomi yang tak menimbulkan luka sosial dan destruksi ekologi. Pemahaman pada aspek ini penting karena basis EBP ialah kewirausahaan/knowledge based enterpreneurship (Mortazai and Bahrami, 2012).
Kapabilitas organisasi
Narasi di atas mesti diterjemahkan dalam wujud strategi dan rencana aksi yang konkret agar bisa dieksekusi secara sistematis. Salah satunya, penyiapan kualitas warga negara dalam bentuk pemerataan literasi yang tegak. Proses pembelajaran dan kurikulum digeser ke intensi ”daya baca” dan invensi.
Pekerjaan rumah ini bakal panjang, tetapi mesti dicicil sejak saat ini, bahkan sekarang pun sudah terlambat. Konsep Merdeka Belajar yang dicanangkan Kemendikbud adalah ruang baru yang bisa dikaitkan dengan tujuan besar EBP.
Siswa mendalami bidang yang jadi minat dan keahliannya. Mereka adalah subyek belajar yang difasilitasi peningkatan kemampuan literasinya terus-menerus. Pada ujungnya mereka akan jadi kelompok creative destruction pada wilayah kerja masing-masing. Jika ini terpantulkan dengan kuat, invensi menjadi keniscayaan pada cabang kerja sektor publik maupun privat.
Bila invensi jadi kebutuhan dan cara pandang baru, orientasi dan kapabilitas organisasi (publik dan privat) mesti digeser dari konsentrasi ke efisiensi menjadi praktik yang menekankan pembukaan ruang inovasi dan penghargaan terhadap penemuan. Aturan main (kelembagaan) diarahkan mengubah perilaku organisasi/korporasi yang melebarkan ruang bagi munculnya inovasi dan perkembangan teknologi.
Baca juga: Indonesia Butuh Inovasi Kebangsaan
Kultur riset di lembaga pendidikan dan penelitian difokuskan memproduksi temuan yang menyokong aktivitas ekonomi. Korporasi memberikan alokasi anggaran riset lebih besar sebagai investasi inovasi, seperti praktik lazim di negara maju. Kelembagaan di sektor publik harus didekonstruksi melalui desain struktur birokrasi yang landai (flat). Penyebaran sumber daya fungsional lebih dominan ketimbang struktural.
Kultur riset di lembaga pendidikan dan penelitian difokuskan memproduksi temuan yang menyokong aktivitas ekonomi.
Pilar terakhir EBP adalah jejaring ekonomi (produksi, distribusi, konsumsi). Perekonomian berjalan dengan kerumitan dan persinggungan antarpelaku yang kian tinggi sehingga tak mungkin dikerjakan tanpa membangun jejaring. Jejaring ini mengaitkan dengan aneka pemangku kepentingan, aktor dan institusi global, dan pemanfaatan teknologi informasi. Pemangku kepentingan bersinggungan dengan daya dukung untuk mengarusutamakan pengetahuan, inovasi, dan teknologi informasi sebagai tulang punggung aktivitas ekonomi.
Pasar domestik tak cukup sebagai pengungkit pada skema EBP. Harus menjangkau pasar lebih luas. Implikasinya, aktor dan institusi di level global jadi faktor penarik berjalannya ekonomi berbasis pengetahuan. Investasi teknologi informasi mesti merambah seluruh pelaku ekonomi. Seluruh gerak ini akan menjadikan pengetahuan kredo baru perekonomian.
(Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB UB dan Ekonom Senior Indef)