Perubahan politik di Timur Tengah sangat berarti bagi Indonesia dan perlu terus mencermati dinamika perkembangannya, serta lebih aktif melobi negara-negara Arab agar tidak meninggalkan perjuangan bangsa Palestina.
Oleh
TRIAS KUNCAHYONO
·5 menit baca
Sejak Revolusi Musim Semi 2011, peta politik Timur Tengah terus berubah; dan akan terus berubah. Revolusi Musim Semi telah menyingkirkan para pemimpin kuat, otoriter di sejumlah negara Arab—Tunisia, Mesir, dan Libya—dan memunculkan pemimpin baru, walau di Mesir, misalnya, bisa dikatakan ”tidak berubah”, ibarat kata ”anggur lama botol baru.” Sementara Libya masih terus bergolak, sama seperti Suriah. Beberapa negara Arab lainnya berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan, seperti Arab Saudi, Jordania, dan negara-negara Arab Teluk.
Perubahan peta politik besar terakhir adalah terbangunnya hubungan diplomatik Israel dengan Uni Emirat Arab (Agustus), lalu dengan Bahrain (September), dan terakhir dengan Sudan (Oktober). Dalam waktu relatif pendek, tiga negara Arab berdamai dengan Israel. Tentu, masing-masing dengan alasan sendiri-sendiri sesuai kepentingan nasionalnya.
Sejak Revolusi Musim Semi 2011, peta politik Timur Tengah terus berubah; dan akan terus berubah.
Dengan demikian, kini sudah lima negara Arab—Mesir (1979), Jordania (1994), UEA (2020), Bahrain (2020), dan Sudan (2020)—yang meninggalkan status perang dengan Israel. Mereka telah melanggar Deklarasi Khartoum (1967) yang disepakati negara-negara Liga Arab setelah Perang 1967 dengan Israel.
Deklarasi (resolusi) ini lebih dikenal dengan sebutan Three No’s Declaration atau Three No’s Resolution, yakni tidak (no) berdamai dengan Israel, tidak (no) mengakui Israel, tidak (no) mengadakan perundingan dengan Israel. Kini Three No’s itu telah berubah menjadi Three Yes.
Tentu, diakhirinya ”permusuhan” dengan Israel juga melanggar ”Konsensus Arab” yang telah lama dipegang negara-negara Arab. Menurut konsensus itu, mereka hanya akan menjalin hubungan dengan Israel apabila Israel mundur dari wilayah pendudukan yang direbut pada Perang Enam Hari (1967); apabila Israel menyetujui Jerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina; apabila masalah pengungsi Palestina bisa diselesaikan. Karena itu, Palestina menilai langkah negara-negara itu telah mengkhianati Konsensus Arab.
Muncul spekulasi, sejumlah negara Arab lain mungkin akan mengikuti jejak Sudan. Memang beberapa negara Arab, seperti Qatar, Kuwait, dan Aljazair, secara kategoris menolak kemungkinan membangun hubungan diplomatik dengan Israel secara penuh selama masalah Palestina belum selesai. Negara lain, seperti Libya, Suriah, dan Irak, masih sibuk mengurusi persoalan domestik yang ruwet dan pelik.
Sementara Arab Saudi, Oman, Mauritania, Maroko, dan juga Tunisia bukan tidak membuat kejutan meski Arab Saudi akan sangat berhati-hati, bahkan cenderung ”malu-malu kucing”, sedangkan ”hawa” Tunisia lebih Perancis (sebagai negara bekas jajahan Perancis) ketimbang Arab. Ini yang kemungkinan akan menjadi penyebab terbangunnya hubungan dengan Israel. Timur Tengah selalu memberikan kejutan.
Israel-Sudan
Banyak faktor saling menguntungkan yang mendasari terbangunnya hubungan Israel dan UEA. Keduanya sama-sama merasakan bahwa Iran merupakan ancaman eksistensial bagi mereka. Karena itu, kedua negara menjalin kerja sama keamanan selain ekonomi, turisme, dan riset medis. Kedua negara juga memiliki sejarah kerja sama selama bertahun-tahun.
Sudan tak memiliki sejarah hubungan kerja sama yang signifikan dengan Israel. Karena itu, sebenarnya insentif langsung dari hubungan bilateral dengan Israel terbatas. Terhadap Iran pun, Sudan tak merasa terancam. Bahkan, Sudan pernah jadi sekutu Iran dan dijadikan sebagai ”jalan” untuk mengirimkan senjata dari Iran ke Hamas di Gaza meski kemudian Sudan berpindah haluan dekat dengan negara-negara Arab yang disebut moderat, Arab Saudi dan UEA.
Bahkan, pada 2015, Sudan bergabung dengan koalisi pimpinan Arab Saudi berperang di Yaman. Tentu ini merusak hubungannya dengan Iran, yang ada di pihak lain. Meski dekat dengan Arab Saudi, Sudan tetap memelihara hubungan baik dengan Qatar dan Turki. Dan, setelah revolusi April 2019, penggulingan ’Umar Hasan Ahmad al-Basyir, Sudan berubah (Asher Lubotzky, 2019) dan memilih jalan moderat. Negara itu kini dikendalikan oleh militer dan sipil secara bersama.
Kaum militer yang berkuasa jadi penentu dibangunnya hubungan dengan Israel. Mereka yang di zaman Bashir berkuasa tangannya juga berlumur darah—genosida Darfur (mulai Februari 2003), perang dengan Sudan Selatan (1955-1972, 1983-2005), dicap negara sponsor terorisme—ingin membersihkan diri. Reputasi sebagai negara paria hendak dibuang. Mereka, terutama militer, ingin memutus hubungan dengan rezim Bashir yang kotor.
Keinginan ini disambut AS—digunakan Trump untuk mencari simpati sebelum pemilu—dengan menjanjikan menghapus Sudan dari daftar sebagai negara sponsor terorisme. Syaratnya, menjalin hubungan dengan Israel dan membayar ganti rugi pada AS akibat serangan Al Qaeda (pengeboman Kedubes AS di Kenya dan Tanzania 1998 serta serangan terhadap USS Cole di dekat Yaman tahun 2000).
Kaum militer yang berkuasa jadi penentu dibangunnya hubungan dengan Israel.
Para pemimpin militer Sudan diberitakan menyetujui normalisasi hubungan dengan Israel dan sebagai gantinya mendapat paket bantuan 4 miliar dollar AS dari Israel (The New York Times, 9/9/2020).
Sementara Israel memperoleh keuntungan strategis dengan menjalin hubungan dengan Sudan yang halaman depannya menghadap Laut Merah, yakni mengamankan rute maritim ke Eilat—pelabuhan laut Israel di Laut Merah dekat Jordania—dan menghadang pengiriman senjata Iran ke Gaza.
Sikap Indonesia
Perubahan peta politik ini tentu sangat berarti bagi Indonesia sebagai negara yang sangat mendukung penyelesaian masalah Palestina lewat solusi dua negara dan kemerdekaan Palestina. Indonesia perlu terus mencermati perkembangan di Timteng dan lebih giat lagi menggerakkan upaya penyelesaian masalah Palestina, lewat berbagai jalur dan forum internasional, agar tak tersapu kepentingan pragmatis sejumlah negara Arab yang menjalin hubungan dengan Israel.
Indonesia, sebagai negara yang lebih dipercaya Palestina ketimbang negara-negara Arab dalam memberikan dan memperjuangkan dukungannya, perlu lebih aktif (mungkin agresif) untuk melobi negara-negara Arab, terutama Arab Saudi dan UEA (juga Turki dan Qatar), agar tak meninggalkan perjuangan bangsa Palestina. Dan, mendesak mereka agar menggunakan hubungannya dengan Israel untuk ”memaksa” Israel menyelesaikan masalah Palestina. Sebab, Israel pun sangat membutuhkan negara-negara Arab untuk bisa hidup secara wajar sebagai sebuah bangsa dan dalam menghadapi Iran.