Minimnya kewenangan lembaga independen, seperti KPK, dalam memonitor dan mengawasi persoalan pengadaan alutsista membuat proses pengadaannya rawan penyimpangan.
Oleh
AL ARAF
·5 menit baca
Pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020. Undang-undang ini regulasi pertama di Indonesia yang menggunakan skema omnibus law untuk mengubah aturan di berbagai sektor, termasuk salah satunya pada sektor pertahanan.
Khusus kluster pertahanan, politik hukum pengaturan dan penataan bidang pertahanan menunjukkan kecenderungan upaya liberalisasi sektor pertahanan dengan memberikan ruang yang sangat besar bagi swasta terlibat jauh dalam industri pertahanan. Ini berpotensi melemahkan pembangunan industri pertahanan strategis yang dikelola negara lewat BUMN, seperti PT PAL, PT DI, dan PT Pindad.
Dalam kluster pertahanan di UU Cipta Kerja, perubahan sektor pertahanan ditujukan pada perubahan UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan (Inhan). Semangatnya, memudahkan pelaku usaha (swasta) untuk berusaha di sektor pertahanan. Sementara upaya membangun kemandirian pertahanan tak dijadikan landasan filosofis dalam pembentukan omnibus law Cipta Kerja sektor pertahanan.
Semangatnya, memudahkan pelaku usaha (swasta) untuk berusaha di sektor pertahanan.
Implikasi dari semangat liberalisasi sektor pertahanan itu adalah sektor swasta dapat terlibat dalam industri pertahanan, mulai dari hulu sampai hilir. Badan usaha milik swasta (BUMS) dapat mengelola dan terlibat di industri alat utama.
Hal itu ditegaskan dalam Pasal 74 Ayat (1) omnibus law yang menyebutkan, ”badan usaha milik negara; dan/atau badan usaha milik swasta, yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai pemadu utama (lead integrator) yang menghasilkan alat utama sistem senjata dan/atau mengintegrasikan semua komponen utama, komponen, dan bahan baku menjadi alat utama”. Padahal, di UU Inhan, BUMS tak dapat terlibat di industri alat utama.
Di UU Inhan, industri alat utama dikelola oleh BUMN yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai pemadu utama yang menghasilkan alat utama sistem senjata dan/atau mengintegrasikan semua komponen utama, komponen, dan bahan baku menjadi alat utama. BUMS hanya terlibat di industri komponen utama dan/atau penunjang, industri komponen dan/atau pendukung (perbekalan), dan industri bahan baku sebagaimana dimaksud Pasal 12, 13, dan 14.
Dengan dasar perubahan ini, industri pertahanan strategis tidak lagi menempatkan negara sebagai pemadu utama. BUMS pun dapat memainkan peranan itu.
Dalam praktiknya selama ini, kecenderungan bisnis di lead integrator industri strategis pertahanan milik negara, kerja samanya didominasi oleh segelintir perusahaan besar. Namun, bukan berarti solusinya adalah dengan melibatkan swasta sebagai pemain utama dalam bisnis di lead integrator. Seharusnya, yang dilakukan negara adalah melakukan pengawasan efektif dan evaluasi oleh Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) untuk memutus mata rantai masalah itu.
Pelibatan swasta di industri alat utama sebagai lead integrator akan melemahkan posisi industri strategis pertahanan yang dikelola negara karena harus bersaing dengan BUMS. Padahal, kondisi industri pertahanan strategis yang dikelola negara masih memiliki berbagai hambatan untuk mengembangkan diri, mulai dari dukungan pendanaan, peralatan yang masih terbatas, minimnya dukungan dari pemangku kepentingan, tata kelola manajemen yang belum efektif, dan lainnya.
Pengesahan UU (omnibus law) Cipta Kerja membuat inhan milik negara harus berkompetisi dengan badan usaha milik swasta yang tentu lebih mengedepankan kepentingan keuntungan bagi perusahaannya ketimbang membangun kemandirian pertahanan.
UU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan kepemilikan modal industri alat utama sebagaimana diatur dalam UU Inhan yang menyebutkan bahwa ”kepemilikan modal atas industri alat utama seluruhnya dimiliki oleh negara”. Ketentuan ini diubah melalui Pasal 74 Angka 4 Ayat (1) UU Cipta Kerja bahwa kepemilikan modal atas industri alat utama yang sebelumnya seluruhnya dimiliki negara menjadi dimiliki BUMN dan BUMS dengan persetujuan Menteri Pertahanan.
Selain itu, UU Cipta Kerja kluster pertahanan juga membuka ruang yang sangat besar untuk terlibatnya pihak asing di sektor pertahanan dengan diperbolehkannya penanaman modal asing dalam industri pertahanan Indonesia. Hal ini terlihat di Pasal 77 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 12 UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang mengategorikan bidang usaha produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang sebagai ”bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing”.
Ketentuan ini kemudian diubah di UU Cipta Kerja dengan Pasal 77 bahwa bidang usaha produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang tidak lagi dikategorikan sebagai ”bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing” dan dengan demikian terbuka untuk penanaman modal asing.
UU (omnibus law) Cipta Kerja kluster bidang pertahanan jauh dari semangat untuk membangun kemandirian pertahanan sebagaimana dicita-citakan Presiden. Kluster bidang pertahanan ini semangatnya ingin melakukan liberalisasi sektor pertahanan yang akan memiliki dampak serius bagi industri strategis pertahanan yang dikelola oleh negara.
Potensi perburuan rente dalam bisnis alutsista kian terbuka dengan disahkannya omnibus law.
Pemberian kewenangan yang luas kepada swasta menyiratkan adanya kepentingan untuk mengambil keuntungan dari pengelolaan alutsista di Indonesia. Potensi perburuan rente dalam bisnis alutsista kian terbuka dengan disahkannya omnibus law.
Fungsi KKIP
Selain itu, fungsi KKIP di UU (omnibus law) Cipta Kerja juga dipangkas. Di UU Inhan, salah satu fungsi KKIP adalah menetapkan kebijakan pemenuhan kebutuhan alat peralatan pertahanan dan keamanan (Pasal 21 UU Inhan). Dengan omnibus law sebagaimana diatur di Pasal 74 Ayat (2), KKIP tak lagi memiliki kewenangan menetapkan kebijakan pemenuhan kebutuhan alat peralatan pertahanan dan keamanan.
Padahal, mengacu Pasal 22 UU Inhan, Ketua KKIP adalah Presiden. Lantas, siapa yang memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan pemenuhan kebutuhan alat peralatan pertahanan dan keamanan, sementara di omnibus law tak dijelaskan siapa yang akan mengambil alih peranan itu. Sepertinya, peranan ini akan dipegang Menteri Pertahanan.
Pengelolaan alutsista di Indonesia masih minim transparansi dan akuntabilitas. Minimnya kewenangan lembaga independen, seperti KPK, dalam memonitor dan mengawasi persoalan pengadaan alutsista membuat proses pengadaannya rawan penyimpangan. Lalu, untuk kepentingan siapa UU (omnibus law) Cipta Kerja sektor pertahanan ini dibuat?