Menanti Lembaga Pengelola Investasi
Sebagaimana investor swasta, saya merekomendasikan SWF diizinkan membeli ekuitas atau utang perusahaan-perusahaan domestik yang sedang mengalami kesulitan, pada harga yang cenderung diskon.
Dalam diskusi virtual 20 Oktober 2020, Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, pemerintah menargetkan pembentukan sovereign wealth fund (SWF) yang disebut Lembaga Pengelola Investasi (LPI) bisa rampung pada Januari 2021.
Mencermati retorika pemerintah beberapa waktu belakangan, saya mencoba menelaah lebih spesifik mengenai SWF/LPI yang diatur dalam Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, Bab X Pasal 165 dan arah pengembangannya di negara kita.
Apa itu LPI? Dikutip dari Pasal 157 Bab X UU Cipta Kerja, SWF yang dikenal sebagai LPI merupakan lembaga investasi yang dibentuk khusus oleh pemerintah pusat untuk menggandeng investasi dari dalam dan luar negeri untuk menanamkan dana dalam bentuk proyek maupun aset untuk dikembangkan guna mendongkrak perekonomian domestik.
Baca juga : ”Omnibus Law”, Iklim Investasi, dan Sektor Transportasi
Apa bedanya LPI dengan jargon penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) selama ini? Pada dasarnya keduanya bertujuan sama, untuk meningkatkan roda perekonomian melalui investasi. Namun dalam skema LPI ini, LPI merupakan wadah khusus yang disediakan bagi investor yang berminat bermitra langsung dengan pemerintah pusat secara khusus maupun terbatas pada investasi di aset atau proyek tertentu.
Apa bedanya LPI dengan jargon penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) selama ini?
Dalam wadah ini, dapat diibaratkan setiap pemerintah berkontribusi Rp 1 triliun, maka diharapkan mitra investor langsung akan berkontribusi sebesar, misalnya, Rp 3 triliun atau dengan kata lain rasio co-invest 1:3 pada tahap awal. Dalam jangka menengah-panjang, pemerintah pusat tentu ingin meningkatkan rasio co-invest ini hingga 1:10 atau setiap Rp 1 triliun modal yang dibenamkan pemerintah pusat, mitra investor langsung akan berkontribusi Rp 10 triliun.
Mengapa perlu LPI? Pasal 165 Ayat (2) UU Cipta Kerja menjelaskan, LPI dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai aset secara jangka panjang, dalam rangka mendukung pembangunan secara berkelanjutan.
Peruntukan LPI idealnya adalah untuk menghasilkan keuntungan investasi di pengolahan aset dan proyek, sebagai cadangan tabungan masyarakat yang akan dibelanjakan di masa depan oleh generasi yang beranjak menua, suatu konsep yang sebenarnya selaras dengan financial planning bagi keluarga dan individu, namun dalam hal ini mencakup ”keluarga besar Republik Indonesia”.
Selain itu, juga diperuntukan bagi tujuan-tujuan khusus seperti untuk dana stabilisasi, dana darurat, dan tujuan pembangunan strategis (misalnya ibu kota negara/IKN, pusat ekonomi dan wisata baru di NTB dan Aceh, dan lainnya). Banyak yang keliru bahwa fungsi LPI sudah dijalankan oleh Bank Indonesia (BI), BP Jamsostek, Dana Pensiun pemerintah, atau bahkan Sarana Multi Infrastruktur/SMI. Sesungguhnya belum ada entitas yang menjalankan fungsi SWF secara khusus seperti LPI.
Mungkin hanya SMI yang dapat dikatakan menjalankan sebagian fungsi tersebut, namun dengan mandat terbatas—karena latar belakang setoran modal SMI adalah dari hasil likuidasi Pusat Investasi Pemerintah (PIP)—yakni hanya fokus pada mandat infrastruktur. BI jelas bukan SWF, karena orientasinya bertujuan menjaga likuiditas dan dengan horizon jangka pendek. SWF yang ideal berorientasi imbal hasil, dan horizon jangka panjang, untuk cadangan tabungan masyarakat yang akan dibelanjakan pada masa depan.
Baca juga : Jokowi dan Jejak yang Dalam
Kapan LPI dibutuhkan? Mencermati retorika pemerintah, maka akan terwujud dalam waktu dekat. Faktanya Indonesia ketinggalan dari tetangganya di Asia bahkan Afrika yang terlebih dulu sudah mendirikan SWF. Mulai dari Kazakhstan, Azerbaijan, Uzbekistan, Mongolia, Bhutan, bahkan Timor Leste, Kiribati, dan Tuvalu sudah punya SWF.
BI jelas bukan SWF, karena orientasinya bertujuan menjaga likuiditas dan dengan horizon jangka pendek.
Di ”Benua Hitam”, Angola, Botswana, Senegal, Rwanda, hingga Uganda juga sudah menghadirkan SWF sebagai lembaga khusus bagi pemerintah yang salah satu peruntukannya adalah mengupayakan stabilisasi dan menjaga ekonomi domestik dari guncangan krisis, baik karena moneter ataupun pandemi.
Pengelolaan dan pendanaan SWF
Tidak pernah ada saat terbaik untuk mendirikan LPI dibandingkan sekarang. Bagaimana LPI itu dikelola? Berdasarkan Pasal 170 Ayat (2) UU Cipta Kerja, modal awal LPI ditetapkan paling sedikit Rp 15 triliun berupa dana tunai. Berdasarkan Pasal 170 Ayat 1, modal awal tersebut dapat berasal dari dana tunai, barang milik negara, piutang negara pada BUMN atau perseroan terbatas; dan/atau saham milik negara pada BUMN atau perseroan terbatas.
Baca juga : Peran Bank BUMN Saat Resesi
Berdasarkan literatur eksternal, sumber pendanaan SWF beragam, bisa dari cadangan devisa, akumulasi surplus perdagangan, hasil privatisasi, suntikan modal negara, suntikan aset dan pengembalian pengembangan usaha, hibah, penerimaan negara dari ekspor migas dan mineral (rare earth mineral, misalnya), kumpulan dana investasi asing, dan sumber-sumber pasti lainnya.
Inilah sumber dana untuk kontribusi pemerintah pusat dalam wadah LPI.
Bersama-sama kontribusi mitra investor langsung seperti ADIA, JBIC, GIC, dan lainnya, dana itu akan dikumpulkan dan dibenamkan dalam aset dan proyek di Indonesia guna menciptakan akselerasi nilai tambah, lapangan pekerjaan bagi angkatan muda, imbal hasil, dan berorientasi jangka panjang.
Pada tahap awal memang akan dibenamkan pada proyek infrastruktur seperti jalan tol, bandara, dan pelabuhan, tetapi selanjutnya bisa merambah ke sektor lain seperti kesehatan, pariwisata, teknologi, hingga IKN. Dapat berupa penanaman modal bersifat ekuitas, pembiayaan, atau gabungan keduanya.
Siapa yang mengelola LPI? Organ LPI terdiri atas Dewan Pengawas dan Dewan Direksi. Menteri Keuangan akan menjabat sebagai ketua merangkap anggota Dewan Pengawas, Menteri BUMN sebagai anggota Dewan Pengawas, ditambah tiga orang yang berasal dari unsur profesional.
Sementara, Dewan Direksi akan diisi lima orang yang berasal dari unsur profesional. Akan ada pengarah atau penasihat dari figur bonafide, yakni mereka yang mewakili talenta terbaik di sektor atau industri tertentu, mereka yang mewakili mitra investor langsung, bahkan tokoh masyarakat.
Organ LPI terdiri atas Dewan Pengawas dan Dewan Direksi.
Arah pengembangan LPI
Ke arah mana tujuan pendirian LPI? Menurut UU Cipta Kerja Pasal 158 Bab X, LPI dapat melaksanakan investasi, baik secara langsung maupun tak langsung, melakukan kerja sama dengan pihak ketiga, atau melalui pembentukan entitas khusus berbentuk badan hukum Indonesia atau badan hukum asing.
Tujuan awal sepertinya akan lebih ke arah menghadirkan alternatif masuknya investasi skala raksasa ke Indonesia demi mengakselerasi pembangunan dan akselerasi penciptaan lapangan pekerjaan bagi kelompok usia produktif, dan secara bertahap akan menjalankan fungsi investasi ke kawasan new frontier markets di Asia Tenggara bahkan di luar kawasan Asia.
Ketentuan-ketentuan lebih lanjut menyangkut LPI masih akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP) yang hingga kini masih dinantikan terbitnya untuk bisa kita telaah. Namun kalau diperhatikan narasi pemerintah, rencananya LPI akan berkiblat pada SWF milik Rusia, Russian Direct Investment Fund (RDIF), karena memiliki tujuan pendirian yang sama di tahap awal, yakni mengakselerasi pembangunan infrastruktur dan sektor strategis.
RDIF sedikit berbeda dibandingkan dengan SWF negara-negara yang banyak memiliki dana menganggur (idle fund) seperti Norwegia dan Timur Tengah. RDIF berfungsi untuk menarik investor asing masuk ke proyek, khususnya infrastruktur dalam negeri. RDIF dalam kiprahnya hampir 10 tahun terakhir telah berekspansi dari sektor infrastruktur ke sektor kesehatan, khususnya fasilitas kesehatan untuk penyakit kanker, dan turut andil dalam penanggulangan wabah korona.
Dalam kaitan dengan korona, RDIF telah mengalokasikan dana pengembangan dan produksi obat di Rusia yang didasarkan pada favipiravir—obat anti-influenza yang dikembangkan di Jepang sejak 2014 dengan nama Avigan—yang disetujui Kementerian Kesehatan Rusia untuk sementara dijadikan obat melawan virus korona.
Seandainya di tahap awal Indonesia akan mengikuti Rusia, untuk tahap berikutnya dapat menyusuri jejak negara-negara yang memiliki idle fund dari surplus ekonomi dan mendirikan SWF untuk menjaga cadangan tabungan pensiun generasi muda saat ini yang 30 tahun kemudian akan berusia 50 tahun ke atas. SWF di Norwegia diberi nama Norges Bank. Norges juga berfungsi sebagai bank sentral. Dana yang dikelola mencapai 10,4 triliun krona (setara Rp 15.808 triliun), yang bahkan lebih besar dibandingkan PDB Indonesia.
Dibentuknya SWF di UEA bertujuan untuk menjadi penopang pendapatan negaranya apabila terjadi risiko penurunan harga minyak dunia.
China memiliki lima dari puluhan SWF terbesar di dunia yang memiliki tujuan terpisah, antara lain untuk keamanan energi, imbal hasil jangka panjang, stabilitas keuangan Hong Kong, serta pengembangan hubungan komersial antarnegara. Uni Emirat Arab (UEA) membentuk SWF yang bertujuan untuk mendiversifikasi sumber pendapatannya.
Sebagaimana diketahui bahwa UEA memiliki pendapatan yang sangat bergantung pada ekspor minyak. Dibentuknya SWF di EUA bertujuan untuk menjadi penopang pendapatan negaranya apabila terjadi risiko penurunan harga minyak dunia.
Di Amerika Serikat, SWF digunakan untuk menyerap risiko besar ketika terjadi krisis keuangan global yang dimulai dari subprime mortgage crisis pada 2008, di mana saat itu SWF masuk ke Citigroup, Morgan Stanley, dan Merrill Lynch untuk tujuan darurat. SWF di Amerika Serikat juga melakukan bailout industri penerbangan, industri otomotif, dan saat ini hadir sebagai dana talangan untuk penanganan pandemi korona.
Suatu ikhtiar pengelolaan kekayaan bangsa dibutuhkan dengan orientasi jangka panjang 20 tahun, di mana mereka yang berusia 30 tahun, nantinya akan berusia 50 pada waktunya. Kita harus prihatin dengan konstelasi politik kita, di mana para pemimpin belum melihat 20-30 tahun ke depan sehingga kebijakan diarahkan pada belanja ”saat ini” daripada belanja di ”hari tua”.
Sebagaimana investor swasta, saya merekomendasikan SWF selayaknya diizinkan membeli ekuitas atau utang perusahaan-perusahaan domestik yang sedang mengalami kesulitan, pada harga yang cenderung diskon, bersaing seperti umumnya transaksi sektor swasta dan layak memiliki motivasi mencari imbal hasil daripada sekadar amal bailout seperti di AS pada era krisis keuangan 2008, dan meraih keuntungan ketika terjadi pembalikan arah pemulihan bisnis dan ekonomi pascapandemi.
Manuel Pakpahan
Analis Pasar Modal FEB-UI