Keberhasilan dana Pemulihan Ekonomi Nasional yang ditempatkan di perbankan tetap bergantung pada keberhasilan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19.
Oleh
ARDHIENUS
·4 menit baca
Saat ini, Indonesia tengah dihadapkan pada jurang resesi ekonomi bersama sejumlah negara lain yang terlebih dulu terjebak resesi, seperti Singapura, Filipina, Korea Selatan, Amerika, dan Uni Eropa. Kondisi resesi itu secara resmi akan dipastikan pada awal November saat Badan Pusat Statistik mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III-2020.
Resesi diartikan sebagai menurunnya aktivitas ekonomi yang ditunjukkan oleh pertumbuhan minus produk domestik bruto (PDB) selama dua kuartal berturut-turut.
Berbeda dengan resesi yang pernah dialami Indonesia sebelumnya, fenomena resesi kali ini dipicu faktor kesehatan, yakni pandemi Covid-19, yang membuat aktivitas ekonomi, seperti produksi, distribusi, dan konsumsi, menurun drastis, bahkan berhenti.
Upaya untuk menghalau resesi tak lain adalah dengan menggairahkan kembali aktivitas ekonomi. Sudah pasti upaya ini membutuhkan pembiayaan yang tak sedikit. Dan sumber pembiayaan yang dominan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia berasal dari kredit perbankan.
Upaya untuk menghalau resesi tak lain adalah dengan menggairahkan kembali aktivitas ekonomi.
Persoalannya, penyaluran kredit perbankan cenderung berperilaku prosiklus (procyclical). Artinya, saat ekonomi sedang ekspansi, penyaluran kredit perbankan kian meningkat. Sebaliknya, saat ekonomi sedang kontraksi, penyaluran kredit melambat.
Dengan laju pertumbuhan kredit yang terus melambat, pertumbuhan ekonomi sulit diharapkan bergerak ke arah yang positif. Dan hari-hari ini kita mengalami kondisi itu.
Maka, di sinilah sebetulnya diperlukan intervensi pemerintah melalui peran bank pemerintah, tak hanya bank Himbara (BUMN), tetapi juga bank pembangunan daerah (BPD) untuk berperilaku less procyclical. Pasalnya, sulit mengharapkan bank swasta, bank campuran, ataupun kantor cabang bank asing untuk meningkatkan penyaluran kredit di kala ekonomi sedang kontraksi (resesi).
Padahal, saat ini, sejatinya mereka mempunyai ruang yang besar untuk menyalurkan kredit, ditandai permodalan yang tinggi dan likuiditas yang berlimpah.
Hanya saja, mereka cenderung kian hati-hati karena meningkatnya risiko usaha saat resesi dan lebih fokus pada perbaikan kualitas kredit. Sebagai unit bisnis profit oriented, perilaku bank yang seperti itu dapat saja dipahami.
Peran bank BUMN dan BPD dalam meminimalkan perilaku prosiklikalitas dari kredit perbankan atau bahkan countercyclical sejalan dengan beberapa studi empiris. Penelitian Micco dan Panizza (2006) yang menautkan pertumbuhan kredit dengan pertumbuhan ekonomi menunjukkan perilaku penyaluran kredit oleh bank BUMN yang less procyclical ketimbang bank swasta dan bank asing.
Peran bank BUMD dan BPD dalam meminimalkan perilaku prosiklikalitas dari kredit perbankan atau bahkan countercyclical sejalan dengan beberapa studi empiris.
Sementara penelitian Bertay et al (2015) membuktikan, pemberian kredit oleh state bank, terutama di negara yang berpendapatan tinggi, bersifat countercyclical, yaitu ketika kondisi ekonomi sedang menurun, state bank justru makin meningkatkan pemberian kreditnya sehingga dapat menstabilkan pemberian kredit saat kondisi krisis.
Program PEN
Menyadari peran bank pemerintah ini, rasanya sudah tepat apabila pemerintah pusat dan daerah menggenjot penyaluran kredit di bank miliknya. Meski bisa saja pemerintah selaku pemilik menginstruksikan itu kepada banknya, karena bank BUMN memiliki kapasitas untuk itu, tampaknya pemerintah lebih memilih menempatkan dananya di bank BUMN dan BPD lewat program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), termasuk bank syariah anak perusahaan bank BUMN.
Selanjutnya pemerintah menugaskan bank-bank tersebut (bank mitra) untuk menyalurkan kredit 2-3 kali dari jumlah dana yang ditempatkan. Untuk menyempurnakan program ini, pemerintah juga meminta asuransi BUMN, seperti Jamkrindo dan Askrindo, untuk memberikan jaminan atas penyaluran kredit yang bersumber dari dana PEN.
Saat ini, jumlah dana PEN yang ditempatkan pemerintah Rp 64,8 triliun dan akan terus bertambah hingga mencapai lokasi anggarannya yang Rp 78,78 triliun. Dari dana Rp 64,8 triliun itu, alokasi untuk empat bank BUMN Rp 47,5 triliun, yakni Bank Mandiri Rp 15 triliun, BRI Rp 15 triliun, BNI Rp 7,5 triliun, dan BTN Rp 10 triliun.
Sementara penempatan dana PEN ke tiga bank syariah milik bank BUMN Rp 3 triliun: Mandiri Syariah, BRI Syariah, dan BNI Syariah, masing-masing Rp 1 triliun. Terakhir, penempatan ke sembilan bank milik pemda Rp 14,3 triliun: BPD Jawa Barat Rp 2,5 triliun, Bank DKI Rp 2 triliun, BPD Jawa Tengah Rp 2 triliun, BPD Jawa Timur Rp 2 triliun, BPD Sulawesi Utara dan Gorontalo Rp 1 triliun, BPD Bali Rp 1 triliun, BPD Yogyakarta Rp 1 triliun, BPD Sumatera Utara Rp 1 triliun, BPD Sulawesi Selatan Barat Rp 1 triliun, BPD Kalimantan Barat Rp 500 miliar, BPD Jambi Rp 300 miliar.
Bagi bank mitra, penempatan dana PEN menguntungkan karena biaya bunganya saat ini relatif murah, hanya 2,8 persen.
Bagi bank mitra, penempatan dana PEN menguntungkan karena biaya bunganya saat ini relatif murah, hanya 2,8 persen. Memang, bagi bank sekelas BUMN, jumlah Rp 64,8 triliun tidak terlalu signifikan bagi pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) bank BUMN yang per Agustus 2020 mencapai Rp 2.817, 51 triliun.
Namun, bagi BPD dan bank syariah, dana itu cukup signifikan dan membantu menurunkan biaya dana, terutama BPD, serta akan meningkatkan pertumbuhan dan penyaluran kredit BPD masing-masing 2-5 persen. Hanya perlu disadari oleh pemangku kebijakan bahwa penyaluran kredit di tengah resesi tentu mendapatkan tantangan yang tak ringan.
Tingginya risiko usaha jadi faktor dominan di sisi perbankan, sementara permintaan kredit juga sedang melemah. Oleh karena itu, bank mitra tetap perlu memegang prinsip kehati-hatian agar tak jadi kredit bermasalah di kemudian hari.
Di samping itu, keberhasilan dana PEN yang ditempatkan di perbankan tetap bergantung keberhasilan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19. Apabila tidak, kelompok masyarakat menengah atas yang memiliki daya beli signifikan dan memengaruhi aktivitas ekonomi tetap akan menahan konsumsinya.
(Ardhienus Asisten
Direktur di Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia)