Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Semua pihak menginginkan JKP menjadi solusi atas tantangan ketenagakerjaan. Para pihak terkait bertanggung jawab agar instrumen baru JKP ini bisa memperkuat sistem jaminan sosial yang telah ada melewati masa-masa sulit.
Persetujuan RUU Cipta Kerja oleh DPR pada 5 Oktober 2020 mengenalkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan atau JKP sebagai instrumen baru perlindungan tenaga kerja. Dalam skema JKP, pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja berhak mendapatkan uang tunai, pelatihan kerja, dan akses informasi pasar tenaga kerja.
Diterapkannya instrumen yang dalam terminologi global disebut unemployment insurance (UI) ini menjadikan Indonesia meningkat kepatuhan (compliance)-nya dalam menjalankan Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 tentang Social Security (Minimum Standard) dan Konvensi ILO Nomor 168 Tahun 1988 tentang Employment Promotion and Protection against Unemployment.
Esensi dari kedua konvensi ini adalah melindungi pekerja yang kehilangan pekerjaannya dan keluarganya dari kemiskinan serta meningkatkan akses mereka untuk mendapatkan kembali pekerjaan melalui pelatihan.
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa dalam RUU Cipta Kerja, JKP diterapkan bersamaan dengan sistem pesangon; sementara dalam praktik global, negara memilih salah satu antara sistem pesangon atau UI. Konvensi ILO memilih sistem UI karena sifatnya berkesinambungan untuk menjamin keberlangsungan pekerjaan.
Konvensi ILO memilih sistem UI karena sifatnya berkesinambungan untuk menjamin keberlangsungan pekerjaan.
Bagaimana implementasi JKP dalam skema tersebut? Di situlah sederet tantangan harus dijawab, terutama menyangkut pendanaan dan institusi pelaksana JKP, termasuk koordinasi antarkementerian/lembaga (K/L) dengan pemerintah daerah (pemda). Peraturan pemerintah (PP) yang dipersyaratkan RUU untuk mengaturnya ditargetkan segera diterbitkan tahun ini juga.
Jangka waktu dan besaran
Secara kelembagaan, BPJS Ketenagakerjaan dan pemerintah dimandatkan sebagai penyelenggara JKP. Dalam hal penyaluran manfaat uang tunai, mestinya relatif tidak ada masalah berarti bagi BPJS Ketenagakerjaan untuk melaksanakannya, sekalipun tentu basis data dan mekanisme penyalurannya tidak dapat dianggap enteng untuk mencapai tingkat kepuasan penerima manfaat.
Hal yang cukup rumit adalah menentukan jangka waktu dan besaran manfaat uang tunai mengingat harus berhitung dengan proyeksi kemampuan pendanaan JKP jangka panjang. Meskipun demikian, para teknokrat dapat cepat menghitungnya bilamana skema manfaatnya telah disepakati.
Praktik UI yang berlaku di sejumlah negara dapat dijadikan referensi. Meskipun setiap negara unik, umumnya UI memberikan manfaat uang tunai dalam jangka waktu 3-6 bulan sebagaimana di Thailand (6 bulan) dan Vietnam (3-12 bulan) meskipun ada juga negara-negara di Eropa yang memberikannya 9-12 bulan. Besarannya juga bervariasi meskipun umumnya di bawah upah minimum. Besaran manfaat tunai ini diambil dari persentase tertentu dari upah yang diterima: 50 persen di Thailand, Korea, dan AS; 60 persen di Vietnam.
Skema pendanaan
Namun, bagaimana pendanaannya? RUU menyebutkan bahwa pendanaan JKP bersumber dari modal awal pemerintah (sebesar Rp 6 triliun), rekomposisi iuran program jaminan sosial, dan dana operasional BPJS Ketenagakerjaan. Rumusan tersebut sejalan dengan kesepakatan tripartit, yakni dari sisi pendanaan tidak ada iuran tambahan dari pengusaha dan pekerja selain iuran BPJS Ketenagakerjaan saat ini.
Pertanyaannya, apakah skema pendanaan tersebut dapat menjamin keberlangsungan program JKP?
Ada beberapa catatan dalam hal pendanaan ini. Pertama, jika pemerintahan ingin kredibel, kesepakatan tripartit yang tertuang dalam RUU itulah yang harus menjadi pijakan penyusunan kebijakan turunannya. Simpelnya, tidak ada iuran tambahan. Kedua, dana Rp 6 triliun dari pemerintah hanyalah dana awal untuk operasionalisasi JKP, jauh dari memadai untuk memberikan manfaat uang tunai dan pelatihan.
Ada beberapa catatan dalam hal pendanaan ini.
Ketiga, rekomposisi iuran dari program jaminan sosial ketenagakerjaan. Program apa yang paling memungkinkan dari BPJS Ketenagakerjaan? Apakah Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), atau Jaminan Pensiun (JP)?
Sumber dana dari JKK dan JKM bisa digunakan karena yang mengalami risiko jauh lebih sedikit dari yang mengiur, tetapi karena besaran iurannya sangat kecil, akumulasi dananya juga sangat terbatas. JHT dan JP, yang pada hakikatnya merupakan perlindungan pasca-employment, lebih mendekati secara konseptual untuk pendanaannya. Meskipun demikian, terlalu berisiko mengambil dari JP karena dana itu untuk perlindungan purnakerja.
Sumber dari JHT adalah yang masih memungkinkan untuk pendanaannya, sepanjang tidak diambil dari nilai JHT yang bersumber dari iuran pekerja, karena ini sudah dibatasi oleh RUU. Terbuka peluang untuk mengambil dari dana JHT yang dibayarkan oleh perusahaan. Untuk itu, dalam konteks asuransi sosial, kepesertaan aktif BPJS Ketenagakerjaan harus ditingkatkan agar dana kelolaan yang terkumpul besar.
Keempat, realokasi pendanaan dari APBN yang selama ini untuk penyelenggaraan pelatihan kerja di berbagai kementerian/lembaga untuk JKP.
Mengingat terbatasnya pilihan-pilihan pendanaan itu, diperlukan perumusan detail peserta yang berhak mendapatkan manfaat JKP tidak hanya peserta yang sudah mengiur dalam rentang waktu tertentu, misalnya minimal satu tahun.
Peserta yang masuk dalam kategori PHK berikut, di antaranya, yang bisa dikecualikan dari penerima manfaat: pensiun, berakhirnya kontrak kerja, mengundurkan diri, melakukan kesalahan berat/unsur pidana, dan white collar workers. Peserta yang berhak atas manfaat JKP juga harus menunjukkan keseriusannya dalam mencari pekerjaan baru.
Peserta yang berhak atas manfaat JKP juga harus menunjukkan keseriusannya dalam mencari pekerjaan baru.
Tantangan lain
Tantangan lain JKP adalah pelaksanaan pelatihan. Sebagai penyelenggara jaminan sosial, BPJS Ketenagakerjaan mendapatkan tugas baru tersebut bersama operator lain, yaitu K/L pemerintah. Terkait realokasi anggaran K/L yang disebutkan sebelumnya, tantangan besar yang dihadapi adalah mengikis ego sektoral dan menjalin sinergi antar-K/L dan dengan BPJS Ketenagakerjaan. Ini bukan hal sederhana karena setiap K/L memiliki tujuan pelatihan berbeda dan belum tentu dapat disinergikan dengan tujuan pelatihan JKP.
Lebih lanjut dalam skema UI global, pelatihan tak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan isu lain yang harus ditangani operator JKP. Pertama, penentuan jenis skill yang dapat diberikan. Ini langsung terkait dengan ketersediaan jenis pekerjaan yang dihasilkan oleh perekonomian Indonesia. Pelatihan keterampilan wirausaha mestinya bisa juga sebagai manfaat JKP.
Kedua, penentuan penyedia pelatihan yang memiliki kompetensi teknis sesuai kebutuhan, baik lembaga pelatihan, pemerintah, maupun swasta. Ketiga, penyaluran peserta pelatihan untuk bekerja kembali. Ketiga hal ini juga terkait dengan persoalan keempat: kapasitas kelembagaan untuk dapat menyediakan konsultan yang bertugas memberikan/membimbing penerima manfaat JKP untuk menentukan jenis pelatihan yang diperlukan, lembaga pelatihan yang kredibel, dan akses pasar kerja.
Dalam best practices global, negara yang berhasil menciptakan ekosistem UI menyediakan pendampingan personal kepada penerima manfaat JKP. Artinya, penyediaan tenaga konsultan dalam jumlah masif bukan perkara sederhana.
Kerja sama
Selain K/L dan BPJS Ketenagakerjaan, dalam konteks otonomi daerah, implementasi JKP tersebut juga mensyaratkan kerja sama kuat dengan pemerintah provinsi ataupun kabupaten/kota. Penyelenggaraan pelatihan dalam skema di atas akan melibatkan pemda dalam berbagai aspek terkait pengawas ketenagakerjaan, balai latihan kerja, dan informasi pasar tenaga kerja.
Pembahasan teknis tentang hal-hal itu tak bisa dipaksakan kejar tayang dengan penerbitan PP mengingat kompleksitas tantangannya.
Pembahasan teknis tentang hal-hal itu tak bisa dipaksakan kejar tayang dengan penerbitan PP mengingat kompleksitas tantangannya. Kementerian Ketenagakerjaan dan kementerian teknis terkait lain, termasuk Dewan Jaminan Sosial Nasional yang punya peran sinkronisasi kebijakan jaminan sosial, mesti menyusun rancangan peraturan pemerintah secara komprehensif.
Regulatory impact assessment, yang pada dasarnya merupakan kajian cost and benefit melalui pendekatan partisipatoris, diharapkan dilaksanakan dengan baik sebagaimana spirit Inpres No 7 Tahun 2017. Semua pihak menginginkan JKP menjadi solusi atas tantangan ketenagakerjaan dan para pihak terkait bertanggung jawab agar instrumen baru JKP ini bisa memperkuat sistem jaminan sosial yang telah dibangun melewati masa-masa sulitnya, tidak sebaliknya justru mereduksinya jika tidak dipersiapkan dengan baik.
(P Agung Pambudhi
Direktur Apindo Research Institute)