
Membaca tulisan di harian Kompas (Rabu, 30/9/2020) tentang ”Ada Potensi
Saling Lempar Tanggung Jawab”, disebutkan di situ dalil hukum sanksi
pelanggar aturan protokol kesehatan selama kampanye Pilkada 2020. Di antaranya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
Pasal 1 mendefinisikan wabah penyakit menular sebagai kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat, yang jumlah penderitanya meningkat melebihi kelaziman serta dapat menimbulkan malapetaka.
Dijelaskan pula, kepala unit kesehatan adalah kepala perangkat pelayanan kesehatan pemerintah. Sementara yang dimaksud menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
Maksud dan tujuan UU ini adalah untuk melindungi penduduk dari malapetaka akibat wabah sedini mungkin, dalam rangka meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat.
Dalam Bab VII Pasal 14 disebutkan, barang siapa dengan sengaja menghalangi penanggulangan wabah diancam dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000.
Barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah diancam pidana kurungan selama-lamanya enam bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp 500.000.
Selanjutnya, dalam UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Pasal 93 menyebutkan, setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100 juta.
Karena itu, terkait dengan pilkada di sejumlah daerah di Indonesia pada 2020 ini, berdasarkan dalil hukum di atas, adakah unsur pelanggaran kepatuhan kekarantinaan kesehatan? Apakah tidak ada unsur kesengajaan, kealpaan, atau kelalaian dengan menyelenggarakan pilkada saat pandemi Covid-19?
Boyke Nainggolan
Jalan Mawar Merah, Perumnas Klender, Jakarta 13460
Terima Kasih ”Kompas”
Terima kasih dan apresiasi tinggi untuk harian Kompas yang selalu mengedepankan amanat hati nurani rakyat terkait dengan kisruh UU Cipta Kerja ataupun Pilkada 2020.
Semoga Kompas tetap obyektif, jujur, setia kepada nurani, dan dapat mengutamakan kepentingan rakyat banyak. Dengan demikian, Kompas tetap dicintai dan dihormati sebagai kompas rakyat Indonesia.
Saya pembaca setia harian Kompas sejak berusia 6 tahun (1971), kelas I SD. Saat ini, usia saya 55 tahun. Ada yang kurang jika belum membaca Kompas.
Jangan berpolitik praktis. Jadilah koran yang selalu mencerahkan, mencerdaskan, dan menunjukkan arah yang benar kepada semua elemen bangsa Indonesia.
Yosminaldi, SH, MM
Jatikramat Indah Estate 1, Jalan Bima, Jatiasih, Bekasi
Bijak Beraspirasi
Memprihatinkan melihat demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja yang jadi anarkistis, merusak fasilitas umum.
Penyampaian aspirasi memang tidak dilarang. Namun, unjuk rasa yang anarkistis merupakan pelanggaran karena mengakibatkan kerugian negara serta mengganggu keamanan dan ketertiban umum.
Sebagai warga negara yang baik, perhatikanlah aturan berdemonstrasi, termasuk kewajiban demonstran menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, menjaga keamanan dan ketertiban umum, tidak merusak fasilitas umum, serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Nurul Aqidah
Desa Babakan Cibatok 1, Cibungbulang, Bogor 16630