Perempuan dan Penanya
Bagaimanapun penulis perempuan bukan penulis laki-laki. Hanya ada sedikit tangan yang sudi membantunya tetap berdiri dan lebih sedikit kesempatan yang diberikan kepadanya untuk membuktikan diri.
”Dia yang memegang pena adalah dia yang menulis sejarah,” ajar seorang penulis terkenal, Willy, kepada istrinya, di awal masa perkenalan perempuan itu pada dunia literasi. Siapa sangka, puluhan tahun kemudian, nama sang istri benar tercatat dalam sejarah kesusastraan Perancis mengalahkan Willy.
Sidonie-Gabrielle Colette adalah salah satu penulis perempuan yang paling berpengaruh dalam kesusastraan Perancis. Sebagai perempuan yang mulai berkarya jelang akhir abad XIX, tidak mudah baginya memasuki dunia sastra yang patriarkal. Tekanan dan cemooh sudah menerpanya sejak dari rumah.
Oleh sang suami, novel serial karya perdana Colette diterbitkan atas nama lelaki itu. Mereka pun bercerai. Patah arang sebagai penulis, Colette menemukan tempat di atas panggung pantomim, tetapi ternyata itu tidak membuatnya merasa lebih hidup. Akhirnya, Colette kembali memegang pena dan menyadari bahwa lewat menulis dia menemukan kembali suara dan kekuatannya.
Sebagai perempuan yang mulai berkarya jelang akhir abad XIX, tidak mudah baginya memasuki dunia sastra yang patriarkal.
Daya cipta dan kesempatan
Pada hari ini, siapa pun bisa memegang pena dan menulis. Baik laki-laki maupun perempuan sudah bisa menjadi penulis. Sebagaimana halnya seniman, penulis adalah dia yang mampu memberdayakan dirinya untuk menciptakan sesuatu: sebuah karya. Dengan daya ciptanya yang tinggi, seorang penulis diyakini akan sanggup menghasilkan karya yang berkualitas (tinggi) pula.
Berdasarkan keyakinan tersebut dan didorong semangat emansipasi, orang-orang lantas membuat penyamarataan bahwa karya yang bagus tidak mengenal jender. Ia bisa dihasilkan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Orang-orang itu mengabaikan apa yang terjadi selama proses kreatif seorang penulis.
Mereka menganggap daya cipta adalah, meminjam istilah Simone de Beauvoir, sejenis pelepasan yang alamiah. Padahal, seorang penulis yang menghasilkan sebuah karya tidak sama dengan seekor sapi yang menghasilkan susu. Padahal juga, bahkan sapi pun mesti diberi kesempatan untuk mempersiapkan kondisinya sebelum pemerahan agar mampu memberikan hasil yang sesuai harapan.
Daya cipta adalah sebuah proses yang tidak sederhana. Ia begitu kompleks sebab tidak hanya melibatkan si pemilik diri, tetapi juga orang-orang di sekitarnya dan lingkungannya. Itulah mengapa, memiliki sebuah pena, mesin tik, atau komputer, dengan sepaket imajinasi dan keberaksaraan, tidak serta-merta bisa membuat seseorang menjadi penulis. Dia membutuhkan lebih daripada itu.
Sebelum menulis, seorang penulis mesti bersiap terlebih dahulu. Dia harus memiliki seluruh dirinya dan waktu yang banyak sebelum duduk di belakang meja. Adapun untuk menghasilkan sebuah karya, apalagi yang bagus dan berkualitas, dia sangat membutuhkan dukungan. Namun, apa yang terjadi jika penulis yang memegang pena itu seorang perempuan?
Masyarakat modern memang telah mengizinkan perempuan memegang pena. Para ayah, suami, kekasih, laki-laki telah membolehkan perempuan menjadi penulis. Sekilas, keadaan seolah sudah berubah. Masalah kesetaraan jender seakan berhasil diatasi dan kini semua baik-baik saja. Kondisi ini memang tetap akan baik-baik saja selama perempuan yang menulis itu tetap mematuhi syarat dan ketentuan yang diberlakukan dunia patriarki untuknya.
Masalah kesetaraan jender seakan berhasil diatasi dan kini semua baik-baik saja.
Oleh masyarakat, perempuan yang menulis dituntut untuk tidak mengabaikan tugas-tugas domestiknya. Sebagai pekerjaan yang dilakukan dari rumah, masyarakat lebih suka memandang menulis serupa menjahit atau memasak. Sesuatu yang bisa dilakukan sambil mengurus rumah dan keluarga.
Mereka lebih suka pula melihat kegiatan menulis lebih sebagai kegiatan pemberdayaan perempuan untuk mengisi waktu dan mendapatkan tambahan penghasilan. Dalam kondisi seperti ini, mungkinkah seorang penulis perempuan dapat selalu memaksimalkan daya ciptanya demi menghasilkan karya berkualitas?
Seorang penulis perempuan tidak akan bisa meniru Kazuo Ishiguro yang boleh memiliki dirinya seutuhnya di sepanjang waktu saat sedang menulis atau mengikuti jejak Budi Dharma yang sengaja berhibernasi berhari-hari untuk menulis Olenka. Dia yang berani melakukan itu mesti langsung dicap perempuan pemalas atau semacamnya.
Setiap penulis perempuan memiliki beban yang diletakkan masyarakat di atas punggungnya. Ini membuatnya tidak bisa melompat terlalu tinggi, bahkan memiliki dirinya sendiri. Sebab, dalam bingkai patriarkal, perempuan adalah milik keluarganya. Di bawah keterkungkungan ini, seberapa besarkah kemungkinan lahirnya kesempatan bagi penulis perempuan untuk menghasilkan karya yang bagus?
Suara perempuan
Laki-laki percaya kondisi perempuan adalah sesuatu yang berhubungan dengan kodratnya. Keyakinan yang berusaha terus dipertahankan ini bersumber dari ketakutan laki-laki atas perempuan. Sebagai liyan, laki-laki hanya ingin melihat perempuan dalam sosok yang sesuai keinginan dan kepentingannya. Mulailah laki-laki mendikte perempuan. Untungnya, perempuan akhirnya mengenal dunia tulis menulis. Lewat menulis, perempuan menemukan kekuatan sekaligus suaranya.
Laki-laki memilih untuk percaya bahwa ketika perempuan diam, itu pertanda semua baik-baik saja. Maka ketika perempuan mulai bersuara, entah lisan atau tulisan, buru-buru laki-laki membungkamnya dengan satu tujuan: mengembalikan perempuan pada ”tempatnya” yang baik-baik saja.
Jadilah perempuan yang menyuarakan masalahnya disindir terlalu baper. Perempuan yang menuntut haknya disebut pencari masalah yang tidak kenal puas. Perempuan yang bersuara keras lekas-lekas diingatkan pada kodratnya. Semua perlakuan itu membuktikan betapa takutnya laki-laki pada perempuan yang telah menemukan suara dan kekuatannya.
Semua perlakuan itu membuktikan betapa takutnya laki-laki pada perempuan yang telah menemukan suara dan kekuatannya.
Namun, sistem patriarkal tidak semudah itu dirobohkan. Perempuan yang berusaha memberontak melalui tulisannya seringkali terperangkap. Karya si penulis perempuan malah ikut melanggengkan apa yang hendak ditentangnya. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah karya sastra yang hadir akhir-akhir ini. Beberapa penulis perempuan berupaya keras menaikkan derajat kaumnya, tetapi malah berujung ironis karena menggunakan cara-cara maskulin.
Yang sering terjadi adalah seorang tokoh perempuan diberi kehormatan sebagai subyek. Dengan kekuatannya, dia lantas mendominasi dunia fiktifnya dan segala aspek cerita, termasuk adegan-adegan seks. Ketika karya tersebut sampai ke tangan pembaca, jejak perjuangan si penulis perempuan menjadi tak berbekas seiring tokoh perempuannya kembali menjadi obyek di mata pembaca laki-laki.
Berbeda dari laki-laki yang menulis demi memenuhi obsesinya, perempuan menulis untuk memperjuangkan posisinya. Pada titik inilah perempuan kerap tergelincir dan terjatuh hanya karena perjuangan tersebut tampak begitu absurd. Di sisi lain, kejatuhannya ditunggu banyak orang yang selalu memaksanya mengalah lewat sindiran, makian, atau kata-kata menjatuhkan lainnya.
Bagaimanapun penulis perempuan bukan penulis laki-laki. Hanya ada sedikit tangan yang sudi membantunya tetap berdiri dan lebih sedikit kesempatan yang diberikan kepadanya untuk membuktikan diri. Pada akhirnya, satu-satunya jalan yang tersedia bagi penulis perempuan adalah percaya pada kekuatannya sendiri. Untuk tetap berjuang. Untuk terus menulis.
(Anindita S Thayf, Novelis dan Esais)