Jangan Persempit Habitat Komodo
Investasi untuk pengembangan pariwisata di Labuan Bajo dan sekitarnya tentu tidak dilarang. Namun, yang menjadi keberatan banyak pihak adalah kegiatan pembangunan di dalam kawasan habitat komodo.
Sepekan terakhir, ramai beredar di media sosial sebuah foto bergambar seekor komodo tengah ”menghadang” truk pembawa material untuk pembangunan proyek ”Jurassic Park” di Pulau Rinca, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Reaksi masyarakat pun beragam. Ada yang mendukung, tidak sedikit pula yang mengecam. Aktivitas pembangunan itu dinilai bentuk keserakahan manusia yang tidak peduli dengan keberlangsungan makhluk hidup lain.
Ekspresi komodo dalam foto tersebut juga memberi kesan bahwa reptil langka itu merasa tidak nyaman dengan aktivitas konstruksi di habitatnya. Untuk pertama kalinya, hewan purba ini mendengar suara bising kendaraan bermotor dan menghirup bau asap hasil pembakaran di mesin truk. Kebisingan dan hiruk pikuk itu bisa jadi dianggap telah mengganggu keharmonisan dan kenyamanan hidup mereka.
Gangguan semacam ini menimbulkan stres. Ketika berlarut, komodo cenderung kehilangan nafsu makan. Semakin lama tidak mau makan, potensi kematian pun semakin besar.
Baca juga: Pengunjung Taman Nasional Komodo Dibatasi
Kondisi ini sesungguhnya peringatan bagi manusia, terutama pihak-pihak yang merencanakan proyek di Pulau Rinca. Habitat asli komodo sangat terbatas di dunia. Hewan ini hanya ditemukan di Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Meningkatnya antusiasme masyarakat dunia untuk melihat komodo dari dekat disambut pemerintah pusat dengan rencana pembangunan kawasan wisata superpremium. Sejumlah proyek pun dibangun di Labuan Bajo dan sekitarnya, termasuk di dalam kawasan konservasi Taman Nasional Komodo.
Untuk rencana penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 pada tahun 2023, pemerintah juga merombak kawasan Loh Buaya di Pulau Rinca, salah satu pulau yang menjadi habitat utama hewan komodo. Penataan dilakukan dengan merobohkan semua bangunan di Loh Buaya, sertta menggantinya dengan sarana dan prasana baru yang mengambil model ”Jurassic Park”.
Proyek itu dikerjakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Infrastruktur dasar yang dibangun, di antaranya dermaga, sistem pengelolaan air minum, jalan gertak, pusat informasi, pos istirahat, pos jaga, dan pengaman pantai. Total dana yang dianggarkan sekitar Rp 902,47 miliar.
Infrastruktur yang dibangun pemerintah ini merupakan pintu masuk. Izin investasi pengelolaan Pulau Rinca telah diberikan kepada perusahaan swasta, yakni PT Sagara Komodo Lestari. Perusahaan swasta ini mendapatkan hak penguasaan lahan seluas 22,1 hektar atas nama investasi sarana pariwisata alam. Menurut rencana, di atas lahan itu dibangun sembilan jenis fasilitas, antara lain, vila, restoran, penginapan, dan perkantoran.
Pertanyaan mendasar
Timbul pertanyaan apakah pihak swasta dibolehkan berinvestasi di kawasan taman nasional? Apakah kemudian fasilitas untuk kawasan wisata superpremium itu harus dibangun di dalam areal konservasi taman nasional? Bukankah di luar kawasan konservasi masih ada pulau-pulau menarik dan indah yang bisa dijadikan lokasi pembangunan fasilitas penunjang tersebut?
Harus dipahami bersama bahwa Pulau Rinca merupakan bagian dari Kawasan Taman Nasional Komodo. Luas pulau ini hanya 198 kilometer persegi. Jika dikurangi lahan yang dikuasai investor, lahan proyek pemerintah, dan kawasan permukiman yang telah ada selama ini, habitat komodo di Pulau Rinca kian menyempit. Ruang gerak menjadi lebih terbatas lagi. Begitu pula dengan tempat kawinnyam karena Loh Buaya yang menjadi titik perkawinan hewan komodo bakal dipenuhi bangunan.
Belum lagi adanya proyek pembangunan sumur bor untuk mendukung ”Jurassic Park” akan sangat berdampak terhadap sumber mata air tempat minum satwa-satwa di Pulau Rinca. Ancaman kepunahan Komodo dan satwa lainnya pun semakin di depan mata.
Data Taman Nasional Komodo menyebutkan, pada 2018, populasi hewan ini sebanyak 2.897 ekor. Jumlah ini menurun dibandingkan dengan tahun 2014 yang sebanyak 3.093 ekor. Dari populasi yang ada, sekitar 36 persen tersebar di Pulau Rinca dan di Pulau Komodo 59 persen. Sisanya berada di Pulau Gili Motang, Pulau Nusa, dan Pulau Padar.
Daya tarik komodo memang luar biasa. Hewan purba nan langka ini telah menjelma sebagai magnet besar yang menyedot minat wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Hal itu ditunjang dengan adanya ratusan pulau kecil di sekitarnya yang memiliki laut yang bersih, pantai indah, dataran yang unik, dan taman laut yang menawan.
Wisatawan biasanya datang dari Labuan Bajo menggunakan kapal motor kayu aneka model yang menawarkan beragam fasilitas, termasuk penginapan. Model wisata unik yang menggambarkan Indonesia sebagai negeri bahari. Keunikan ini sama sekali tidak dijumpai di wilayah mana pun di Indonesia, termasuk Bali yang merupakan pusat pariwisata Nusantara.
Dominasi wisatawan asing
Keunikan itu yang membuat komodo menjadi magnet besar kedatangan wisatawan dunia. Bahkan, jumlah kunjungan wisatawan asing jauh lebih besar dari wisatawan Nusantara.
Terlihat lewat data tahun 2016, dari 83.712 wisatawan yang mengunjungi Komodo, sebanyak 54.335 orang atau 64,9 persen di antaranya merupakan wisatawan asing. Setahun berikutnya, tahun 2017, jumlah wisatawan asing sebanyak 66.601 orang atau 59,6 persen dari total kunjungan wisatawan sebesar 111.749 orang.
Tahun 2018, dari 163.807 wisatawan yang mengunjungi Komodo, sebanyak 91.712 orang atau 55,98 persen merupakan wisatawan asing. Tahun 2019, wisatawan asing masih mendominasi kunjungan ke wilayah itu. Dari total kunjungan 184.208 orang, sebanyak 102.619 orang atau 55,7 persen adalah wisatawan asing. Dari keseluruhan wisatawan asing yang berkunjung ke Komodo, sekitar 9,17 persen datang menggunakan kapal pesiar (cruise) berukuran besar.
Data ini juga menggambarkan bahwa Komodo terus memikat wisatawan dunia. Fakta ini menjadi ”gula” penggoda para investor untuk menyerbu kawasan Komodo. Mereka berlomba-lomba berinvestasi. Namun, sering kali lupa mempertimbangkan dampak lingkungan yang akan timbul.
Baca juga: Presiden Perintahkan Hitung Daya Dukung Taman Nasional Komodo
Investasi untuk pengembangan pariwisata di Labuan Bajo dan sekitarnya tentu tidak dilarang. Namun, yang menjadi keberatan banyak pihak adalah kegiatan pembangunan di dalam kawasan habitat hewan komodo. Mereka tak rela habitat yang sempit itu semakin dipersempit lagi. Ini sama dengan membunuh komodo secara perlahan.
Kita mungkin belum melupakan tragedi gajah di Sumatera. Ribuan hektar hutan dibabat untuk kepentingan bisnis, seperti perkebunan kelapa sawit. Ekspansi bisnis yang masif membuat satwa-satwa langka itu kehilangan habitatnya. Ketidakadilan ekologi ini telah menimbulkan tragedi. Satu demi satu hewan langka mati dan punah. Apakah nasib komodo kelak akan seperti itu?
Jannes Eudes Wawa
Wartawan harian Kompas 2007-2019