Pendidikan di Masa Pandemi Covid-19
Selain aspek kewilayahan, kesenjangan partisipasi pendidikan pada jenjang menengah dalam konteks sosial-ekonomi juga tampak nyata. Pemerintah perlu fokus berinvestasi di wilayah padat penduduk agar pendidikan merata.
Sebelum pandemi Covid-19, pendidikan di Indonesia dihadapkan pada dua masalah serius yang harus ditangani bersamaan: akses yang belum merata dan kualitas yang masih rendah. Kita tak bisa memilih mana di antara keduanya yang harus mendapat prioritas untuk diselesaikan terlebih dulu. Kedua problem kritikal ini harus ditangani simultan dan berkelanjutan karena menyangkut hak dasar setiap warga negara, penduduk usia sekolah, untuk mendapat layanan pendidikan yang bermutu.
Pendidikan bermutu sangat penting dan diperlukan untuk membangun bangsa yang berkualitas, produktif, dan sejahtera yang ditandai oleh dua hal: individual well-being dan quality of people’s life. Pada masa pandemi, kedua masalah itu menjadi kian kronis dan kompleks sehingga memerlukan kebijakan terobosan dan strategi penanganan yang tepat untuk mencegah dampak negatif jangka panjang di masa depan.
Kita tak bisa memilih mana di antara keduanya yang harus mendapat prioritas untuk diselesaikan terlebih dulu.
Pandemi Covid-19 jelas ancaman sangat nyata dalam penyelenggaraan pendidikan. Pertama, anak putus sekolah yang menyebabkan penurunan tingkat partisipasi, sekaligus menunjukkan layanan pendidikan menjadi kian tak merata. Kedua, kualitas pembelajaran mengalami penurunan signifikan lantaran penutupan sekolah, menghalangi kegiatan belajar klasikal dan pengajaran tatap muka di kelas sehingga menyebabkan learning loss.
Kesenjangan partisipasi
Untuk melihat pemerataan layanan pendidikan lazim digunakan indikator tingkat partisipasi pendidikan penduduk usia sekolah pada setiap jenjang: dasar, menengah, dan tinggi. Pada jenjang dasar (SD/MI dan SMP/MTs) relatif tidak ada masalah serius karena angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM) sudah terbilang tinggi, yang menggambarkan bahwa layanan pendidikan sudah relatif merata.
Baca juga: Menyoal Pendidikan di Indonesia
Pada 2019/2020, APK dan APM SD/MI masing-masing 103,50 persen dan 92,88 persen, sedangkan APK SMP/MTs mencapai 101,32 persen. Maka, perhatian perlu fokus pada jenjang menengah karena angka partisipasi masih rendah dengan tingkat kesenjangan yang sangat tinggi, baik dalam konteks wilayah maupun status sosial-ekonomi masyarakat. Masalah kesenjangan partisipasi pendidikan berpangkal pada dua hal: geographic constrain dan economic hardship.
Data Susenas 2019 menunjukkan, rata-rata nasional APK SMA/SMK/MA 83,98 persen, tetapi capaian partisipasi pendidikan jenjang menengah ini sangat bervariasi antarprovinsi, bahkan terjadi disparitas yang tajam antarkabupaten di dalam provinsi yang sama. Secara nasional, terdapat tiga provinsi yang memiliki capaian APK paling tinggi: Kalimantan Timur (99,51 persen), Kepulauan Riau (95,79 persen), dan Nusa Tenggara Barat (93,89 persen).
Masalah kesenjangan partisipasi pendidikan berpangkal pada dua hal: geographic constrain dan economic hardship.
Meski demikian, perhatian perlu diberikan pada wilayah-wilayah dengan populasi anak usia sekolah sangat besar, terutama di tiga provinsi di Jawa. APK jenjang menengah di Provinsi Jawa Barat 77,82 persen (di bawah rata-rata nasional), dengan tingkat kesenjangan sangat mencolok antarkabupaten, terendah Sumedang (51,19 persen) dan tertinggi Ciamis (121,80 persen).
Jawa Tengah rata-rata APK sekolah menengah 86,76 persen dengan capaian partisipasi pendidikan sangat timpang antarkabupaten, terendah Wonosobo (55,20 persen), tertinggi Salatiga (121,91 persen). Jawa Timur rata-rata APK pendidikan menengah 84,80 persen dengan rentang perbedaan capaian juga sangat tajam, terendah di dua kabupaten: Bangkalan (55,90 persen) dan Probolinggo (56,65 persen) serta tertinggi Sidoarjo (130,59 persen).
Baca juga: Pemerataan Pendidikan yang Berkeadilan
Jumlah penduduk usia 7-18 tahun di tiga provinsi itu paling besar di Jawa Barat (10,10 juta), Jawa Timur (7,25 juta), dan Jawa Tengah (6,7 juta) atau menghimpun 43,27 persen dari total 55,60 juta anak usia sekolah.
Dengan tetap memberikan perhatian pada wilayah-wilayah lain yang masih tertinggal, pemerintah perlu fokus berinvestasi di tiga wilayah padat penduduk yang lazim disebut the battleground of social development sehingga diharapkan dapat meningkatkan akses pendidikan yang lebih merata, menjangkau seluruh kelompok dan lapisan masyarakat. Investasi dilakukan dengan membangun infrastruktur sosial primer, seperti gedung sekolah, ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, dan berbagai fasilitas pendidikan yang lain.
Selain aspek kewilayahan, kesenjangan partisipasi pendidikan pada jenjang menengah dalam konteks sosial-ekonomi juga tampak nyata. Data Susenas menunjukkan, APK SMA/SMK/MA pada kelompok kuantil 1 (20 persen masyarakat paling miskin) 70,14 persen (2019), meningkat tajam dari 23,12 persen (2000). Pada periode yang sama, kelompok kuantil 5 (20 persen masyarakat paling kaya) juga mengalami peningkatan dari semula 80,42 persen menjadi 95,26 persen.
Selain aspek kewilayahan, kesenjangan partisipasi pendidikan pada jenjang menengah dalam konteks sosial-ekonomi juga tampak nyata.
Dalam rentang waktu dua dekade, sesungguhnya tingkat partisipasi pendidikan menengah mengalami peningkatan sangat signifikan, terutama pada kelompok kuantil pertama meski masih terjadi kesenjangan yang cukup tajam. Data series Susenas ini menunjukkan suatu pencapaian yang sangat penting: disparitas partisipasi pendidikan terus menyempit dari tahun ke tahun, dari 57,30 persen (2000), turun sangat drastis menjadi 25,12 persen (2019). Secara perlahan, pemerintah berhasil mengatasi ketimpangan akses sebagai wujud pemenuhan hak dasar warga negara atas pendidikan.
”Learning loss”
Pandemi sudah berlangsung delapan bulan, memaksa semua negara di dunia mengubah layanan pendidikan dan metode pembelajaran. Menurut UNESCO, sekitar 1,5 miliar siswa di seluruh dunia tak bisa melaksanakan pembelajaran klasikal karena sekolah ditutup sehingga kegiatan belajar-mengajar dialihkan ke rumah.
Di Indonesia, sekitar 68 juta anak usia sekolah, mulai siswa PAUD sampai mahasiswa di perguruan tinggi, juga terpaksa belajar dari rumah. Namun, belajar dari rumah tak selalu mudah dilaksanakan, terutama karena keterbatasan sarana dan dukungan teknologi sehingga proses pembelajaran tak sepenuhnya berlangsung efektif.
Bahkan, pada sebagian keluarga, sekolah dari rumah telah memunculkan aneka masalah serius: mengganggu kesehatan mental, menambah tekanan dan beban psikologis, meningkatkan stres dan depresi baik bagi anak maupun orangtua, bahkan tindak kekerasan pada anak yang justru dilakukan orangtua sendiri.
Baca juga: Solusi untuk Pendidikan
Selain masalah psikososial, sejumlah problem teknis-elementer juga mengemuka: (1) tak semua orangtua bisa membimbing dan mengajari anak-anak mereka; (2) tidak semua keluarga punya akses ke sumber-sumber pembelajaran daring; (3) instrumen teknologi informasi kurang memadai dan belum menjangkau semua wilayah, yang berpangkal pada technology divide; dan (4) keterbatasan platform digital serta ketiadaan perangkat gawai untuk mendukung proses belajar-mengajar virtual yang berpangkal pada digital gap.
Platform pembelajaran digital yang belum sepenuhnya memadai membawa dampak langsung pada penurunan mutu hasil belajar siswa, secara teknis disebut learning loss.
Dalam perspektif demikian, tantangan pokok penyelenggaraan pendidikan di masa pandemi adalah membuat suatu inovasi pembelajaran berbasis teknologi digital untuk menjaga agar kualitas pendidikan tak turun terlalu tajam. Harus diakui, pilihan yang tersedia memang sangat terbatas untuk mempertahankan agar kegiatan belajar-mengajar tetap dapat berlangsung. Platform pembelajaran digital yang belum sepenuhnya memadai membawa dampak langsung pada penurunan mutu hasil belajar siswa, secara teknis disebut learning loss.
Merujuk laporan kajian Bank Dunia bertajuk Estimates of Covid-19 Impacts on Learning and Earning in Indonesia (2020), ada potensi learning loss berdasarkan analisis atas hasil PISA 2018 [2019] untuk kemampuan membaca (reading), dari semula skor 371 menjadi 355 (masa pandemi enam bulan) dan 350 (masa pandemi delapan bulan).
Penurunan capaian hasil belajar ini jelas disebabkan oleh proses kegiatan pembelajaran yang tak optimal karena dijalankan secara daring sehingga berkonsekuensi pada tiga hal: (i) penguasaan siswa atas materi pelajaran tak tuntas, (ii) praktik pedagogi oleh guru tidak efektif, dan (iii) interaksi didaktika di ruang kelas maya tidak bisa berlangsung intensif. Dari sini sudah bisa dibayangkan bagaimana performa siswa-siswa Indonesia jika pandemi Covid-19 berlangsung lebih lama lagi, misal sampai satu-dua tahun.
Hasil kajian Bank Dunia ini juga menyajikan informasi yang sungguh mengejutkan. Kemampuan belajar siswa Indonesia memang tergolong rendah, tecermin dari indikator rata-rata lama sekolah 12,3 tahun setara dengan 7,9 tahun saja dalam hal mutu hasil belajar. Jadi, ada perbedaan antara lama siswa berada di sistem persekolahan dan pencapaian akademik serta kualitas pembelajaran.
Sangat jelas, ada makna yang berlainan di antara dua konsep: schooling dan learning. Schooling adalah suatu proses siswa menempuh pendidikan dalam sistem persekolahan formal secara berjenjang dalam rentang waktu tertentu (duration).
Adapun learning adalah suatu proses kognitif untuk mengembangkan daya inteligensia dan mengeksplorasi kapasitas intelektual sebagai penanda brain-based skills berfungsi baik sehingga siswa dapat menguasai jenis-jenis pengetahuan dan keterampilan, berpuncak pada pencapaian akademik tinggi: high learning outcomes.
Sangat jelas, ada makna yang berlainan di antara dua konsep: schooling dan learning.
Analisis hasil PISA jelas mengonfirmasi anak-anak yang menempuh sekolah formal tak serta-merta mampu mengoptimalkan—meminjam paradigma klasik Benjamin Bloom Taxonomy of Learning (1954)—segenap potensi kognitif, afektif, dan psikomotorik melalui suatu proses pembelajaran bermakna. Taksonomi pembelajaran bermakna tecermin pada kemampuan siswa mengelola daya intelektual, mencakup sejumlah kemampuan esensial: mengingat, memahami, mencerna, menganalisis, mengartikulasikan, mencipta (daya kreasi).
Maka, pendidikan harus diarahkan untuk mengembangkan totalitas kemampuan dan talenta siswa agar tumbuh menjadi insan berkualitas dengan memadukan hal-hal esensial: akal budi, karakter, moral, etika, pengetahuan, dan keterampilan sebagai penjelmaan cognitive skills, mental abilities, dan moral disposition dalam praktik pembelajaran.
Amich Alhumami, Direktur Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan-Kementerian PPN/Bappenas.