Masihkah komik berstatus bastar seperti yang dinyatakan Jan Mintaraga? Disebut bastar, sebagai anak yang tidak pernah diakui orangtuanya, yakni susastra dan seni rupa, menurut dia:”… komik membentuk ras baru dengan segala caci maki. Nasib bastar memang cenderung selalu malang dan kurang beruntung” (Kompas, 9/5/1983: iv-v).
Hari ini, ketika komik juga disebut sebagai novel grafis, dengan maksud ”berkualitas susastra”, tetapi sebaliknya pascamodernisme menghapus hierarki estetik sebagai produk budaya politik, mungkinkah pernyataan itu sudah tidak berlaku lagi?
Perjuangan ideologis bastar
Saya teringat tentang status bastar ini ketika dinyatakan oleh Dakila A Fernando bahwa komik gubahan Athonk, semasa Orde Baru, ”ditolak oleh arus utama komunitas seni karena pernyataannya yang keras” (2012: 153). Tersebut pula, bentuk budaya populer yang digunakan Athonk, seperti poster dan komik itu sendiri, merupakan protes terhadap kanon sekolah seni.
Cukup dengan bond paper dan bolpoin, yang hasilnya difotokopi 50 kali, komik Athonk beredar di antara pembaca dari tangan ke tangan, sampai ke luar negeri. Dengan jalur alternatif dalam produksi, distribusi, dan tematik, gubahannya pun berlabel ”komik underground” (Imanda, 2002: 75).
Artinya, ketika komik sudah mendapatkan hak hidupnya sebagai seni, masih selalu ada saja komik yang “terbastarkan”, karena dalam dunia komik itu sendiri berlangsung perjuangan ideologis, dengan segenap kuasa pendukungnya, untuk menyatakan ”sayalah yang paling komik di antara semua komik”. Dukungan terhadap Athonk adalah catatan Fernando atas Bad Time Stories 1 & 2 (1994), sebagai komik yang menunjukkan hasrat agar terjadi perubahan sosial dan politik di Indonesia.
Dalam komik itu digambarkan, bagaimana pertukaran peran antara malaikat dan setan menjadi permainan simbolik yang sangat politis. Namun, bagi saya, permainan Bad Time Time Stories (parodi Bed Time Stories tentunya) terkurangi maknanya jika diandaikan berdaya hanya dalam konteks Orde Baru. Karikatur atas peran malaikat dan setan itu akan menjadi radikal jika bukan sekadar Orde Baru, melainkan kekuasaan normatif yang menjadi sasaran permainan kritis.
Jika diperhatikan, karikatur itu mendorong simbolisasi yang jauh lebih umum, untuk tidak mengatakannya universal, karena sumber perkara formalnya abstrak: yakni baik dan buruk. Tidak perlu diingkari, memang represi Orde Baru itulah yang membuat penggubah komik sadar—tak sadar mengaburkan sasaran kritik sehingga dalih ”universal” bisa berlaku ketika situasi tidak berpihak kepadanya.
Transformasi itu berlangsung ketika tokoh OldSkull, setelah melanglang buana dari Honolulu ke Melbourne dan seterusnya, masuk ke penjara Cebongan, Yogyakarta, karena Athonk juga mengalaminya pada 2004. Baris-komik (comic-strip) yang semula hadir sebagai representasi kosmopolitan-pinggiran berubah menjadi representasi pinggirnya-pinggiran.
Tampak sesama pinggiran, perbedaan antara bebas dan tidak bebas menghasilkan oposisi terbalik: dari keterkungkungan imajiner semasa Orde Baru, Athonk justru mengalami keterkungkungan faktual semasa Reformasi—yang ternyata menyeimbangkan imajinasinya. Tanpa kehilangan humor, OldSkull yang semula karikatural menjadi realis.
Dari seni ke jurnalisme
Dimensi representasi pun berubah, dari seni komik yang menggambarkan kebebasan dalam dunia tak direstui menjadi jurnalisme komik yang bergulat dengan penyelundupan fakta keluar dari lingkungan terali besi. Posisi sebagai pelapor (reporter) membuat Athonk terbandingkan dengan Joe Sacco, komikus pertama yang mendapat penugasan majalah berita Time, untuk meliput kehidupan di Hebron, Tepi Barat, Palestina, pada 2001. Tentu ini berkat reputasinya dengan seri (jurnalisme) komik Palestine (1993). Namun, seperti apakah jurnalisme komik Joe Sacco itu?
Dalam Journalism (2012: x), Sacco mengungkap, ”Betapapun, terdapat gambar-gambar—terutama dalam adegan-adegan yang berlangsung pada masa lalu yang tidak kulihat sendiri—yang aku harus menggunakan imajinasiku, atau tepatnya, imajinasi terinformasi.”
Memang, Sacco meliput dan melakukan segala yang wajib dilakukan agar jurnalisme komiknya dapat dipertanggungjawabkan. Gambar dirinya di tempat kejadian perkara (TKP) adalah salah satunya, tempat ia melakukan wawancara dengan para saksi mata. Bisakah dibayangkan posisi Athonk ketika sudut pandang jurnalisme komiknya adalah sudut pandang dari dalam penjara Cebongan?
Dari segi jurnalistik, laporan Athonk adalah eksklusif karena dengan posisinya segala pernik kemanusiaan terungkap, dalam ruang kebebasan yang harus terus-menerus diperjuangkan: menggambarnya diam-diam, menyelundupkannya keluar tentu juga diam-diam, beredar tanpa gembar-gembor sebagai komik fotokopi, yang baru tergaris bawahi bobot maknanya ketika berlangsung pembantaian tahanan pada 2013. Liputan terbaik siapa pun, selama tidak siang-malam dari dalam sel berbulan-bulan, tidak akan setara dengan liputan Athonk, yang terhadirkan sebagai OldSkull—bastar punk Jawa nan lugu itu.
Status bastar komik, menurut Mintaraga, karena susastra dan seni rupa itu beda ras, tetapi ras apa jadinya jika kini ditambah jurnalistik pula? Dalam kebastarannya komik tidak pernah berhenti melahirkan bastar, tetapi kebastarannya tidak mesti berarti kurang beruntung karena tanpa kebastaran itu komik tidak akan pernah menjadi ras baru, dan menghidupkan kebudayaan. Bahkan, tanpa kebastaran, kebudayaan bukanlah kebudayaan.
SENO GUMIRA AJIDARMA
Wartawan