Tata Ruang dan UU Cipta Kerja
Jika daya dukung lingkungan (DDL) dan daya tampung lingkungan (DTL) dalam rencana tata ruang masih bersifat semu, sulit untuk dijadikan pedoman dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan.
Pro dan kontra terhadap Undang-Undang Cipta Kerja masih terus berlanjut, termasuk yang terkait dengan klaster lingkungan. Pandangan kontra yang berkaitan dengan klaster lingkungan sekitar pada penghapusankanya izin lingkungan, terbatasnya peran dan masyarakat, laporan Komisi Penilai Amdal, tertutupnya gugatan kerusakan lingkungan dan jenis-jenis sanksi administrasi.
Ada hal kritis yang luput dari perhatian namun berpotensi menimbulkan implikasi lingkungan yang besar, dengan adanya ketentuan perizinan berusaha yang berbasis kesesuaian ruang. Dalam Pasal 13 UU Cipta Kerja disebutkan bahwa penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha, meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang.
Pro dan kontra terhadap Undang-Undang Cipta Kerja masih terus meng- gelinding, termasuk terkait klaster lingkungan.
Pasal berikutnya menetapkan bahwa jika pelaku usaha telah mendapatkan konfirmasi bahwa rencana usahanya sesuai dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) maka pelaku usaha bisa mengajukan izin berusaha. Ketentuan ini mengindikasikan bahwa jika sebuah usaha atau kegiatan yang berada di lokasi yang telah sesuai dengan RDTR maka tidak diperlukan lagi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
RDTR merupakan penjabaran Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dilengkapi peta zonasi. Apakah RTRW cukup andal dalam menyaring rencana usaha/kegiatan tanpa Amdal? Pertanyaan yang lebih substantif adalah apakah RTRW mampu menjamin terwujudnya perekonomian nasional dengan prinsip berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan kemandirian, sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 33 Ayat 4?
Pengecualian Amdal
Ketentuan tentang pengecualian Amdal pada rencana usaha dan atau kegiatan yang berlokasi di ruang yang memiliki RDTR sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 24 Tahun 2018, namun melalui prosedur yang ketat.
Gubernur/Bupati/Walikota mengajukan permohonan pengecualian kewajiban penyusunan Amdal kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) disertai dokumen RDTR dan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis). Jika Menteri menyetujui, rencana usaha/kegiatan yang dikecualikan tersebut masih harus disertai dengan UKL/UPL (Upaya Kelola Lingkungan dan Upaya Pengelolaan Lingkungan).
Dalam UU Cipta Kerja, prosedur yang demikian tak diberlakukan, sepanjang sesuai dengan RDTR, izin berusaha dikeluarkan, terlebih dengan telah dihapuskannya ketentuan tentang izin lingkungan. Kendatipun, misalnya, usaha atau kegiatan tersebut diwajibkan melaksanakan RKL dan RPL (Rencana Kelola Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan), besar kemungkinan RKL dan RPL-nya tidak mendetail dan komprehensif karena tidak disusun berbasis pada tahapan kajian Amdal.
RKL dan RPL yang diimplementasikan bersifat parsial masing-masing usaha/kegiatan, tidak mencakup dampak kumulatif. Jika usaha/ kegiatan tersebut berada di sebuah kawasan, dampak kumulatif sangat krusial untuk diidentifikasi dan dikelola.
RKL dan RPL yang diimplementasikan bersifat parsial masing-masing usaha/kegiatan, tidak mencakup dampak kumulatif.
Pelanggaran tata ruang
Penataan ruang merupakan pedoman penggunaan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Isu tentang penataan ruang selama puluhan tahun didominasi oleh penggunaan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Banjir di Jakarta ditengarai karena perubahan alih fungsi lahan di Puncak dan Bogor yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Harian Kompas pernah memuat protes warga Tasikmalaya yang memasang spanduk berbunyi "Dijual Segera Kota Tasikmalaya". Ia galau melihat perkembangan kotanya yang begitu mudah berubah oleh gempuran investor.
Taman berubah menjadi ruko, gedung-gedung bersejarah tumbang, berubah rupa menjadi mal, kawasan hijau berganti menjadi perumahan. Fenomena kota berpenduduk kurang dari satu juta jiwa tersebut sesungguhnya mewakili perkembangan kota-kota di Indonesia lainnya yang sangat market driven.
Maraknya pelanggaran tata ruang mendorong revisi UU No 24 Tahun 1992 menjadi UU No 26 Tahun 2007 yang di antaranya menetapkan: pejabat yang memberikan izin di ruang yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan peruntukannya, dikenakan sanksi pidana. UU Penataan Ruang yang baru ini memuat pula ketentuan bahwa tata ruang nasional, provinsi, kabupaten dan kota harus memerhatikan daya dukung lingkungan (DDL) dan daya tampung lingkungan (DTL).
DDL adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain dan keseimbangan antar keduanya. DTL adalah kemampuan lingkungan menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Sejauh ini aturan pelaksanaan tentang DDL baru menyangkut lahan dan air. Namun dua komponen itu cukup menjadi rambu-rambu agar peruntukan sebuah ruang tak memicu terjadinya kerusakan lahan misalnya amblesan tanah (land subsidence) sebagaimana marak terjadi di wilayah pesisir utara Jawa.
Sejauh ini aturan pelaksanaan tentang DDL baru menyangkut lahan dan air.
Demikian juga kekeringan sebagaimana terjadi di sekitar kawasan industri karena pengeboran sumur dalam oleh industri yang tidak terkendali. DTL mengatur volume dan jenis limbah yang dibuang dari kegiatan di sekitar sungai agar tidak melebih daya tampungnya. Bau, perubahan warna air, tingginya parameter kualitas air seperti BOD, COD, pH menunjukkan terlampauinya daya tampung lingkungan.
Tata ruang tidak berkualitas
UU No 26 Tahun 2007 mengamanatkan agar tata ruang nasional, provinsi, kabupaten dan kota menyesuaikan dengan ketentuan UU ini, termasuk mendasarkan pada DDL dan DTL selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
Ketentuan tentang DDL dan DTL ini diperkuat dengan UU No 32 Tahun 2009 yang memuat ketentuan bahwa penyusunan tata ruang harus diawali dengan KLHS, di mana salah satu komponen yang harus dijadikan dasar adalah DDL dan DTL.
Persoalanya, apakah tata ruang yang telah disusun di tingkat nasional, provinsi, kabupaten dan kota yang masa berlakunya antara 2010-2030 dan 2011-2031 telah mendasarkan pada DDL dan DTL? Suka tidak suka ketentuan DDL dan DTL akan membatasi besar dan jenis kegiatan yang akan menggunakan sebuah ruang. Ruang untuk kawasan industri, misalnya, harus jelas berapa jumlah, jenis dan spesifikasi industri yang boleh menghuni.
Batasan lain adalah kuota limbah yang boleh dibuang oleh masing-masing industri agar tak melampuai kemampuan lingkungan menyerap zat yang masuk di dalamnya. Dua hal ini rasanya sulit dipenuhi jika melihat praktik di lapangan. Kawasan industri sangat market driven karena segala jenis industri boleh masuk bahkan dengan iming-iming berbagai insentif. Kawasan industri Terpadu Batang sudah digadang-gadang menerima pindahan tujuh industri dari China.
Sebuah kawasan industri di sebuah kota di Jawa Tengah di awal perencanaannya untuk pergudangan, tetapi di tengah perjalanan menerima industri manufaktur tanpa syarat tertentu.
Ketentuan DDL dan DTL menjadi dasar penyusunan tata ruang tidaklah mudah. Dari sisi prosedur untuk memenuhi ketentuan UU mungkin semua RUTR provinsi, kabupaten dan kota telah dilengkapi DDL dan DTL. Namun demikian, dari sisi substansi, DDL dan DTL tak diinternalisasikan pada tata ruang dengan komprehensif dan detail. Sebuah kabupaten di Jawa Tengah telah menetapkan kawasan lindung dan kawasan budi daya dalam RTRW-nya.
Kawasan industri Terpadu Batang sudah digadang-gadang menerima pindahan tujuh industri dari China.
Namun demikian, masyarakat lokal menemukan bahwa di kawasan yang ditetapkan sebagai budi daya tersebut banyak ponor atau rekahan tanah yang mengindikasikan sebagai daerah imbuhan (recharge area), salah satu kriteria kawasan lindung. Secara kebetulan atau mungkin disengaja di Kawasan yang ditetapkan sebagai budi daya yang mengandung ciri-ciri kawasan lindung tersebut merupakan calon lokasi industri.
Keluhan para penyusun tata ruang di kabupaten/kota sejauh ini adalah belum tersedianya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, keterbatasan data serta sulitnya koordinasi antar unit untuk memasukkan DDL dan DTL dalam tata ruang dengan komprehensif. Rencana tata ruang yang memuat DDL dan DTL sebenarnya untuk memastikan bahwa rencana usaha dan kegiatan yang dilaksanakan di ruang tersebut berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Terkait konflik pemanfaatan kawasan Kendeng Utara yang meliputi Kabupaten Grobogan, Pati, Rembang dan Blora di Jawa Tengah dan Bojonegoro, Tuban dan Lamongan di Jawa Timur, Presiden Jokowi pada pertemuanya dengan Sedulur Sikep dari Kabupaten Pati tanggal 2 Agustus 2016 menyepakati untuk menyelesaikanya dengan KLHS.
KLHS diharapkan memberikan rekomendasi daerah mana yang ditetapkan sebagai kawasan lindung dan kawasan budi daya. Sayangnya KLHS berbasis batasan ekologis itu tidak dijadikan pijakan revisi tata ruang provinsi dan kabupaten di seantero Kendeng Utara.
Ketentuan tentang DDL dan DTL diduga membatasi program dan kegiatan mereka. Padahal ketentuan Pasal 17 UU No 32 Tahun 2009 menetapkan bahwa KLHS menjadi dasar penyusunan tata ruang. Kita bisa menduga kualitas tata ruang yang disusun oleh pemerintah provinsi, kabupaten dan kota.
Masalahnya menjadi semakin rumit ketika Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menemukan bahwa baru 56 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia yang telah memiliki RDTR (Kompas, 17/10/2020).
Masalahnya menjadi semakin rumit ketika Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menemukan bahwa baru 56 dari 514 kabupaten / kota di Indonesia yang telah memiliki RDTR (Kompas, 17/10/2020). Pasal 15 UU Cipta Kerja pembantuan jika kabupaten / kota belum memiliki RDTR, pemerintah pusat memberikan persetujuan kesesuaian kegiatan ruang sesuai rencana tata ruang.
Jika DDL dan DTL dalam rencana tata ruang yang bersifat semu, sulit untuk berinovasi dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan.
(Sudharto P Hadi Guru Besar Manajemen Lingkungan UNDIP, Wakil Ketua Dewan Riset Nasional)