Kita tentu ingat kasus mahasiswi yang diperkosa penyair yang cukup dikenal publik beberapa tahun lalu. Kasus ini turut menjadi momentum penting bagi perjuangan penegakan hukum yang adil dan hak-hak asasi perempuan.
Oleh
Linda Christanty
·4 menit baca
Stieg Larsson, penulis dan jurnalis Swedia, yang pertama kali dikenal pembaca dunia melalui novelnya, The Girl with the Dragon Tattoo, dipengaruhi pengalaman pribadi saat mencipta karakter utamanya, Lisbeth Salander.
Ia pernah menyaksikan remaja perempuan diperkosa di sebuah perkemahan. Waktu itu ia juga masih remaja dan tinggal di Umea, kota di Swedia timur. Beberapa pelaku adalah teman-temannya. Seumur hidup ia menyesal tidak berdaya mencegah kejahatan itu.
Pengalaman saya tidak sedramatis Larsson yang menjadi saksi mata sebuah kejahatan keji, tetapi juga menunjukkan betapa rentannya anak-anak perempuan terhadap jenis kejahatan ini.
Suatu hari, di masa sekolah menengah, saya dan teman-teman pergi ke pantai untuk merayakan kenaikan kelas. Seorang guru ikut serta. Kami mengajaknya karena ia dekat dengan murid, layaknya teman. Tiba-tiba seorang teman perempuan pamit untuk pergi sebentar menemani guru kami entah ke mana. Tidak ada yang memperhatikan mereka. Setiap orang menikmati tamasya.
Teman saya adalah remaja yang periang, tetapi ia berubah menjadi pemurung setelah acara kami di pantai. Tahun-tahun berlalu, saya akhirnya mendengar ia mengalami pelecehan seksual yang dilakukan guru kami. Kasusnya tidak dilaporkan ke polisi. Dalam beberapa kasus, korban malah menjadi tertuduh atas kejahatan terhadap dirinya. Jika terjadi kehamilan, ia akan dinikahkan dengan pelaku. Ia akan menjadi korban pemerkosaan dan sekaligus korban nikah paksa.
Sejumlah kasus kekerasan seksual melibatkan pelaku yang dihormati korban atau menjadi panutannya; guru, dosen, atasan, tokoh agama ataupun tokoh masyarakat, dan pejabat publik. Posisi pelaku dan korban tidak setara dalam sebuah relasi kuasa. Hal ini membuat pelaku lebih leluasa melaksanakan perbuatannya karena terlindungi oleh wewenang.
Seorang teman saya takut dimarahi orangtua sehingga memilih merahasiakan pengalaman yang terus menghantuinya. Ia mengalami kekerasan seksual dan percobaan pemerkosaan di masa remaja. Sepuluh tahun setelah peristiwa itu ia berusaha mencari keadilan hukum untuk menuntut perbuatan pelaku. Ia masih sering mengalami tantrum, menangis, marah, dan sukar mengendalikan emosi setiap kali ingatannya tentang peristiwa tersebut pulih, bahkan oleh hal kecil dan tidak berarti.
Ia mendatangi kantor sebuah lembaga bantuan hukum tahun lalu. Akan tetapi, pengacara membutuhkan bukti-bukti yang dapat digunakan untuk melaporkan kasusnya. Ia tidak memiliki cukup bukti. Pelakunya dikenal publik dan melakukan kegiatan filantrofis sehingga ia merasa lingkar pendukungnya sendiri belum cukup kuat. Jika tidak berhati-hati, ia dapat dituntut mencemarkan nama baik seseorang. Ia juga membutuhkan bantuan ahli untuk menyembuhkan trauma.
Menurut data Lembaga Kesehatan Dunia, satu dari tiga perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan seksual. Satu dari dua perempuan pernah menjadi korban kekerasan, termasuk mengalami kekerasan seksual, saat remaja.
Makan ekstrem
Pengalaman yang traumatis pun dapat memengaruhi pola makan seseorang secara ekstrem. Makanan tidak dinikmati, melainkan bagian dari pengalihan rasa sakit hati.
Beberapa tahun lalu saya pergi ke sebuah klinik kesehatan di Jakarta untuk berkonsultasi dengan dokter di sana tentang obesitas. Ia menyampaikan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa obesitas bersumber dari otak manusia. Ia lalu mengembangkan penanganannya melalui pengaturan pola makan dan pola pikir.
Pemicu obesitas rupanya beragam. Salah seorang pasien makan tak terkendali karena trauma: ia diperkosa ayahnya dan menyaksikan ibunya dibunuh.
Empat tahun lalu kita dikejutkan oleh peristiwa pemerkosaan murid sekolah menengah pertama di Desa Kasie Kasubun, Bengkulu. Ia berusia 14 tahun, diperkosa 14 lelaki berbagai usia pada 2 April 2016. Tubuhnya kemudian dilemparkan ke jurang hingga meninggal.
Kasus itu menjadi penguat tekad berbagai kalangan dan para aktivis perempuan untuk mendesak pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Namun, pada Juli 2020, RUU P-KS malah dihapus dari Program Legislasi Nasional (prolegnas). Persilangan pendapat di antara fraksi-fraksi di parlemen tentang judul, definisi, dan aturan pemidanaan dijadikan alasan penghapusan.
Berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menempatkan korban sebagai saksi korban atau obyek dari kasusnya, RUU P-KS menjadikan korban sebagai subyek yang dilindungi hak-haknya secara hukum. Penghapusan RUU P-KS dari Prolegnas berlangsung saat jumlah kasus meningkat.
Komnas Perempuan melaporkan, tahun ini terjadi 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan, lebih banyak dari tahun lalu yang tercatat 406.178 kasus. Sebanyak 4.898 kasus adalah kasus kekerasan seksual. Kekerasan terhadap anak perempuan yang berjumlah 1.417 kasus di tahun sebelumnya menjadi 2.341 kasus pada tahun ini.
Dari 2.341 kasus itu, 571 kasus adalah kasus kekerasan seksual anak, naik 65 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kekerasan seksual terhadap perempuan penyandang disabilitas juga naik 47 persen dibandingkan tahun lalu.
Kita tentu tidak akan melupakan kasus mahasiswi yang diperkosa penyair yang cukup dikenal publik, beberapa tahun lalu. Kasus ini turut menjadi momentum penting bagi perjuangan penegakan hukum yang adil dan hak-hak asasi perempuan. Pada 29 November 2013, mahasiswi ini melaporkan pelakunya kepada polisi.
Meskipun proses hukum belum sepenuhnya dijalankan, penetapan status pelaku menjadi tersangka dapat dianggap satu langkah maju mengingat beratnya tantangan dan rintangan yang ia hadapi, juga berbagai kalangan yang mendukungnya. Di lain pihak, kenyataan ini menunjukkan bahwa dukungan sebesar itu pun belum mampu mendorong penyelesaian kasus lebih jauh. Tersangka tidak kunjung diadili.