Pada akhir bulan ini, ada hari libur yang disertai cuti bersama. Diperkirakan banyak warga yang pergi berlibur. Semua pihak hendaknya berhati-hati. Protokol kesehatan harus selalu dijaga.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Hari libur yang disertai cuti bersama pada akhir Oktober ini, kita tidak bisa lain kecuali memesankan hati-hati mengingat wabah Covid-19 terus meruyak.
Di sisi lain, kita tahu ada kebutuhan psikologis masyarakat untuk mencari suasana segar setelah lebih dari tujuh bulan suntuk di rumah. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menerbitkan surat edaran tentang antisipasi penyebaran Covid-19 pada libur dan cuti bersama 2020 kepada semua kepala daerah.
Mendagri meminta agar kepala daerah mengimbau warganya menghindari perjalanan pada libur panjang dan mematuhi protokol kesehatan (Kompas, 23/10/2020).
Peringatan di atas kita nilai bijak karena pengalaman—seperti pada libur panjang akhir Juli lalu—menunjukkan ada peningkatan kasus harian secara tajam setelah warga menggunakan kesempatan liburan untuk perjalanan.
Terkait dengan ini, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria meminta warga Jakarta tetap melaksanakan protokol Covid-19 dan tetap berada di rumah, serta yang tidak kalah penting warga meningkatkan kesehatan dan kekebalan tubuh.
Meski terdengar klise, media—sebagaimana pejabat seperti Mendagri dan Wagub DKI Jakarta—tak bisa lain perlu mengulang pesan, hati-hati, kepada warga. Alasannya jelas, wabah masih meruyak dan—ini yang tidak kalah penting—masih banyak anggota masyarakat yang belum tahu bahaya Covid-19 dan tidak mau tahu risiko penyakit ini.
Pesan Mendagri digarisbawahi oleh Ketua Perhimpunan Ekonomi Kesehatan Indonesia Hasbullah Thabrany. Ia mengatakan, pencegahan sebagai senjata utama melawan Covid-19 hingga kini belum maksimal diterapkan.
Selain belum tahu mengenai Covid-19, bahaya, cara penularan, dan cara perlindungan untuk mencegah segala risikonya, juga ada faktor watak masyarakat yang cenderung meremehkan masalah dengan menganggap dirinya tidak akan tertular, apalagi jika tubuhnya tidak menunjukkan gejala.
Memberikan ruang untuk liburan dan perjalanan muncul kesan bahwa kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersifat (semata) populis. Hal ini, menurut Hasbullah, tak masalah jika persepsi masyarakat terhadap Covid-19 seragam, yaitu memahami risiko bahaya dan dampaknya. ”Namun, di Indonesia, pemahaman terhadap Covid-19 sangat dangkal, bahkan banyak yang belum tahu,” kata Hasbullah.
Hal ini diperkuat survei Badan Pusat Statistik yang menyebutkan, 17 persen responden tidak percaya akan tertular Covid-19. Di antara alasannya, responden tidak melihat penegakan aturan ataupun pemberian sanksi tegas. Mereka bahkan menganggap protokol kesehatan mengganggu pekerjaan mereka dan mereka juga melihat masih ada aparatur pemerintah yang tidak menjalankan protokol kesehatan.
Kalau demikian halnya, masuk akal kalau delapan bulan setelah wabah merebak, kita belum beranjak jauh, dengan penambahan kasus harian sekitar 4.000. Sebagian mungkin meyakini, tak lama lagi akan ada vaksin. Namun, sekadar mengingatkan, sebagai bangsa, kita perlu bersikap konsisten dalam melindungi diri dan mencegah meluasnya wabah.