Belajar dari China, Pemerintah Indonesia perlu membuat komunikasi publik yang baik. Dengan demikian, rakyat mempunyai acuan yang benar dan jelas sumbernya, sekaligus meminimalkan perang opini di media massa dan sosial.
Oleh
Djoko Madurianto Sunarto
·3 menit baca
Kantor berita China, Xinhua, sukses menarik perhatian dan simpati saya sebagai pembaca harian Kompas. Ia telah menjalankan misi multilateralisme ke pelbagai negara, termasuk Indonesia, lewat iklan rubrik satu halaman penuh di harian Kompas.
Sebagai ”sie humas” Pemerintah China untuk dunia, Xinhua tahu betul kelompok sasarannya. Iklan rubrik tersebut bisa mengalihkan perhatian dan membawa saya seolah-olah berada di China. Hebat.
Dalam Kompas, Minggu (27/9/2020), Xinhua menyajikan topik tentang peta jalan Presiden Xi Jinping untuk membantu dunia mengatasi pandemi Covid-19. Berikutnya topik kehadiran Xi Jinping di PBB untuk menunjukkan komitmen China terhadap multilateralisme.
Kompas pada edisi Minggu (11/10) menyajikan topik tentang Xinjiang dan peningkatan populasi etnis Uighur berserta tiga topik terkait tentang Uighur.
Sangatlah jelas bahwa pilihan rubrik berhubungan dengan isu yang berkembang di masyarakat Indonesia, lalu Xinhua hadir meluruskan pandangan yang keliru. Memang, belum semua isu negatif diluruskan, tetapi saya percaya rubrik tersebut akan berkelanjutan.
Pemerintah Indonesia tampaknya perlu memperhatikan model komunikasi ini karena demo-demo yang marak pada akhir-akhir ini tidak lepas dari gagalnya komunikasi publik pemerintah kepada rakyatnya. Rakyat seperti tidak mengetahui apa yang dikerjakan oleh para eksekutif, legislatif, dan yudikatif negeri ini.
Kita bisa bandingkan iklan rubrik Xinhua dengan berita halaman 1 edisi yang sama (Minggu, 11/10) yang berjudul ”Segera Buka Draf RUU Cipta Kerja”. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa hampir sepekan sejak disetujui DPR, draf final RUU Cipta Kerja belum dapat diakses publik.
Kompas edisi Selasa (13/10) menulis lagi, ”Draf UU Cipta Kerja Diduga Berubah”. Pada hari yang sama, Kompas juga menulis ”Benahi Komunikasi Publik” terkait pelbagai stigma sosial akibat Covid-19.
Belajar dari China, Pemerintah Indonesia perlu untuk membuat komunikasi publik yang baik. Dengan demikian, rakyat mempunyai acuan yang benar isinya dan jelas sumbernya, sekaligus meminimalkan perang opini di media masa ataupun di media sosial.
Djoko Madurianto Sunarto
Jl Pugeran Barat, Yogyakarta 55141
Tanggapan untuk Alvin
Menyambung usulan Mas Alvin untuk Kompas (Jumat, 9/10), saya ingin menyampaikan sedikit pandangan.
Pertama, saya mengenal Kompas sejak kelas V SD. Ketika itu, datuk saya yang memperkenalkan karena hobi beliau mengisi TTS Kompas. Begini katanya, ”Sekarang, kamu baca ini saja dulu (Pos Kota). Nanti, kalau sudah SMA, baru baca ini (Kompas).”
Akhirnya, saya membaca Kompas sejak kuliah Ilmu Politik di UI tahun 2000 dan awal mulai bekerja sebagai pekerja politik di DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Kedua, sebagai kalangan ”Islamis”, saya merasa perlu membaca Kompas sebagai salah satu media penyeimbang di Indonesia. Dengan artikel-artikel bernasnya, Kompas memberikan sudut pandang berbeda yang mengayakan pengetahuan dan pendewasaan sikap kalangan Islam dalam merespons beragam isu.
Ketiga, terkait semakin tipisnya halaman Kompas, saya sama sekali tidak mempermasalahkan, toh esensi pemberitaannya masih saya dapatkan dan itu lebih dari cukup. Banyaknya iklan pada waktu-waktu tertentu, menurut saya, juga masih dapat ditoleransi.
Terakhir, saya mengapresiasi Kompas atas keberhasilannya melakukan pivot bisnis menghadapi perkembangan informasi dan teknologi.
Hari ini, saya hanya berlangganan Kompas e-paper dengan harga terjangkau, dengan kemudahan akses kapan pun dan di mana pun. Semoga Kompas tetap berjaya.