Rantai Vulgarisasi Politik
Kita semua, terutama kaum muda, mesti kembali memperkaya literasi dan menolak segala kompleks vulgarisasi. Di tengah deraan wabah virus korona, kita tetap harus percaya pada rangkaian aset bangsa kita guna menjadi besar.
Pada usianya yang ke-75, bangsa kita terasa kian terperangkap ke dalam suatu lingkaran politik yang melumpuhkan. Ritual tahunan tentang bahaya komunisme, mimpi akut khilafah, godaan bolak-balik dalam sistem kenegaraan, dan pertengkaran kedaluwarsa tentang Pancasila adalah beberapa contoh yang ikut berkontribusi pada pelumpuhan itu. Semua ini berhulu pada aneka kompleks makro-politik.
Diperparah selama delapan bulan terakhir oleh serangan mahawabah virus korona, jadilah bangsa kita kian terpuruk. Tingkat koherensi dan kesepahaman konstitusional dalam pelbagai praksis bernasion dan berdemokrasi—syarat mutlak bagi kemajuan suatu bangsa—kian menciut. Sihir citra Presiden Jokowi juga merupakan akibat dari deretan ”blunder”, terutama pengebirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sihir citra Presiden Jokowi juga merupakan akibat dari deretan ’blunder’, terutama pengebirian Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kemiskinan literasi
Seolah tak disadari, bangsa kita dari windu ke windu semakin kehilangan semangat, rasa percaya diri, dan keluasan cakrawala keindonesiaan. Ketiga modal inilah yang sejak lebih dari seratus tahun lalu berangsur yang membawakan Kebangkitan Nasional dan melahirkan tiga generasi putra-putri bangsa dengan integritas dan kecerdasan yang rata-rata fenomenal, khususnya para pendiri bangsa yang mengantarkan kita semua ke alam kemerdekaan.
Bertahun-tahun para pejuang dan kaum gerilya kita mempertahankan kemerdekaan secara terhormat menghadapi superioritas militer Belanda yang ditopang Inggris dan Amerika. Tak kurang dari empat puluh tahun Bung Karno sedari muda sudah tampil gemilang secara nasional dan berkiprah prima dalam gelanggang politik internasional.
Baca juga: Pancasila dan Sosialisme Soekarno
Tidaklah keliru menyebut beliau sebagai personifikasi terdepan dari semangat, rasa percaya diri, dan keluasan cakrawala keindonesiaan. Ini disusul oleh mekarnya pelbagai bidang kegiatan di Tanah Air selama dua puluh lima tahun rentang awal Orde Baru.
Terlepas dari kesalahan-kesalahan besar dalam hukum, kita sebagai bangsa yang tetap ditandai dan terbimbing oleh ketiga modal tadi. Kendati di tengah kondisi yang serba bersahaja, semua itu dilaksanakan oleh para pemimpin kita secara minim vulgaritas. Selama berpuluh tahun, kiprah itu senantiasa bisa membuat bangsa kita tak perlu ragu mengangkat wajah di mancanegara. Kini itu semua seperti tinggal kenangan kabur.
Seperti dalam psikologi, kata ”kompleks” di sini kita merujuk pada sejumlah gejala atau determinan yang terus bekerja membuat subyeknya berupa individu, kolektivitas, atau bangsa tak kunjung lepas dari aneka rundungan masalah. Himpunan gejala ini sangat menghambat bangkitnya inisiatif dan solusi dalam berbagai bidang.
Pada usia kemerdekaan bangsa kita kini, kita dapat menyebut vulgarisasi politik sebagai biang utama dari kompleks-kompleks politik yang saling memengaruhi. Vulgarisasi ini tak terpisahkan dari kemiskinan literasi, fanatisme identitas, kesempitan cakrawala, dan kebangkrutan otoritas.
Vulgarisasi ini tak terpisahkan dari kemiskinan literasi, fanatisme identitas, kesempitan cakrawala, dan kebangkrutan otoritas.
Tak satu pun bangsa di dunia yang bebas dari kompleks-kompleks politik. Tapi, kita harus jujur mengakui bahwa rangkaian dan intensitas kompleks yang kini mencakup bangsa kita mencakup hal-hal yang sangat mendasar pada titik rawan dan karena itu amat menyuramkan prospek bangsa kita ke depan.
Vulgarisasi politik merupakan hulu dan sekaligus muara manifestasi kompleks-kompleks politik buruk lainnya. Itu bermula dari pembalikan berangsur dari makna kata ”politik” itu sendiri. Aslinya ”politik” mengacu pada tiap upaya sadar dari pendiri atau pemimpin suatu negara untuk mematri dan menghabituskan tujuan luhur dan laku bajik dalam masyarakat bangsa.
Vulgarisasi membuat makna ”politik” terbalik menjadi upaya upaya dan kegiatan sendiri-sendiri untuk saling menjegal demi mempertahankan atau merebut kekuasaan menurut beragam hasrat dan naluri rendah warga negara.
Baca juga: ”Ambyar”
Singkatnya, vulgarisasi tak hanya merupakan laku khianat terhadap impian kemuliaan dambaan tiap negara-bangsa, tetapi sekaligus keterhelaan orang banyak ke dalam perkubangan beragam hasrat dan naluri rendah tadi.
Vulgarisasi politik dengan demikian mengancam segenap sendi dan konsensual kehidupan berbangsa dan berdemokrasi. Ia membalikkan tujuan utama suatu politik kolektivitas, yaitu untuk mencapai optimalisasi kebajikan, akal-budi, dan kesejahteraan hidup bersama dalam kemajemukan.
Sulit untuk melihat berlakunya vulgarisasi pada bangunan, manajemen, dan praksis kepartaian pada era Reformasi. Bahkan, harus ditegaskan bahwa partai politik pada era Reformasi-lah yang menjadi ”penyebar super” vulgarisasi politik pada keseluruhan sistem dan demokrasi kita.
Partai-partai politik bangkrut empat kali lipat: bangkrut prinsip-prinsip politik modern, bangkrut ideologi politik, bangkrut pemahaman akan teladan-teladan politik dari para pendiri bangsa, dan bangkrut aktualisasi visi politik bernasion dan berdemokrasi.
Sulit untuk melihat berlakunya vulgarisasi pada bangunan, manajemen, dan praksis kepartaian pada era Reformasi.
Ini juga berlaku pada partai-partai pendaku reformasi. Mesti Dikatakan bahwa pengebirian KPK adalah buah persekutuan buruk, terutama antara pentolan partai reformasi dan pentolan partai bablasan Orde Baru.
Vulgarisasi ini pulalah yang kita saksikan dalam perilaku pemerintahan Jokowi yang di awal begitu canggih membuat janji-janji untuk kemudian melupakan atau mengesampingkannya satu-satu. Komplisitas Jokowi dalam menjadikan KPK terasa tinggal ampas membuat kita semakin perlu mempertanyakan realisasi dan akuntabilitas dari rangkaian megaproyek, seperti ”poros maritim”, perluasan infrastruktur, pembukaan lahan-lahan pertanian, dan pembangunan sumber daya.
Menimpali vulgarisasi dalam pemerintahan, praktik-praktik legislasi di DPR sulit untuk disebut menggerogoti negara-bangsa, demokrasi, dan Tanah Air kita. Luasnya penolakan pada Undang-Undang Cipta Kerja pada saat-saat ini mestilah diterapkan sebagai akibat langsung dari buruknya reputasi, kerapnya ”laku lancung” dan miskinnya kepercayaan kepada DPR dan pemerintah dalam penyusunan ataupun perubahan undang-undang.
Baca juga: Perbaiki Kepercayaan Publik
Sudah pasti kita mengecam keras tiap tindakan anarkis dari penolakan itu dan akan terus mengecamnya. Namun, mata kita harus tetap tertuju pada ”causa prima”-nya. Praktis semua legislasi lancung melecehkan prinsip keabsahan substansial dan keabsahan prosedural demokrasi.
Menolak vulgarisasi
Agar bangsa kita tidak terus berkubang dalam lingkaran politik yang melumpuhkan, kita harus menjelajah dan memasuki teladan para Pendiri Bangsa kita, yaitu dalam kekayaan literasi. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa bangsa kita merdeka dan sanggup bertahan hidup detik ini tak lain adalah berkat buah dari kekayaan literasi para pendiri bangsa. Ini lahir dari gairah eksistensial istimewa serta ketekunan luar biasa mereka, terutama pada rentang usia muda, untuk sabar mencerna sebanyak mungkin kitab-kitab.
Pada populasi ini, semua harus ikut ditarik dari warisan benih-benih dan bersit-bersit keutamaan akal budi leluhur kita di Nusantara di sepanjang milenium pra-koloni yang dipersaksikan oleh Anthony Reid dan Denys Lombard dalam karya-karya besar mereka. Kekayaan literasi putra-putri bangsa kita terus bersinar dari tahun 1920-an hingga ke tahun 1990-an.
Tak berlebihan jika dikatakan bahwa bangsa kita merdeka dan sanggup bertahan hidup detik ini tak lain adalah berkat buah dari kekayaan literasi para pendiri bangsa.
Ini merupakan ”reservoir” dari tak maju kebajikan dan keutamaan politik. Masyarakat, apalagi pemerintah, tanpa kekayaan literasi adalah sumber malapetaka. Sepanjang lebih dari tiga tahun terakhir, misalnya, kita menyaksikan betapa dalam dan parahnya dampak kemiskinan literasi Presiden Donald Trump pada seluruh lapisan masyarakat Amerika.
Kemiskinan literasi adalah pangkal eksklusivisme dan fanatisme identitas. Setiap bentuk eksklusivisme adalah sumber kekerdilan cakrawala yang berujung pada keterpurukan identitas. Makin inklusif suatu kelompok, semakin terbuka pula cakrawalanya, semakin konstruktif pula, dengan semua kelompok lain di dalam negara-bangsa, dan semakin lapang pulalah jalannya untuk terus berprakarsa dan berkembang dalam beragam bidang di Tanah Air atau di mancanegara.
Kiprah seorang Soekarno dalam gawe ”Indonesia Maksi” dan kiprah seorang Jakob Oetama dalam gawe ”Indonesia Mini” lewat bisnis Kompas-Gramedia yang sama-sama merakyat dan merangkul semua anak bangsa merupakan dua contoh cemerlang. Kedua gawe inibersambung terpadu satu sama lain dalam upaya bakti dan bukti nyata inklusivisme keindonesiaan.
Sungguh patut kita tak henti-henti memanjatkan ucapan syukur akbar bahwa Indonesia yang kenasionan dan demokrasinya terumuskan di dalam Pancasila yang lahir dan terumuskan dari inklusivisme egaliter. Agama-agama besar bergantian berkembang lintas milenium di Nusantara dan umumnya bersifat merakyat dan merangkul. Begitu pula dinamika pelbagai kebudayaan di dalamnya. Dari situlah lahirnya mahahibrida keindonesiaan.
Baca juga: Soekarno dan Sosiosentrisme Pancasila
Pada hari-hari ini, di mana bangsa kita terperangkap ke dalam lingkaran yang seperti meniadakan harapan, kian perlulah bangsa kita kembali merengkuh semangat, rasa percaya diri, dan cakrawala keindonesiaannya. Kita sungguh patut kembali meyakini bahwa bangsa kita tetap memiliki modal makro-politiknya untuk menjadi besar.
Kita semua, terutama kaum muda, mesti kembali memperkaya literasi dan menolak segala kompleks vulgarisasi.
Dan, kita seyogianya menolak dan meretas rantai vulgarisasi yang menyungkupkan pesimisme dengan mengapitalisasi jejak-jejak fenomenal para pendiri bangsa dan barisan panjang kontributor bangsa sesudahnya.
Kita semua, terutama kaum muda, mesti kembali memperkaya literasi dan menolak segala kompleks vulgarisasi. Di tengah deraan virus wabah korona ini pun, kita tetap harus percaya pada kumpulan aset bangsa kita untuk menjadi besar. Bermodalkan Sumpah Pemuda dan Pancasila, begitulah kita mesti merumuskan situasi, mengangkat wajah, lalu tetap melangkah maju dengan keyakinan dan optimisme yang terjaga.
Mochtar Pabottingi, Profesor Riset LIPI 2000-2010)