Jakob Oetama dalam Cermin Kepemimpinan Jawa
Sebagai pribadi yang bertumbuh dalam masyarakat Jawa, terutama di Magelang dan Yogyakarta, bukan hal yang aneh jika budaya Jawa memengaruhi Jakob Oetama.
Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa, yang berarti di depan menjadi teladan, di tengah membangun prakarsa, di belakang memberikan dukungan).
Hari Minggu, 18 Oktober 2020, merupakan peringatan 40 hari kepergian pendiri dan Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama. Dalam tradisi Jawa, ada kepercayaan bahwa 40 hari adalah masa terakhir saat jiwa masih di dunia dan akhirnya kembali kepada Sang Khalik.
Selain peringatan 40 hari, Jawa mengenal tradisi peringatan tiga hari, tujuh hari, 100 hari, dan akhirnya 1.000 hari bagi meninggalnya seseorang. Setiap hari peringatan itu memiliki makna masing-masing.
Baca juga: Humanisme Jakob Oetama
Dalam 40 hari setelah kepergian Pak Jakob Oetama, kenangan masih saja muncul, membelah ingatan tidak saja bagi keluarga besar dan ”anak-anak”-nya di harian Kompas dan Kompas Gramedia, tetapi juga di masyarakat. Cerita tentang sosok yang mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan pers di Indonesia itu masih saja mengalir, seakan tak ada habisnya untuk dikisahkan, dari berbagai sisi. Dua buku yang diluncurkan dalam peringatan 40 hari kepergiannya, Warisan Sang Pemula dan Bapak Jakob Oetama: Kisah Kecil Bermakna Besar, hanyalah sedikit ingatan dan kenangan yang tak cukup menampung kisah dan pemikirannya.
Jakob Oetama memang istimewa, tidak hanya sebagai wartawan, tetapi juga sebagai manusia. Ia sosok yang linuwih, pinunjul di atas rata-rata manusia lainnya. Manusia dengan berbagai kelebihan dan keunggulan.
Baca juga: Manusia dan Indonesia, Itulah Pergulatannya
Dalam artikel berjudul Mengenang Jakob Oetama: Bekerja dengan Hati, mantan Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas St Sularto menuliskan, ”Mengenang Pak Jakob berarti memutar kehadiran dan jasanya bagi banyak orang, terutama sejak bersama Pak Petrus Kanisius (PK) Ojong (alm) mendirikan Intisari tahun 1963, harian Kompas tahun 1965, dan sejumlah usaha di bawah payung Kompas Gramedia. Dia sosok seorang bapak dan guru. Pernyataan Romo Van der Putten SJ, Rektor Seminari Mertoyudan, 70 tahun lalu kepadanya, terus ia ingat. ”Kowe bisa ngemong”, dalam arti luas Pak Jakob memiliki bakat dan bawaan sebagai guru, yang membimbing, yang tahu kelebihan dan kekurangan muridnya” (Kompas, 10/9/2020).
Dalam berbagai kesempatan, baik di Redaksi Kompas maupun di luar lingkungan Kompas Gramedia, Pak Jakob berulang kali menceritakan pesan Pastor Van der Putten itu. Kemampuannya ngemong itu yang membuat Jakob bisa diterima banyak kalangan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) belum mengartikan kata ngemong, yang berasal dari bahasa Jawa. Namun, kata dasarnya, momong diartikan sebagai mengasuh (anak). Sebenarnya ngemong memiliki makna yang dalam, tak sekadar mengasuh atau memelihara anak, tetapi lebih dari itu juga bermakna menjaga harmoni kehidupan. Dalam ngemong ada kerendahan hati untuk menerima kelebihan dan kekurangan orang lain, serta mengembangkan potensi orang itu menjadi lebih baik.
Ngemong memiliki makna yang dalam, tak sekadar mengasuh atau memelihara anak, tetapi lebih dari itu juga bermakna menjaga harmoni kehidupan.
Sikap ngemong biasanya kuat dimiliki oleh seorang guru karena mereka dalam kesehariannya berhadapan dengan berbagai sikap dan karakter murid. Guru juga harus mengembangkan potensi murid tanpa membeda-bedakannya.
Seorang guru tidak boleh emban cinde, emban siladan (menimang dengan kain emas, menimang dengan kain lusuh), memperlakukan beda seorang siswa dengan siswa yang lain. Pesan berlaku adil itulah yang harus dipegang seorang pemimpin yang baik. Sebelum menjadi wartawan dan memimpin usaha Kompas Gramedia, Jakob Oetama adalah seorang guru dan ia sejatinya tetap menjadi guru, seperti dituliskan pengusaha Sudhamek Agung WS dalam salah satu buku terbitan Penerbit Buku Kompas yang diluncurkan pada Minggu (18/10/2020).
Baca juga: Cerita Jusuf Kalla, Sahabat Jakob Oetama Selama 40 Tahun
Prinsip ngemong, dalam kepemimpinan Jakob Oetama, sejalan dengan ajaran Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, yang dikenalkan oleh pendiri Perguruan Taman Siswa Ki Hadjar Dewantara. Bapak Pendidikan Nasional itu mengembangkan buah permenungan tokoh Taman Siswa asal Magelang, Jawa Tengah, Ki Cokrodirdjo tahun 1922. Jakob Oetama dilahirkan di Jowahan, dekat Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, pada 27 September 1931. Gothak gathik gathuk (kait, mengait, terkait), ternyata ada gathuk (terkait yang mempertemukan) antara Ki Cokrodirdjo dan Jakob Oetama, yakni Magelang.
Menurut mantan Ketua Harian Majelis Luhur Perguruan Taman Siswa Ki Prijo Mustiko pada webinar tentang Trilogi Kepemimpinan Jawa, yang diadakan Lembaga Javanologi Yogyakarta, pekan lalu, ajaran Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa dipraktikkan di lingkungan Pendidikan Taman Siswa yang dikenal dengan sistem among. KBBI juga belum mengartikan kata among. Namun, sesungguhnya makna kata momong, ngemong, dan among adalah sebuah kesatuan.
Among lebih mengarah pada figur. Pengasuh. Sosok yang bisa menjadi teladan: satunya kata dan perbuatan. Sementara ngemong bersifat kata kerja, tindakan. Momong bisa menjadi kata benda, tetapi juga adalah kata kerja. Momong, ngemong, dan among tidak bisa dipisahkan. Agar bisa ngemong, seseorang pemimpin harus bisa momong mereka yang dipimpinnya dan bisa menjadi among.
Baca juga: Saya adalah Wartawan
Dalam kepemimpinannya, baik di redaksi, usaha, maupun organisasi yang digelutinya, Jakob Oetama berusaha berada dan bersama dengan mereka yang dipimpinnya. Gaya kepemimpinan ini sejalan dengan Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa. ”Pemimpin di depan harus menjadi contoh. Teladan. Bukan memberikan contoh, yang itu mudah,” jelas Ki Prijo Mustiko (Kompas, 12/10/2020). Pemimpin di tengah orang yang dipimpinnya bisa membangun harapan dan inisiatif (karsa). Saat di belakang pun pemimpin bisa mendukung aspirasi dan kehendak mereka yang dipimpinnya. Konsep Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa itu bisa diterapkan dalam kehidupan pribadi, keluarga, organisasi, berbangsa dan bernegara, serta global.
Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa sebagai model kepemimpinan, lewat pendekatan pengasuhan dan pendidikan, pada ujungnya menekankan pembentukan karakter seseorang yang utama. Karakter utama itu adalah bijaksana dan berpengetahuan, kesatria, berperikemanusiaan, berkeadilan, mampu mengelola diri, dan bertakwa (transendensi). Kompas, dalam kepemimpinan Jakob Oetama, tentu juga PK Ojong, mementingkan karakter utama dalam pemilihan karyawan. Tidak hanya pintar, tetapi yang lebih utama adalah berwatak baik. Jujur.
Kompas pun berlandaskan humanisme transendental: kemanusiaan yang berketuhanan. Kita hanya alat untuk memuliakan kemanusiaan. Dua kata itulah yang selalu menjadi ”tujuan” hidup Jakob Oetama. Dan, ujung dari Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa juga manusia yang berkarakter utama dan mencintai bangsanya. Pemimpin tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga memikirkan manusia lain dan bangsanya agar lebih baik.
Ajaran Astabrata
Pengajar filsafat dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Dr Sindung Tjahyadi, pekan lalu, menuturkan, konsep Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa tak mudah diterapkan karena menempatkan pemimpin selalu bersama yang dipimpinnya dan berkeadilan. Selain Trilogi Kepemimpinan, budaya Jawa juga mengenal pula norma lain terkait praktik hidup dan perilaku seorang pemimpin, seperti prinsip Astabrata yang menggambarkan delapan karakter keutamaan seorang pemimpin.
Delapan karakter utama itu adalah mengabdi kepada rakyat (Indra Brata), menegakkan keadilan (Yama Brata), mencerdaskan orang lain dan bangsanya (Surya Brata), serta tingkah laku yang menyejukkan (Chandra Brata). Dalam buku Humanisme dan Kebebasan Pers: Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama (2001), budayawan Sindhunata menyatakan, enlightenment atau pencerahan tidak langsung berada di bawah pengertian humanisme-renaisans. Namun, pencerahan adalah buah yang mau tak mau diakibatkan oleh humanisme- renaisans. Ketika humanisme-renaisans menghargai manusia demikian luhur, akal budi manusia pun diunggulkan demikian tinggi, bahkan diotonomikan. Berupaya mencerahkan masyarakat adalah salah satu ciri kepemimpinan Jakob Oetama.
Baca juga: Jakob Oetama dan Dunia Intelektual
Empat sifat utama pemimpin yang lain, dalam Astabrata, adalah mengetahui kehendak orang yang dipimpinnya (Bayu Brata), bisa menanggulangi kejahatan (Baruna Brata), mampu menghadapi tantangan atau musuh (Agni Brata), dan selalu memikirkan kesejahteraan mereka yang dipimpinnya (Kwera/Prthiwi Brata). Selalu memikirkan dan menjaga kesejahteraan orang-orang yang dipimpinnya adalah salah satu ciri yang menonjol dalam kepemimpinan Jakob Oetama.
Anut jaman kalakone (mengikuti perkembangan zaman) juga menjadi ciri seorang pemimpin dalam budaya Jawa yang mampu melihat tajam ke depan (waskita). Jakob Oetama juga memiliki ketajaman visi itu, misalnya tahun 1995 melahirkan portal berita, dikenal sebagai Kompas.com, ketika media di dunia ini belum sepenuhnya terdisrupsi digital. Ia juga mendorong media, khususnya Kompas, bergerak ke arah multimedia, multikanal, dan multiplatform. Tak bisa lagi media hanya menjadi single-platform, misalnya media cetak saja.
Sebagai pribadi yang bertumbuh dalam masyarakat Jawa, terutama di Magelang dan Yogyakarta, bukan hal yang aneh jika budaya Jawa memengaruhi Jakob Oetama. Kepemimpinan Jawa juga mengenal prinsip Mandala yang menempatkan pemimpin (raja) sebagai pusat dan penjaga harmoni. Dan, itulah Jakob Oetama yang tak senang berkonflik. Ia selalu ingin menjaga harmoni hidup manusia dan bangsanya.