Transformasi UMKM dan Koperasi
UU Cipta Kerja memberikan kemudahan pendirian PT, koperasi dan perizinan, serta insentif perpajakan ataupun iuran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan bagi usaha mikro dan kecil serta mempercepat transformasi ekonomi.
Dari waktu ke waktu, struktur usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Tanah Air relatif tidak mengalami banyak perubahan. Usaha mikro tetap gemuk, sementara usaha kecil dan menengah stagnan.
Badan Pusat Statistik (BPS, 2018) mencatat, usaha mikro sebanyak 63,4 juta pelaku (98,68 persen dari total pelaku usaha di Indonesia), usaha kecil 783.132 pelaku (1,22 persen), usaha menengah 60.702 pelaku (0,09 persen), dan usaha besar 5.550 pelaku (0,01 persen). Meskipun begitu, penyerapan tenaga kerja di sektor UMKM terbilang besar, mencapai 97 persen.
Baca juga: Pandemi dan Momentum Digitalisasi UMKM
Usaha mikro sebagian besar dapat dikategorikan sebagai ekonomi subsisten meski sebagian kecil ada yang memiliki produk dan model bisnis yang inovatif serta punya potensi untuk naik kelas. Fakta ini menjelaskan, mereka yang tidak tertampung bekerja di sektor formal harus membuka usaha sendiri untuk dapat menghidupi keluarganya.
Fakta ini menjelaskan, mereka yang tidak tertampung bekerja di sektor formal harus membuka usaha sendiri untuk dapat menghidupi keluarganya.
Koperasi juga mengalami kemandekan dan semakin tidak populer di kalangan milenial. Koperasi yang terdaftar sekitar 123.048 (2019) dan hampir 60 persennya bergerak di usaha simpan pinjam. Rasio partisipasi penduduk berkoperasi di Tanah Air hanya 8,41 persen, lebih rendah daripada rasio dunia yang mencapai 16,31 persen.
Sumbangan koperasi terhadap PDB juga hanya 5,54 persen. Koperasi belum berperan signifikan menjadi penghela usaha skala kecil dan perorangan menjadi skala ekonomi. Slogan koperasi sebagai ”soko guru” perekonomian nasional masih merupakan sebuah cita-cita luhur yang harus diperjuangkan.
Di sisi lain, angka pengangguran cukup besar, 6,9 juta orang, belum termasuk penganggur baru akibat pandemi Covid-19. Indonesia setiap tahun harus menyediakan lapangan kerja sedikitnya untuk 3 juta angkatan kerja baru. Rata-rata angka pertumbuhan ekonomi 5 persen dalam lima tahun terakhir jelas tidak cukup memadai untuk menyediakan lapangan kerja di Tanah Air.
Baca juga: Peluang Meminimalkan Resesi
Akibatnya, setiap keluarga harus menanggung anggota keluarga yang tidak bekerja. Peliknya, pilihan kebijakan perluasan kesempatan kerja juga dihadapkan pada tuntutan pertumbuhan upah. Mereka yang sudah bekerja harus berbagi dengan yang masih menganggur.
Belum terkonsolidasi
Selama ini pengelolaan UMKM belum terkonsolidasi dengan baik. Padahal, urusan UMKM melibatkan banyak tangan, setidaknya ada 18 kementerian dan puluhan lembaga serta pemerintah daerah. Hal paling mendasar, seperti data tunggal UMKM, menjadi tidak mudah didapat untuk keperluan menyusun perencanaan, pengembangan, dan evaluasi. Saluran dan skema pembiayaan yang saat ini relatif cukup banyak untuk UMKM perlu disinergikan untuk mendukung sektor-sektor prioritas dan disesuaikan dengan kebutuhan mereka.
Sekarang di hadapan kita telah hadir Undang-Undang Cipta Kerja. Di satu sisi, ini akan memberikan kemudahan untuk mendesain strategi nasional pengembangan UMKM. Di sisi lain, juga menjawab permasalahan utama UMKM dan koperasi, antara lain akses ke perizinan, akses pembiayaan, akses pasar, dan kebutuhan penguatan SDM.
Setidaknya 79 undang-undang (UU) sektoral dipangkas atau ditambah untuk memastikan UMKM dapat tumbuh kembang dengan mudah. Ini adalah agenda besar deregulasi dan debirokratisasi untuk menjawab tantangan besar pula. Pasti ada banyak kepentingan dan zona nyaman terusik.
Setidaknya 79 undang-undang (UU) sektoral dipangkas atau ditambah untuk memastikan UMKM dapat tumbuh kembang dengan mudah.
Karena itu, tidak berlebihan kalau dikatakan pihak utama yang menerima manfaat dari UU Cipta Kerja adalah UMKM. Dan, faktanya saat ini pelaku usaha di Tanah Air mayoritas adalah UMKM. Regulasi perizinan usaha yang panjang, rumit, dan penuh ketidakpastian senantiasa melahirkan korupsi administratif di semua level pemerintahan. Bagi UMKM, hal itu sangat memukul karena hilangnya kesempatan UMKM mendapatkan kemudahan pelayanan publik. Secara tidak langsung, akses partisipasi usaha bagi ekonomi kelas bawah menjadi terbatas.
UMKM menyumbang 60 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) (2018). Sementara kontribusi industri pengolahan terhadap PDB terus menurun dari tahun ke tahun. Pada 2008, tercatat kontribusi manufaktur 27,81 persen dan tahun 2019 tinggal 20,07 persen. Deindustrialisasi tidak saja dialami Indonesia, tetapi juga negara-negara tetangga, kecuali Vietnam.
Baca juga: Industri Pengolahan Makanan Memerlukan Stimulus
Ada pendapat yang menyatakan perkembangan ini bukan saja karena banyaknya industri manufaktur yang hengkang ke luar, melainkan juga karena produk manufaktur mereka kalah bersaing dengan produk China yang lebih murah.
Sampai di sini perlu dicatat, persoalan produktivitas dan inefisiensi menjadi isu utama dari kegiatan usaha di dalam negeri yang perlu dicari jalan keluarnya. UU Cipta Kerja akan diuji di lapangan sejauh mana bisa memangkas berbagai sumber ekonomi biaya tinggi serta penyediaan sistem logistik dan bahan baku yang murah. Saat ini biaya logistik di Indonesia terbilang tinggi, sekitar 23,5 persen dari PDB. Berdasarkan data World Bank Logistic Performance Index, Indonesia di posisi ke-46, Malaysia ke-41, Vietnam ke-39, Thailand ke-32, dan Singapura ke-7.
UMKM sebagai penyangga ekonomi nasional akan semakin berat jika deindustrialisasi terus berlanjut.
Sementara usaha besar nasional masih belum bergerak signifikan masuk ke hilirisasi dan pengembangan teknologi industri modern untuk menyubstitusi lapangan kerja yang ditinggalkan oleh sunset industry. Petambang atau pekebun besar, misalnya, penguasaan konsesi lahan masih menjadi prioritas bisnisnya ketimbang hilirisasinya.
Baca juga: Korona dan Industri Nasional
Sektor maritim yang punya potensi ekonomi besar belum digarap secara serius. Malah sekarang banyak kekuatan modal besar latah membuka lapak merambah usaha warung bahan makanan pokok, warung kopi, dan banyak lagi. Tradisi orang kaya di negara maju dalam ikut mengembangkan riset, pengembangan teknologi industri, pendidikan tinggi, dan filantropi barangkali harus jadi gengsi baru orang kaya di Indonesia.
Petambang atau pekebun besar, misalnya, penguasaan konsesi lahan masih menjadi prioritas bisnisnya ketimbang hilirisasinya.
Transformasi UMKM
Kemitraan UMKM dan usaha besar menjadi bagian krusial yang diatur di UU Cipta Kerja. Usaha rintisan di kalangan anak muda berpendidikan tinggi yang saat ini menggeliat dan berpotensi berkembang perlu diberi akses ke pembiayaan murah melalui crowd funding, modal ventura, angle capital, atau seed capital. Jika investasi hanya diarahkan ke usaha besar, jurang ekonomi akan semakin lebar. Yang harus diantisipasi dalam skema kemitraan ini adanya proteksi dan pendampingan agar usaha kecil tidak ditelan yang besar, tapi sama-sama tumbuh.
Dari pengalaman di banyak negara, UMKM yang terintegrasi dalam rantai produksi industri besar memberikan peluang naik kelas karena terhubung dengan ekosistem yang memungkinkan mereka mengembangkan kewirausahaan. Seperti rantai produksi otomotif di Jepang atau sektor logam di Indonesia sudah terhubung meski masih dalam skala kecil. Sebagian kemitraan di Indonesia lebih banyak dalam rantai distribusi perdagangan produk industri besar; atau, belakangan platform digital banyak memberikan kemudahan akses pasar domestik bagi usaha kecil.
Baca juga: Teten: Pulihkan UMKM untuk Pulihkan Ekonomi Nasional
Di Jepang, UMKM sektor manufaktur memberikan kontribusi 50 persen ekspor negara tersebut. Sementara China 70 persen ekspornya disumbang oleh UMKM yang berperan penting dalam rantai pasok global. Perusahaan telekomunikasi dan elektronik menerima pasokan dari suku cadang UMKM. Di Korea Selatan, ekspor UMKM sebesar 38 persen ditunjang model kemitraan usaha besar dan kecil yang memungkinkan mereka terus berinovasi.
”Kripik, akik, dan batik” masih mendominasi usaha UMKM di Indonesia. Di luar sektor pertanian, 60 persen usaha mikro kecil mendominasi usaha makanan minuman. Ekspor UMKM terus turun dari tahun ke tahun dan saat ini hanya 14,37 persen (2018), di bawah Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Model pengembangan usaha mikro dan kecil unggul memiliki potensi untuk naik kelas melalui inkubasi bisnis. Pilihan ini tepat guna menghadirkan UMKM masa depan yang sanggup bersaing di pasar domestik dan global. Pelibatan perguruan tinggi dalam menyiapkan wirausaha masa depan dengan SDM unggul sangatlah penting.
Pelibatan perguruan tinggi dalam menyiapkan wirausaha masa depan dengan SDM unggul sangatlah penting.
Harus kita akui, saat ini di online market banyak sekali dijual barang-barang ”sepele” untuk keperluan sehari-hari yang masih mengandalkan impor dari China. Kita perlu meningkatkan persentase wirausaha yang saat ini baru 3,47 persen sebagai prasyarat untuk menuju negara maju.
Transformasi UMKM dan koperasi ke sektor produktif serta terintegrasi dalam rantai produksi industri, terutama di sektor unggulan domestik, seperti hilirisasi di sektor kelautan, perkebunan, dan tambang adalah solusi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja di tengah kekalahan bersaing produk manufaktur berbahan baku impor di pasar domestik dan dunia.
Baca juga: Butuh Solusi dan Inovasi untuk Digitalisasi UMKM
Kebijakan pengupahan yang dikecualikan dari upah minimum regional (UMR ) sektor UMKM akan semakin kompetitif dan akan mendorong usaha besar untuk menyubkontrakkan pekerjaannya ke UMKM.
Akselerasi digitalisasi UMKM dan koperasi menjadi bagian besar dari proyek UU Cipta Kerja untuk menghadirkan inovasi dan produktivitas. Saat ini UMKM yang sudah terhubung ke ekosistem digital baru mencapai 16 persen atau sekitar 10,25 juta pelaku.
Nilai transaksi ekonomi digital Indonesia terbesar di Asia Tenggara dan diproyeksikan mencapai Rp 1.826 triliun pada 2025. Saat ini sebagian besar wilayah Indonesia relatif sudah bisa diakses oleh perdagangan digital buah percepatan pembangunan infrastruktur internet dan darat. Dan, telah banyak inovasi platform digital baik dalam skala nasional maupun daerah atau captive market tertentu. Apalagi, UMKM yang sudah terhubung ke dalam ekosistem digital terbukti dapat bertahan di era pandemi. Tren ini diperkirakan akan terus meningkat pasca-Covid-19.
Fasilitas yang diberikan pemerintah di dalam UU Cipta Kerja berupa kemudahan pendirian PT, koperasi dan perizinan, serta insentif perpajakan ataupun iuran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan bagi usaha mikro dan kecil, barangkali akan mempercepat transformasi dari sektor ekonomi informal ke formal. Ini sangat fundamental untuk membangun struktur ekonomi nasional yang lebih kokoh. Yang ideal struktur ekonomi nasional menyerupai gentong, bukan piramida dengan kaki yang melebar di sektor usaha mikro.
Saya meyakini UMKM dan koperasi dapat menjadi fondasi ekonomi nasional jika produktivitasnya ditingkatkan. Pengembangan UMKM dan koperasi unggul berbasis kawasan dan rantai pasok akan mempercepat mereka naik kelas.
Teten Masduki, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.