RUU Cipta Kerja, Undang-undang Sekarang dan Masa Datang
Motif dan tujuan utama dilahirkannya ”omnibus law” adalah mengurai kekusutan itu sehingga belantara kesemrawutan bisa dibenahi dan lilitan birokrasi dapat dipangkas hingga mendatangkan kepastian.
Oleh
M Jusuf Kalla
·6 menit baca
Di tengah pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan gelagat surut, pada 8 Oktober 2020 pekerja bersama mahasiswa turun ke jalan di beberapa kota besar. Tujuannya tunggal: menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, yang lazim dikategorikan dengan nama omnibus law. Pada 5 Oktober, RUU ini telah disetujui DPR untuk disahkan menjadi UU. Namun, masih dibutuhkan lagi persetujuan Presiden. Setelah itu, baru diundangkan di lembaran negara dan sekaligus diberi nomor.
Omnibus law adalah bentuk UU yang mengatur berbagai subyek yang kompleks, lalu disatukan dalam sebuah wadah hukum. Omnibus law umumnya mengambil alih peraturan-peraturan yang ada sebelumnya karena dianggap harus diperbaiki dan disempurnakan. Ini membuat RUU Cipta Kerja terbilang UU raksasa karena ada 1.244 pasal dengan 812 halaman.
Penggunaan omnibus law dimulai pada 1880-an di Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada. Di Asia Tenggara, Filipina pada 16 Juli 1987 membuat The Omnibus Investment Code untuk memudahkan investasi di negeri itu. Vietnam juga menerapkan omnibus law untuk mengimplementasikan perjanjian WTO.
Tujuan pemerintahan
Di setiap negara demokratis, pemerintahnya pasti memberi prioritas pada program pengembangan ekonomi: menyejahterakan dan memakmurkan rakyat, menjaga agar setiap warganya memiliki pekerjaan sehingga bisa menyekolahkan anak, membiayai kesehatan, memiliki rumah, dan lainnya.
Salah satu cara untuk mencapai itu adalah membuat kebijakan dan menyediakan lahan investasi yang kondusif, baik investasi dalam negeri maupun luar negeri, dengan menciptakan kepastian hukum; mata rantai birokrasi yang tidak ribet, tetapi sangat efisien; aparat yang bersih sehingga semuanya transparan dan akuntabel hingga perencanaan bisnis dapat diprediksi dengan baik, tepat, dan lainnya.
Apabila investasi berjalan lancar, roda ekonomi akan berputar kencang sehingga negara bisa memungut pajak. Hasil dari pajak itu lalu dipakai untuk kemaslahatan rakyat.
Dengan alur pikir seperti ini, kita seyogianya memandang RUU Cipta Kerja sebagai ikhtiar membangun fondasi masa depan bangsa. Bukan sekadar instrumen legal untuk menjawab tantangan kekinian.
Namun, RUU Cipta Kerja baru langkah awal dari perjalanan yang masih panjang. Apa pun motivasi pembuatan UU ini, semuanya tergantung pada para menteri dan pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan guna mengimplementasikannya. Aparat sipil negara juga menentukan karena mereka yang mengoperasikannya di hidup keseharian. Untuk menjaga agar tidak terjadi penyimpangan, aparat penegak hukum juga harus proaktif untuk mengawalnya.
Menurut Bank Dunia, kita masuk negara dengan kategori berpendapatan menengah ke atas karena pendapatan per kapita kita 4.050 dollar AS per tahun. Batas negara dengan pendapatan menengah ke atas adalah 4.046 dollar AS per tahun. Dengan pandemi ini, kita bisa kembali turun menjadi negara yang berpendapatan menengah ke bawah karena selisihnya hanya 4 dollar AS.
Untuk ukuran Asia Tenggara, Indonesia sudah di belakang Singapura, Thailand, dan Malaysia. Bisa jadi Vietnam, Kamboja, dan Laos akan menyamai posisi kita, malah bisa di depan. Karena itu, harus ada terobosan spektakuler yang dilakukan pemerintah agar kita terhindar dari posisi stagnan.
Belantara aturan
Kita tak bisa menutup mata bahwa negeri kita ini sekarang adalah belantara kesemrawutan aturan dan lilitan birokrasi. Iklim ini yang dikeluhkan, bahkan banyak yang menyerah untuk melakukan usaha di Indonesia. Semuanya akan berhilir pada ketidakpastian, dan musuh terbesar kalangan usaha adalah ketidakpastian.
Motif dan tujuan utama dilahirkannya omnibus law adalah mengurai kekusutan itu sehingga belantara kesemrawutan bisa dibenahi dan lilitan birokrasi dapat dipangkas hingga mendatangkan kepastian. Praktik patgulipat para birokrat bisa dengan mudah dimonitor dan dihentikan. Sekarang ini di negeri kita sangat penting membenahi aturan yang tumpang-tindih, mulai dari aturan nasional berupa UU, peraturan pemerintah, perpres, hingga peraturan daerah.
Jika tak ada terobosan spektakuler, kita apakan penambahan 3 juta orang angkatan kerja setiap tahun, termasuk sejuta sarjana yang dihasilkan sekitar 4.500 perguruan tinggi di dalam negeri? Ke mana para sarjana itu apabila kita tak melakukan terobosan agar terjadi pertumbuhan ekonomi yang signifikan untuk menampung mereka.
Ke mana para sarjana itu apabila kita tak melakukan terobosan agar terjadi pertumbuhan ekonomi yang signifikan untuk menampung mereka.
Dalam rumus yang sangat sederhana, salah satu faktor utama memutar roda ekonomi adalah menggiatkan investasi, memacu laju ekspor, dan meningkatkan konsumsi.
Jika ini terjaga dengan baik, kita bisa mencegah atau meminimalkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun, rumus itu sangat sulit dilaksanakan apabila kesemrawutan aturan dan lilitan birokrasi tidak dibenahi sesegera mungkin.
Dalam menyikapi RUU Cipta Kerja itu, seyogianya kita tidak membuat garis demarkasi antara pengusaha (pemilik perusahaan) dan pekerja. Mereka adalah komponen yang saling melengkapi dan membutuhkan. Karena itu, negara harus menjaga keseimbangan kedua komponen itu. Tidak boleh menguntungkan hanya satu pihak. Perusahaan tak akan jalan jika tak ada tenaga kerja yang menggerakkannya, tetapi tenaga kerja juga tidak banyak berarti apabila tidak ada lapangan kerja yang bisa menampung.
Khusus masalah uang pesangon, yang banyak disorot itu, perlu kita agendakan secara kontemplatif. Dalam UU lama dikatakan, seorang karyawan/karyawati yang diberhentikan harus diberi pesangon 32 kali gaji yang hitungannya harus didasarkan pada masa kerja karyawan itu. Dalam RUU Cipta Kerja, jumlah pesangon adalah 25 kali gaji.
Sebenarnya, pesangon 25 kali gaji adalah angka yang rasional untuk menghindari PHK. Apabila segala ikhtiar kita lakukan agar tidak ada PHK, perbedaan angka-angka itu tak perlu lagi kita persoalkan secara dikotomis. Jika ekonomi bangsa kita berjalan baik, para pengusaha bisa menjalankan bisnis dengan baik, keduanya saling menguntungkan. Tidak perlu ada agenda PHK karena pengusaha dan pekerja saling membutuhkan dan bergantung satu sama lain.
Jika investasi mengalir, pertumbuhan ekonomi dengan sendirinya terjadi. Dan manakala investasi berjalan baik, akan terjadi persaingan sehat untuk mencari dan memakai tenaga kerja. Di situlah peluang terbesar upah pekerja bisa naik karena tenaga kerja dicari dan dibutuhkan. Keadaan ini yang terjadi di China dan Vietnam sehingga ekonomi mereka jadi kuat dan besar. Namun, jika tak ada investasi, semua jadi semu.
Yang kita butuhkan sekarang adalah adanya aturan tentang upah minimal nasional yang menjadi dasar bagi daerah, baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dengan adanya acuan bersifat nasional itu, disparitas upah minimum di daerah tidak terlampau jomplang. Selama ini, cara perhitungan upah minimum di daerah adalah menghitung laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.
Apa pun posisi kita dalam menyikapi RUU Cipta Kerja, yang pasti, reaksi yang diekspresikan dengan cara kekerasan justru kian memarjinalkan posisi pekerja, anak-anak kita, para mahasiswa, dan rakyat secara umum karena pasti akan berpengaruh pada investasi secara khusus. Nihil atau berkurangnya investasi akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Demonstrasi yang anarkistis, yang merusak infrastruktur untuk kepentingan rakyat, yang berdampak langsung ke investasi lalu pertumbuhan ekonomi adalah ikhtiar merusak masa depan sendiri. Kita semua berniat memajukan kesejahteraan rakyat. Kekerasan dan perusakan justru bisa menjauhkan niat kita itu dengan kenyataan.
M Jusuf Kalla, Wakil Presiden Periode 2004-2009 dan 2014-2019