Membiarkan segala sesuatu terjadi tanpa pengendalian. Membiarkan itu, tidak berusaha melakukan apa-apa, termasuk perlawanan. Perlawanan lewat doa.
Oleh
Samuel Mulia
·4 menit baca
Pernahkah Anda mengalami musibah tiada henti? Kalaupun ada rehatnya, tak lama setelah itu musibah baru datang menghampiri. Saya yakin Anda pernah mengalami. Saya mau bercerita, saya punya cara pandang baru setelah musibah tiada henti menghajar saya.
Cangkok
Sudah lama Anda tahu dari cerita saya selama belasan tahun ini kalau saya pernah menjalani cangkok ginjal karena ginjal saya gagal berfungsi secara normal. Tak hanya fungsinya yang gagal, tetapi lokasi ginjalnya juga tak di tempat yang biasa.
Nah, beberapa bulan yang lalu, perut saya bengkak. Kemudian, bengkaknya menjalar ke alat kelamin saya. Kemudian, setelah sekian minggu berlalu, bengkaknya menuju ke seluruh kaki kanan. Bahkan, saat sedang menulis artikel ini saja, kaki saya seperti kaki gajah. Tentu untuk menekuk kaki agak susah, tetapi bisa. Kalau berjalan, meski tak nyaman seperti biasa, masih tak menganggu saya.
Saya tak tahu mengapa hal ini terjadi. Karena minggu ini, saat saya sedang bergegas menulis artikel untuk diserahkan ke meja redaksi, saya sedang menunggu hasil pemeriksaan darah dan USG. Nanti saya ceritakan hasilnya setelah itu. Hanya saja, saya yang pernah mengenyam pendidikan kedokteran berpikir bahwa saya kena infeksi hati yang sudah menjurus kepada pembentukan jaringan hati. Semoga saya keliru.
Saya tak akan membahas penyakit itu. Itu tak menarik untuk dibahas. Yang menarik adalah saya sempat berdialog dengan Sang Kuasa untuk menanyakan mengapa Ia tak bosan-bosannya mengizinkan datangnya musibah dalam kesehatan saya. Dalam percakapan yang sudah mirip percakapan imajiner itu, saya sempat bertanya apakah tidak cukup kalau saya sudah pernah cangkok ginjal dengan segala keruwetannya, saya masih harus terkena infeksi hati?
Saya berharap infeksi ini tak berkembang menjadi kanker hati dan membutuhkan cangkok hati. Masa sudah cangkok ginjal, masih harus cangkok hati. Nanti setelah ini apalagi yang harus dicangkok. Saya sudah mirip telepon genggam milik saya yang beberapa bagiannya rusak dan sudah diganti dengan peranti yang tidak lagi orisinal.
Semua kejadian itu belum termasuk musibah pandemi yang memengaruhi usaha saya yang sudah membentur dasar jurang alias nyaris bangkrut. Dan, virus korona ini telah membuat saya keder karena ke mana-mana takut terinfeksi karena sampai sekarang ini saya masih mengonsumsi obat yang menekan kekebalan tubuh saya. Jadi, praktis, saya tak punya kekebalan tubuh melawan infeksi.
Mengubah isi doa
Memikirkan itu semua rasanya penat sekali. Tidak fisik, tetapi pikiran. Apalagi, saya ini tipe orang yang semua hal saya pikirkan dan, yang paling membebani bukan yang dipikirkan, tetapi yang dipertanyakan. Saya mempertanyakan ini, itu, kenapa saya, kenapa bukan dia, kenapa tidak cukup satu penyakit, kenapa mesti beberapa penyakit, apakah saya terlalu banyak membuat kesalahan di masa lalu sehingga ini adalah waktunya membayar semuanya.
Pada suatu hari, minggu lalu, saya menerima sebuah pesan spiritual dari teman saya yang tinggal di Kota Singa. Pesannya seperti ini. ”Engkau harus cukup percaya kepada-Ku untuk membiarkan segala sesuatu terjadi tanpa berusaha meramalkan atau mengendalikannya.”
Membaca pesan itu mendadak sontak saya memutuskan untuk berhenti berpikir terlalu banyak. Saya berhenti mempertanyakan. Saya berhenti mendiagnosa dan menduga-duga hasil pemeriksaan darah dan USG saya.
Saya mau belajar satu hal. Membiarkan segala sesuatu terjadi tanpa pengendalian. Apalagi, pengendalian oleh otak saya yang IQ-nya saja masuk ke dalam kategori jongkok. Membiarkan itu, tidak berusaha melakukan apa-apa, termasuk perlawanan. Perlawanan dalam bentuk doa yang minta kesembuhan, termasuk perlawanan untuk berhenti mempertanyakan, dan perlawanan untuk berhenti hanya memikirkan keuntungan untuk saya.
Pada suatu pagi di hari saya menyerahkan artikel ini, sambil mandi, entah dari mana datangnya, mulut saya bisa berbicara begini. Tuhan sudah bertahun lamanya dan sudah berjuta kali kalau saya sakit, kalau saya terkena musibah, yang pertama saya pikirkan adalah keselamatan diri saya. Sembuhkan saya Tuhan, lepaskan saya dari musibah ini. Berikan hati yang rela untuk menerima dan mengalami semua yang menyakitkan ini.
Di bawah siraman air itu, untuk pertama kalinya saya katakan kepada Tuhan yang saya percayai itu. Engkau mengizinkan saya terkena begitu banyak musibah, hari ini saya mau bertanya kepada-Mu, apa yang sejatinya Engkau kehendaki saya perbuat untuk-Mu melalui musibah ini. Katakan itu kepada saya supaya, ketika badan saya masih cukup berguna, saya bisa menyenangkan hati-Mu, bahkan melalui musibah ini.
Untuk pertama kali dalam hidup saya, saya mau musibah yang saya alami adalah untuk menyenangkan Tuhan. Membiarkan tanpa berusaha mengendalikan itu adalah kesempatan yang saya berikan kepada diri saya untuk mengabdi. Itu saja.
Sekarang, saya masih deg-degan mendengar suara dokter dan hasil pemeriksaan laboratorium, tetapi harus saya akui deg-degannya tak sedahsyat sebelum saya rela mengabdi.