Patut disayangkan hingga kini negara belum mampu merumuskan KP Migas yang konstitusional, tetapi adaptif dan fleksibel terhadap kebutuhan pasar.
Oleh
JUNAIDI ALBAB SETIAWAN
·4 menit baca
Pemerintah tiba-tiba menarik usulan pembentukan Badan Usaha Milik Negara Khusus atau BUMNK Hulu Migas dari Rancangan Undang-Undang Omnibus Law. Penarikan itu menandakan pemerintah masih bersikap maju mundur alias belum memiliki visi dan kemauan politik (political will) yang jelas untuk memperbaiki tata kelola minyak dan gas.
Sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU.X/2012, tata kelola minyak dan gas (migas) menjadi kacau sehingga sulit menjadi pegangan dalam kegiatan usaha hulu migas, sedangkan migas hingga saat ini masih menjadi penopang utama pembiayaan pembangunan. Karena itu, perbaikan tata kelola migas seharusnya menjadi prioritas pembahasan di DPR.
Hak menguasai negara atas migas
Tata kelola migas merupakan turunan dari hak menguasai negara (HMN) atas migas yang tercantum dalam konstitusi. HMN atas migas adalah harapan, cita-cita, dan cara negara agar migas dapat menjadi modal pembangunan. Untuk mewujudkan itu, diperlukan suatu jembatan hukum yang menghubungkan antara harapan dan cita-cita negara yang bersifat abstrak (de jure) itu, dengan kegiatan operasional bisnis hulu migas yang bersifat konkret (de facto). Jembatan hukum itu disebut ”kuasa usaha pertambangan” atau disingkat ”Kuasa Pertambangan” (KP) Migas.
Tata kelola migas adalah turunan dari hak menguasai negara (HMN) atas migas yang tercantum dalam konstitusi.
HMN atas migas merupakan turunan dari kedaulatan rakyat dan kedaulatan negara. Kedaulatan rakyat adalah suatu hak eksklusif yang dimiliki rakyat untuk mewujudkan kepentingannya dalam suatu negara. Sementara kepentingan negara tiada lain adalah kepentingan rakyat yang dibatasi oleh aturan-aturan hukum yang notabene merupakan kesepakatan rakyat sendiri (volonte genarale).
Apabila rakyat melalui konstitusi negara menghendaki migas yang terkandung dalam bumi wilayah negara harus dikuasai oleh negara, tidak ada pilihan lain bagi negara kecuali mewujudkannya dalam bentuk kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan yang selaras dengan amanat konstitusi.
Sementara KP Migas adalah turunan dari HMN atas migas yang digariskan oleh konstitusi. Maksud KP Migas ini bisa dipelajari dari penjelasan angka 4 UU No 44/Prp/1960 tentang Migas. Bahwa berhubung negara hanya mempunyai hak menguasai, tidaklah dapat diberikan kepada perusahaan negara hak-hak lain yang lebih daripada hak menguasai itu.
Dengan demikian yang dapat diberikan kepada perusahaan negara ialah sebatas ”kuasa usaha” pertambangan atau secara ringkas disebut kuasa pertambangan. Ketentuan itu sesuai asas hukum nemo dat quod non habet yang berarti negara tidak dapat memberikan sesuatu yang tidak dimilikinya atau tidak dapat negara memberikan alas hak yang lebih baik dari yang dimilikinya.
Karena itu, KP Migas bukanlah pemberian hak pertambangan, tetapi sebatas untuk menjalankan usaha pertambangan. Oleh karena itu, fokus dari KP Migas ini lebih kepada aspek pemanfaatan dan bisnis, bukan aspek kepemilikan.
Oleh karena itu, fokus dari KP Migas ini lebih kepada aspek pemanfaatan dan bisnis, bukan aspek kepemilikan.
BUMNK Migas
Melalui KP Migas, negara yang semula bertatus sebagai subyek hukum publik yang bersifat umum, luas dan abstrak menjelma menjadi suatu subyek hukum pelaku usaha BUMNK Migas yang bersifat khusus, sempit, dan dengan tujuan yang konkret untuk mendapatkan keuntungan/laba.
Mengingat sejatinya kegiatan usaha hulu migas adalah kegiatan bisnis atas komoditas yang dilindungi oleh konstitusi, KP Migas seharusnya diserahkan kepada suatu BUMNK Migas, bukan kepada pemerintah. Oleh karena itu, menyerahkan KP Migas kepada pemerintah adalah kerancuan yang harus segera dikoreksi.
BUMNK Migas dalam hal ini berperan sebagai special purpose vehicle khusus untuk menjalankan salah satu peran negara sebagai pengelola migas sesuai Putusan MK No 002/PPU-I/2003.
Berdasarkan KP Migas, kegiatan BUMNK Migas dalam menjalin kerja sama dengan pihak swasta menjadi bersifat business to business (B to B), bukan government to business (G to B).
Selain itu, pelimpahan wewenang KP Migas kepada BUMNK Migas juga sejalan dengan visi UU No 22/2001 tentang Migas sebagaimana tecermin dalam naskah akademik, risalah pembahasan (memorie van toelichting), daftar inventarisasi masalah (DIM) pada saat pembahasan RUU di DPR.
Menurut UU itu, migas adalah komoditas atau barang dagangan yang pengusahaannya tunduk kepada mekanisme pasar. Negara harus membiarkan pasar bekerja sesuai tabiat alamiah dan caranya sendiri dalam menemukan harga.” Karena iyu, UU itu tidak mengatur bisnis migas, tetapi hanya mengatur sektor migas mengingat bisnis migas bukanlah domain pemerintah.
Memperbaiki tata kelola migas harus dimuai dengan memperbaiki rumusan KP Migas. Rumusan KP Migas yang rancu serta tak selaras dengan konstitusi akan mengakibatkan kebijakan dan tata kelola migas berubah-ubah seperti saat ini.
Seringnya perubahan tentu tidak menguntungkan negara dan pihak-pihak yang terjun dalam kegiatan usaha migas, khususnya investor dan kontraktor (K3S). Peraturan yang labil akan mengganggu kepastian hukum dan iklim investasi dan pada gilirannya akan berpengaruh pada pendapatan negara dari sektor migas sehingga mengganggu pembiayaan pembangunan.
Menurut UU ini, migas adalah komoditas atau barang dagangan yang pengusahaannya tunduk kepada mekanisme pasar.
Patut disayangkan hingga kini negara belum mampu merumuskan KP Migas yang konstitusional, tetapi adaptif dan fleksibel terhadap kebutuhan pasar. Sekalipun pemerintah bersama DPR dalam tujuh tahun terakhir sudah membahas RUU Migas baru, entah mengapa hingga kini belum dapat disahkan. Terakhir, pemerintah justru mencoba mengambil jalan pintas dengan menyisipkan pembentukan BUMNK Hulu Migas dalam RUU Omnibus Law, tetapi secara tiba-tiba ditarik kembali.
Situasi ini tentu membuat para pelaku usaha migas menjadi resah dan gelisah. Lambannya pembenahan pengaturan tata kelola migas ini membuktikan kebenaran adagium hukum het recht hink achter de feiten aan, hukum akan selalu berjalan tertatih-tatih mengikuti kenyataan dan selalu berada satu langkah di belakang realitas dan kemajuan zaman.
(Junaidi Albab Setiawan, Advokat; Pengamat Hukum Migas)