Pemerintah Perlu Bentuk Badan ”Ad-Hoc”
Untuk mempercepat perbaikan sepak bola Indonesia, pemerintah perlu mencoba membentuk badan independen dan ”ad-hoc” guna mengontrol, mengawasi/mengawal, dan mengevaluasi kinerja PSSI.
Berbicara sepak bola, apalagi yang namanya PSSI, sepertinya tidak ada habis-habisnya dan butuh waktu berbulan-bulan untuk mengupas tuntas cabang olahraga paling populer ini. Bagaimana tidak, dalam empat dekade terakhir tidak ada perubahan mencolok menuju perbaikan di berbagai lini. Semuanya kacau-balau dan karut-marut.
Pada 2010, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat sedikit berpaling melihat sepak bola, ada secercah harapan untuk menuai hasil lebih baik ke depan. Itu diawali dengan langkah Yudhoyono mengajak beberapa pemangku kepentingan untuk menyelenggarakan Kongres Sepak Bola Nasional (KSN) di Malang, Jawa Timur.
Turun langsung membuka acara KSN, Yudhoyono dalam sambutannya dengan nada meyakinkan menegaskan, sepak bola kita lima tahun ke depan harus sudah menjadi macan Asia. Itu dimulai dengan kerja keras semua pihak yang berkepentingan. Paling tidak, Indonesia harus menguasai sepak bola di kawasan ASEAN lebih dulu, baru kemudian melangkah ke penaklukan Asia dan dunia.
Untuk mengimplementasikan pernyataan SBY itu, KSN menelorkan sembilan butir rekomendasi untuk dijalankan PSSI. Rekomendasi itu sendiri disusun oleh sebuah tim kecil yang diketuai Agum Gumelar. Salah satu butir rekomendasi adalah membentuk sebuah badan independen untuk mengontrol, mengawasi/mengawal, dan mengevaluasi kinerja PSSI dan akan dilaporkan kepada pemerintah. Ternyata, butir yang sangat krusial ini ditolak oleh PSSI yang merasa independensi mereka telah diintervensi pemerintah apabila butir ini jadi dilaksanakan.
Mungkinkah badan independen tersebut bisa kembali digaungkan untuk mendapat respons dan persetujuan pemerintah saat ini? Melihat kondisi PSSI dan pengurusnya yang sangat tertutup dan menjadikan sepak bola nasional sebagai ”hak milik” mereka yang tidak boleh dijamah oleh pihak lain, tidak ada salahnya dicoba.
Pada 2017, PSSI mulai mendekatkan diri kepada pemerintah dan akhirnya menghasilkan Inpres Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional (P3N). Adanya kerja sama yang apik antara pemerintah dan PSSI membuat Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun 2021. Oleh karena itu, kata ”intervensi” seharusnya tidak menjadi alasan PSSI untuk menolak keterlibatan pemerintah guna ikut membangun sepak bola nasional.
Pemerintah pun tidak perlu takut ketika berbicara tentang PSSI dan sepak bola nasional. Inpres No 3/2019 adalah bukti bagaimana PSSI sudah membuka diri kepada pemerintah untuk bersama-sama membangun sepak bola Indonesia. Untuk itu pula, tidak akan cukup dengan Inpres No 3/2019, pemerintah berharap sepak bola Indonesia bakal berkembang. Perlu adanya sebuah badan ad-hoc yang independen yang mengawasi/mengawal, mengontrol dan mengevaluasi semua kinerja PSSI.
Presiden Joko Widodo, Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy, dan Menpora Zainudin Amali adalah pelaku-pelaku terdepan inpres tersebut. Saya mengajak Anda sekalian untuk membuat sebuah badan independen seperti yang dimaksud di atas. Ini dengan catatan, kalau pemerintah mau serius terlibat membangun sepak bola dan tidak setengah-setengah melangkah.
Presiden Jokowi, Menteri Muhadjir, dan Menpora Zainudin tidak perlu khawatir dengan alasan dan ancaman PSSI melapor ke FIFA bahwa pemerintah telah mengintervensi PSSI. FIFA saat ini yang dipimpin Gianni Infantino lebih bijaksana dibandingkan dengan zaman Joseph Blatter. Badan ad hoc tersebut sifatnya mengurus masalah internal sepak bola Indonesia dan tidak ada sangkut-pautnya dengan FIFA. Pemerintah ingin sepak bola Indonesia maju dan itu adalah bagian terintegrasi dengan program FIFA yang bertujuan agar sepak bola berkembang dan maju di seluruh dunia.
Tidak ingin mendahului, tetapi jika gagasan ini direspons positif pemerintah, saya kira sosok yang tepat memimpin badan ad hoc ini adalah Agum Gumelar. Agum tidak saja menguasai luar-dalamnya PSSI, tetapi dia adalah salah satu orang kepercayaan pemerintah saat ini sehingga komunikasi dua arah antara pemerintah dan PSSI dapat terjalin serta terbangun dengan lancar. Agum juga adalah sosok yang mau mendengar dan menerima saran dari berbagai pihak.
Arah belum jelas
Saya mungkin salah satu wartawan sepak bola yang paling beruntung dan bersyukur bisa mengikuti dari dekat perkembangan sepak bola sejak tahun 1983 dan terlibat secara langsung ataupun tidak dalam delapan kali pergantian kepengurusan PSSI. Berdasarkan penilaian saya, kepengurusan Mochamad Iriawan atau Ibul pada periode ini belum jelas arahnya.
Jika tidak ada persiapan dan kegiatan timnas U-19 menuju Piala Dunia U-20 tahun depan, ketelanjangan PSSI semakin tampak jelas. Bukan saja tidak ada sebuah terobosan program baru yang menjanjikan bakal majunya sepak bola kita, melainkan sistem yang sudah dibangun oleh pengurus sebelum ini pun tidak dijalankan sebagaimana mestinya.
Sampai sekarang, sekretaris jenderal definitif belum diangkat. Padahal, penentuan sekjen menjadi hak prerogatif ketua. Statuta PSSI tidak melarang anggota Exco menjabat sekjen, tetapi hanya untuk jangka pendek. Kini, sudah sekitar enam bulan Yunus Nusi masih dipercaya sebagai pelaksana tugas (plt) sekjen.
Ada plt sekjen, ada humas, ada media officer, direktur teknis, dan pelatih kepala, tetapi untuk membangun komunikasi dengan wartawan, semuanya harus lewat satu pintu, ketua umum. Wartawan tidak leluasa mendapat informasi yang valid sehingga ada kesenjangan informasi yang terbangun di luar.
Lebih parah lagi, informasi satu pintu ini pun tidak berjalan dengan baik. Ibul tidak membuka diri bagi wartawan untuk mewawancarainya. Ibul sepertinya enjoy dengan apa yang menjadi keputusannya sampai saat ini. Dia bahkan menikmati posisi manajer timnas U-19 yang pernah disebutnya hanya untuk sementara, tetapi sampai saat ini masih menjadi miliknya.
Sekjen yang menjadi jantung organisasi tidak dapat menjalankan salah satu fungsinya dengan optimal, yaitu menjadi ”corong” organisasi. Ini pengalaman menarik bagi wartawan karena baru pertama kali, sejak periode kepemimpinan Kardono, saya mengalami adanya sekjen PSSI yang menolak berbicara dengan media.
Tinggi hati mendahului kehancuran, tetapi kerendahan hati mendahului kehormatan.
Manunver cantik
Namun, harus diakui, untuk urusan jadi tidaknya lanjutan kompetisi Liga 1 dan 2, Ibul memperlihatkan sebuah manuver cantik. Setelah tidak mendapat izin keramaian dari kepolisian untuk menggulirkan kompetisi di awal Oktober lalu, Ibul kembali memutuskan tetap melanjutkan kompetisi dengan penjadwalan baru pada 1 November mendatang.
Dengan bersembunyi di balik suara keputusan klub-klub untuk tetap menggulirkan kompetisi dan dimulai pada 1 November, Ibul mau memperlihatkan bahwa keputusan itu adalah pilihan klub dan bukan dirinya sebagai ketua PSSI. Namun, polisi akhirnya tidak memberikan izin keramaian untuk Liga 1 dan Liga 2 pada November.
Alasan klub dan PSSI ngotot menggelar lanjutan kompetisi sangat dangkal dan tidak ada korelasinya dengan kondisi riil di lapangan. Ada tiga butir hasil pertemuan klub dalam rapat luar biasa di Yogyakarta, 13 Oktober lalu. Ringkasnya, pertama, mengapresiasi keputusan pemerintah yang mendukung sepak bola dengan Inpres No 3/2019. Kedua, klub sepakat kompetisi dilanjutkan untuk mendukung suksesnya timnas bersaing di Piala Dunia U-20 tahun depan. Ketiga, bergulirnya lanjutan kompetisi menghidupkan sektor ekonomi, terutama sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Di sini terlihat PSSI dan klub panik mencari alasan atau dalil yang tepat untuk melanjutkan kompetisi. Dampaknya, mereka menggunakan dalil yang tidak mempunyai relevansi dengan kompetisi itu sendiri.
Apa hubungannya kompetisi senior dengan Inpres No 3/2019? Apa juga hubungannya kompetisi senior dengan penyelenggaraan Piala Dunia U-20? Yang terakhir, apa pula hubungannya antara usaha ekonomi mikro, kecil, dan menengah jika kompetisi dilanjutkan? Salah satu alasan kepolisian tidak mengeluarkan izin adalah karena faktor tingkat penularan Covid-19 yang masih tinggi. Dengan demikian, kalau mengikuti protokol Covid-19, tidak ada keramaian di sekitar dan di dalam stadion. Itu berarti tidak ada kehidupan ekonomi saat itu. Ayo, bangun PSSI…!
(Yesayas Oktovianus, wartawan Kompas 1983-2016)