Pembentukan UU yang Demokratis
Konstitusi hanya menjadi prosedur legitimasi bagi kepentingan kekuasaan semata jika demokrasi secara nyata berubah menjadi oligarki dan mengorbankan hak rakyat. Khususnya dalam proses pembentukan undang-undang.
Pembentukan Perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, Perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, dan Undang-Undang Cipta Kerja, memiliki kesamaan pola. Kesamaan pola itu adalah dibentuk dalam waktu singkat dan minim partisipasi, bahkan tertutup.
Pasal 1 UUD 1945 menegaskan, Indonesia adalah negara demokrasi sekaligus negara hukum. Negara demokrasi yang dijalankan berdasarkan hukum yang dibentuk secara demokratis. Sebagai negara hukum, penyelenggaraan negara harus dilaksanakan berdasarkan hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Hukum berfungsi sebagai penentu sekaligus pembatas kewenangan penyelenggaraan negara.
Kesamaan pola itu adalah dibentuk dalam waktu singkat dan minim partisipasi, bahkan tertutup.
Proses yang demokratis
UU memiliki posisi sentral dan bahkan dapat disebut sebagai produk hukum utama dalam sistem hukum nasional. Hal ini dilandasi oleh empat argumentasi. Pertama, UU merupakan satu dari tiga produk hukum yang disebutkan dalam UUD 1945. Produk hukum lain yang disebut adalah peraturan pemerintah (PP) yang dibentuk untuk melaksanakan UU dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Kedua, UU berkedudukan langsung di bawah UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. UUD 1945 memberikan delegasi pengaturan lebih lanjut tentang berbagai hal kepada UU.
Ketiga, UU adalah produk hukum yang dibuat secara demokratis sebagai pelaksanaan prinsip negara hukum yang demokratis. UU dibentuk oleh institusi demokrasi, yaitu DPR dan Presiden, yang dipilih melalui pemilihan umum.
Keempat, substansi UU adalah penafsiran UUD 1945 yang dilakukan oleh DPR dan Presiden. Penafsiran ini bersifat aktif, yaitu membentuk norma hukum dalam UU. Penafsiran UUD 1945 dalam bentuk UU lebih dominan jika dibandingkan dengan penafsiran yang dilakukan oleh pengadilan konstitusi yang pasif negatif.
UU harus memenuhi legitimasi demokratis, dibuat dengan tahapan dan mekanisme yang melibatkan rakyat. Telah menjadi pemahaman umum bahwa demokrasi tak selesai pada saat dibentuk lembaga perwakilan hasil pemilu.
Demokrasi modern tidak hanya dimanifestasikan dalam bentuk partisipasi dalam memilih wakil rakyat, tetapi juga harus ada partisipasi deliberatif dalam pembentukan keputusan dan produk hukum. Partisipasi publik sangat diperlukan mengingat watak dasar pembentuk undang-undang, DPR dan Presiden, sebagai lembaga politik.
Baca juga: Evaluasi Performa Legislasi
Hukum merupakan sistem simbolik yang tak hanya menjadi alat pengetahuan, tetapi yang utama justru sebagai instrumen dominasi (Bourdieu, 1987). Pembentukan hukum secara politis merupakan pertarungan untuk memperebutkan kepemilikan dan distribusi kapital, termasuk modal simbolik yang diakumulasi kelompok tertentu dan dapat dikonversikan menjadi modal ekonomis.
UU harus memenuhi legitimasi demokratis, dibuat dengan tahapan dan mekanisme yang melibatkan rakyat.
Pertarungan di dalam pembentukan hukum merupakan pertarungan politik karena memiliki implikasi langsung terhadap distribusi kekuasaan dan modal. Mengontrol hukum sangat penting untuk mengontrol kehidupan sosial.
Pertarungan tidak berimbang menimbulkan dominasi tersembunyi. Norma harus diterima sebagai kebenaran yang dipaksakan melalui kekuasaan simbolik dalam bentuk UU.
Dominasi kekuasaan ini disembunyikan melalui asumsi universalisasi dan netralisasi. Universalisasi mendalilkan substansi UU lahir dari seperangkat asas yang kebal kritik. Netralisasi dikukuhkan dengan menggunakan bahasa impersonal sehingga dapat menyembunyikan aktor tertentu yang terlibat dalam pembentukan hukum.
Undang-undang memang produk politik, tetapi tidak boleh semata-mata ditentukan oleh persaingan kepentingan politik, apalagi dominasi kekuasaan ekonomi. Substansi hukum harus bersifat rasional. Hukum menjadi alat rasional untuk mencapai tujuan hukum, yaitu keadilan, tujuan bernegara melindungi hak warga negara, dan tujuan nasional yang ditegaskan dalam UUD 1945.
Pada titik inilah pembuatan UU harus memenuhi standar akuntabilitas demokratis melalui prosedur pembentukan yang terinstitusionalisasi dan melibatkan partisipasi publik. Kepentingan yang bertarung perlu dibuka agar UU tak menjadi instrumen kekerasan simbolik berupa kebohongan dan manipulasi.
Keterbukaan pihak-pihak yang berkepentingan dan kepentingan yang diperebutkan merupakan syarat mutlak untuk menjaga UU yang dihasilkan tetap memenuhi syarat dan tujuan rasional mencapai keadilan dan melindungi hak warga negara. Pembentukan UU harus dilakukan sesuai prinsip due process of law making guna menjamin legitimasi demokratis dalam proses politik.
Saat pembentukan UU harus demokratis sesuai prinsip negara demokrasi, pembentukan UU yang tidak demokratis adalah pelanggaran terhadap UUD 1945. Penilaian terhadap pembentukan UU yang melanggar konstitusi tidak boleh hanya dilihat berdasarkan kesesuaian kelembagaan pembentuk dan tahapan saja sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UUD 1945.
Saat pembentukan UU harus demokratis sesuai prinsip negara demokrasi, pembentukan UU yang tidak demokratis adalah pelanggaran terhadap UUD 1945.
Akuntabilitas demokratis di setiap tahapan lebih penting dan besar pengaruhnya untuk memastikan UU tidak semata-mata sebagai instrumen dominasi yang mengorbankan keadilan dan perlindungan hak dari warga negara.
Ketentuan yang lebih mendasar adalah Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan negara. Demokrasi menjadi napas setiap penyelenggaraan negara, apalagi pembentukan UU.
Demokrasi mensyaratkan dua hal utama, yaitu keterbukaan dan partisipasi.
Pasal 5 huruf g UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tegas mencantumkan asas keterbukaan. Pembentukan UU mulai dari Prolegnas, penyusunan naskah, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan harus transparan dan terbuka.
Keterbukaan tentu harus meliputi substansi UU yang hendak dibentuk, naskah rancangan, pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan dan pembahasan, kesepakatan yang dicapai, dan rumusan yang disepakati. Hanya dengan keterbukaan masyarakat dapat memiliki kesempatan luas untuk memberikan masukan dan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
Asas keterbukaan membawa konsekuensi kewajiban bagi DPR dan pemerintah untuk menyebarluaskan proses pembentukan UU sejak dalam bentuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), rancangan UU, hingga UU yang telah diundangkan. Tujuan penyebarluasan adalah memberikan informasi dan memperoleh masukan dari masyarakat dan pemangku kepentingan.
Empat pelanggaran
Terdapat empat pelanggaran konstitusi pada saat pembentukan UU tidak demokratis. Pertama, melanggar prinsip kedaulatan rakyat karena meniadakan peran pemilik kekuasaan tertinggi dalam pembentukan produk hukum yang akan menjadi dasar penyelenggaraan negara dan menentukan nasib warga negara. Kedua, mengingkari kedudukan UU sebagai produk hukum utama yang harus dibentuk secara demokratis.
Baca juga: Destruksi Legislasi Nasional
Ketiga, mengingkari eksistensi pembentuk UU sendiri, DPR dan pemerintah, sebagai institusi demokrasi yang harus selalu mendengar, memperhatikan, dan mempertimbangkan aspirasi rakyat yang diwakili. Keempat, membiarkan pembentukan UU semata-mata sebagai arena pertarungan dan dominasi kekuasaan yang mengorbankan keadilan perlindungan hak warga negara.
Warga yang tidak memiliki modal dan kekuatan akan kalah dan ditinggalkan.
Pembentukan undang-undang yang mengingkari keterbukaan dan menutup diri dari partisipasi publik jelas merupakan pelanggaran konstitusi. RUU yang tiba-tiba dibahas tanpa melalui prolegnas, naskah RUU yang tidak pernah diumumkan secara formal, rapat dengar pendapat misterius, pembahasan tergesa dan tertutup, serta pengesahan tanpa naskah final adalah bentuk nyata pelanggaran konstitusi. Inilah yang terjadi pada perubahan UU KPK, perubahan UU MK, dan UU Cipta Kerja.
Jika hal ini dibiarkan berkelanjutan, hukum akan kehilangan fungsi menata perimbangan antara warga (masyarakat sipil), negara, dan pasar. Warga yang tidak memiliki modal dan kekuatan akan kalah dan ditinggalkan.
Kepentingan kekuasaan negara dan kepentingan ekonomi akan selalu mendominasi dan mengorbankan hak warga negara. Demokrasi secara nyata berubah menjadi oligarki. Konstitusi kehilangan arti karena tidak lagi menjadi perjanjian luhur segenap warga negara. Konstitusi hanya menjadi prosedur legitimasi bagi kepentingan kekuasaan.
(Muchamad Ali Safa’at, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)