Dialog nasional yang beradab dan produktif butuh kepercayaan semua pihak akan ada manfaat di ujung dialog. Kini, membangun lagi kepercayaan publik pada negara jauh lebih mendesak ketimbang berdebat soal RUU Cipta Kerja.
Oleh
Ariel Heryanto
·5 menit baca
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja memicu bentrok keras dua kubu. Akibatnya, terjadi kerusakan benda dan luka pada demonstran maupun polisi. Pendukung dari kedua kubu berperang kata-kata permusuhan.
Siapa pun yang berada di garis depan konfrontasi seperti itu cenderung memusatkan tenaga dan pikiran pada soal kalah/menang. Kita-kita yang berjarak dari garis depan punya kesempatan mencoba memahami rumitnya persoalan yang telah disederhanakan oleh konfrontasi.
Setiap pendirian dibangun sejumlah asumsi, betapapun dalam ia tersembunyi di bawah permukaan. Setiap pendirian juga mengambil tempat dalam sebuah konteks sosial yang lebih luas. Semuanya lenyap dalam konfrontasi yang meruncing pada soal kalah/menang.
Coba kita simak bersama asumsi dan konteks konflik besar di seputar RUU Cipta Kerja.
Kita mulai dari tujuan RUU Cipta Kerja sendiri. Menurut pemerintah, Indonesia terdesak untuk segera memangkas birokrasi perizinan bagi pemodal swasta dan asing. Mereka akan memperlebar lapangan kerja baru. RUU tersebut dimaksudkan mewujudkan harapan itu.
Asumsinya, andaikan tidak ada kontroversi rusuh soal RUU Cipta Kerja, modal segar dalam skala raksasa akan berbondong-bondong masuk Indonesia. Bahkan, penolak RUU Cipta Kerja punya asumsi yang sama. Mereka membayangkan para pemodal akan berdatangan, disambut UU Cipta Kerja nantinya dengan karpet merah.
Jadi, dalam asumsi itu kedua pihak bersepakat. Mereka bertolak belakang dalam menilai akibat dan manfaat kehadiran para pemodal di bawah payung UU itu. Saya pribadi belum diyakinkan oleh asumsi tersebut.
RUU Cipta Kerja itu mirip janji. Belum cukup memikat jika janji itu terlepas dari konteksnya. Andaikan saya seorang pengusaha, sebelum mempertaruhkan modal, saya perlu diyakinkan oleh rekam-jejak hukum dan peradilan mandiri di negeri ini. Juga stabilitas sosial politik di sana.
Sejauh mana peradilan akan bersikap adil, bila semangat anti-asing berkobar di ruang publik? Apakah mereka mampu menjamin terpenuhinya janji RUU Cipta Kerja setelah disahkan, bila terjadi sengketa? Kalau tidak, ia hanya janji indah di kertas.
Di luar bidang hukum dan politik, masalahnya diperumit oleh wabah korona. Banyak perusahaan lumpuh. Reputasi Indonesia dalam mengendalikan wabah juga bukan daya tarik bagi pemodal.
Sebaliknya, andaikan RUU Cipta Kerja itu dibatalkan? Bagaimana nasib para pekerja?
Menolak RUU Cipta Kerja dengan alasan mengancam hak-hak pekerja tidak keliru. Tetapi, bila dinyatakan secara kencang, bisa kebablasan merugikan pekerja sendiri. Apakah selama ini mereka sudah cukup aman dan sejahtera sehingga keadaan saat ini harus dipertahankan dari acaman perubahan oleh RUU itu?
Sependek pemahaman saya, hak-hak pekerja yang berlaku kini tidak istimewa bila diukur dengan kaidah internasional. Tetapi, hak-hak yang ada ini pun tidak bisa berdiri sendiri. Hak-hak itu hanya terwujud bila ada lapangan kerja, dan diisi pekerja.
Hak-hak pekerja itu bisa lenyap, kecuali sebagai kata-kata dalam UU, bila banyak perusahaan tutup karena berbagai faktor. Pandemi korona hanya salah satu.
Menolak RUU Cipta Kerja dengan alasan utama karena ia berwatak pro-pemodal bukannya keliru, tetapi agak mubazir. Selama ini, sebagian besar kehidupan masyarakat sudah berpihak pada yang berkuasa secara politik dan ekonomi. Tidak hanya di bidang hukum. Tengok bidang pendidikan, kesehatan, kebudayaan, lingkungan hidup, atau media. Tidak hanya di Indonesia. Ini gejala global.
Cikal-bakal negara di Indonesia dibentuk oleh sekumpulan perusahaan multi-nasional dari Eropa. Dari berdagang di sekitar Batavia, kemudian mereka mendirikan benteng, teritori meluas, hukum, penjara dan tentara. Indonesia merdeka mewarisinya dengan perubahan di sana-sini. Tulang punggungnya masih sama.
Kini para saudagar menjadi politikus di mana-mana. Dunia sudah lama pro-pemodal.
Hak-hak kerja yang paling mendasar, seperti gaji dan cuti, membantu pekerja bertahan hidup dan bekerja untuk perusahaan. Semua itu akan memperkaya pengusaha kaya. Tidak membantu pekerja keluar dari lingkaran kerja rutin turun-temurun.
Yang memberdayakan pekerja agar bisa mendaki tangga strata sosial adalah kesempatan meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan daya-tawar secara berkelanjutan.
Pekerja ahli dengan produktivitas dan gaji tinggi lebih menguntungkan pengusaha ketimbang pekerja murahan dan mudah dipecat, tapi rendah kualitas dan produktivitasnya. Yang dikejar pengusaha adalah laba maksimal. Bukan derita pekerja.
Bagaimana soal kerusuhan dalam demonstrasi? Tak ada yang diuntungkan. Tak ada yang membenarkan. Tetapi, kerusuhan itu tidak terjadi tiba-tiba atau tanpa sebab. Ibarat bisul pecah. Baunya busuk. Rupanya tidak elok. Ia hanya petunjuk adanya penyakit dalam yang lebih serius.
Kerusuhan massa itu seperti jerit keputus-asaan mereka yang terlalu lama terabaikan negara. Mereka merasa tak terwakili dalam pranata formal kelembagaan negara. Tidak di parlemen, di lembaga eksekutif, ataupun peradilan.
Kekerasan jalanan telah menjadi bahasa nasional. Sejak awal republik, elite nasionalis memobilisasi massa menuntut kemerdekaan dengan bahasa kekerasan. Juga cara negara meredam ancaman perpecahan bangsa pasca-1945. Elite negara mengerahkan massa untuk mendirikan Orde Baru. Mewarnai reformasi. Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya.
Tak kebetulan amuk massa minggu lalu terjadi ketika pandemi melaju tanpa kejelasan akan segera terkendali. Banyak yang frustrasi kehilangan anggota keluarga dan kehilangan penghasilan. Juga kehilangan harapan pada kebijakan negara mengatasi pandemi.
Sebelumnya, mereka bertubi-tubi dikecewakan keputusan negara. Dari penggunaan UU ITE secara obral untuk membungkam kritik hingga yang lebih belakangan: revisi UU KPK, pertambangan, Mahkamah Konstitusi. Lalu jadwal pilkada yang dipaksakan di masa pandemi.
Dialog nasional yang beradab dan produktif membutuhkan kepercayaan semua pihak akan ada manfaat di ujung dialog. Saat ini, membangun kembali kepercayaan publik pada negara jauh lebih mendesak ketimbang berdebat tentang RUU Cipta Kerja setelah disahkan di Mahkamah Konstitusi.
Lebih mendesak ketimbang memikat pemodal demi pertumbuhan ekonomi.