Pencegahan Perusahaan Korupsi Melahirkan Nobel Ekonomi 2020
Peraih Nobel Ekonomi tahun ini, Paul R Milgrom dan Robert B Wilson, telah memperbaiki teori lelang dan menemukan format lelang baru yang menguntungkan penjual, pembeli, dan rakyat pembayar pajak di seluruh dunia.
Oleh
Simon Saragih
·5 menit baca
Pilihlah perusahaan profesional yang bisa mengelola kekayaan negara dengan baik sekaligus menaikkan pendapatan negara. Jika pengelola kekayaan negara adalah perusahaan yang sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme, ada potensi negara gigit jari. Sebab, hasil kekayaan negara hanya akan dinikmati perusahaan kolusif dan spekulan.
Inilah opini yang pernah marak di AS. Para ekonom kemudian sibuk berpikir bagaimana mengefisienkan perekonomian. Termasuk di dalamnya, bagaimana mengatur pengelolaan kekayaan negara agar bisa menaikkan pendapatan negara. Itulah pemikiran yang kemudian melahirkan Hadiah Nobel Ekonomi 2020.
Nobel dengan hadiah uang 10 juta krona Swedia atau setara Rp 15,9 miliar itu diberikan kepada Paul R Milgrom (72) dan Robert B Wilson (83), sama-sama dari Standford University (AS). Sekjen Akademi Sains Kerajaan Swedia Goran K Hansson, Senin, 12 Oktober 2020, di Stockholm, Swedia, menyatakan bahwa jasa dua ekonom itu telah menguntungkan semua pihak, termasuk rakyat pembayar pajak.
Kisahnya dimulai dari era Presiden AS Ronald Reagan (1980-1988). Didukung PM Inggris Margaret Thatcher (1979-1990), dua pemimpin ini gencar melakukan swastanisasi. Masalahnya, swastanisasi telah menyebabkan pengelolaan kekayaan negara yang hanya dinikmati korporasi.
Ekonom AS pada dekade 1980-an, Dr Milton Friedman pernah mengkritik pemerintahan Reagan. ”Sebaiknya lelang saja hak siaran televisi ketimbang diberikan kepada korporasi yang memiliki koneksi politik,” demikian Friedman, yang juga peraih Nobel Ekonomi 1976, seperti dituliskan di harian The New York Times.
Ketika itu, pemilik siaran televisi hingga radio mendapatkan kekayaan karena booming iklan. Padahal, siaran hanya bisa dilakukan lewat frekuensi radio, yang notabene adalah milik pemerintah. Swasta berkembang dan makin kaya, tetapi negara harus menaikkan utang untuk pembiayaan pengelolaan negara.
Usulan Friedman pada dekade 1980-an itu ditertawakan. Namun, Friedman sangat benar. Kekayaan negara, seperti migas, termasuk kekayaan dari hasil penangkapan ikan di laut, hingga bisnis jual beli obligasi terbitan Pemerintah AS, dinikmati swasta yang makin kaya tanpa menaikkan pendapatan negara.
Mengapa? Lisensi pengelolaan kekayaan negara ini diberikan gratis kepada swasta, termasuk frekuensi radio. Bisnis atas kekayaan negara lainnya, juga diberikan kepada koneksi politik. Maka saat itu, sangat marak lobi ke pemerintahan termasuk penggunaan keahlian pengacara dengan biaya besar agar korporasi tertentu dapat lisensi bisnis. Kritikan sangat mencuat ketika itu, seperti dituliskan oleh Paul Milgrom dalam bukunya berjudul Putting Auction Theory to Work edisi 2003.
Bagaimana melelang?
Maka dari itu, alokasi bisnis swasta yang didapatkan dari lisensi negara dicoba dirombak. Dari pola beauty contest, adu kemampuan untuk meraih lisensi, diubah menjadi sistem undian. Lisensi bisnis kemudian didapatkan swasta lewat sistem undian. Sistem ini banyak cacatnya pula. Perusahaan swasta yang mengikuti undian, rupanya ada juga perusahaan spekulan. Ada kalanya, perusahaan spekukan yang mendapatkan undian, kemudian menjual kembali lisensi dengan harga tinggi ke korporasi swasta lainnya.
Paul Milgrom, kemudian termasuk ekonom yang bekerja untuk kepentingan Federal Comunication Comission (FCC), lembaga di AS yang antara lain mengawasi dan mengelola frekuensi radio, turut tertantang memikirkan sistem pengalokasian lisensi bisnis kekayaan negara. Masalahnya, kata Paul Milgrom, lelang yang sudah ada sejak zaman kuno sulit diterapkan untuk lisensi bisnis dalam konteks modern. Namun, Milgrom menambahkan, teori lelang yang dia dapatkan dari dosennya di Standford University, yakni Robert B Wilson, telah membantunya memikirkan sistem lelang atas lisensi bisnis milik negara ke swasta.
Lewat analisis yang sarat dengan model matematika didukung sistem komputasi, lahirlah cara lelang yang dinamai Simultaneous Multiple Round Auction (SMRA). FCC memberikan independensi kepada ekonom untuk merancang sistem lelang tersebut.
Dengan SMRA, lisensi frekuensi radio dilelang. Jumlah frekuensi radio itu ada banyak, termasuk level gelombangnya. Frekuensi ini juga tersebar di sejumlah negara bagian AS. Persoalan lain, bagaimana agar lelang lisensi ini tidak terbatas untuk pekaku lokal, atau operator lokal. Lewat SMRA, lelang atas berbagai frekuensi itu diikuti peserta lokal dan nasional.
Pertanyaan muncul lagi, bagaimana agar pendatang baru bisa diikutkan dalam lelang multi itu? FCC kemudian mendorong pengusaha perempuan dan pengusaha dari kaum minoritas. Kepada kelompok ini diberikan fasilitas utang dengan skema pembayaran meringankan.
Lewat SMRA, para pelaku yang turut tender harus profesional dengan melihat catatan masa lalu bisnisnya. Dengan demikian, pelaksanaan lelang tidak didominasi korporasi raksasa AS seperti MCI, AT&T, dan Bell. Jadilah lelang simultan dijalankan. Berbagai frekuensi radio dilelang dengan banyak peserta.
Pemenang lelang harus melewati berbagai putaran. Kolusi di antara peserta dicegah dengan sistem ini. Peserta boleh mendapatkan lebih dari satu frekuensi tetapi pasti tidak bisa mendapatkan semuanya untuk menghindari monopoli. Tawaran harga yang diajukan peserta lelang di saat pelaksanaan lelang juga dibuat terbuka. Langkah ini dikombinasikan dengan pematokan harga oleh peserta lelang di amplop tertutup.
Para peserta lelang bisa mengajukan lebih dari satu harga. Pemenang lelang adalah pemasang harga tertinggi, tetapi lelang yang mereka dapatkan adalah dengan menggunakan harga terendah dari dua harga yang telah mereka ajukan sebelumnya. Harga terendah ini diterapkan untuk mencegah fenomena winner’s curse, yakni agar pemenang tidak terlalu tertekan biaya setelah memenangkan lelang.
Lelang SMRA ini tentu memiliki banyak kelemahan juga. Akan tetapi, sepanjang sejarah, inilah sistem lelang yang dianggap terbaik dan nyatanya bisa berjalan. ”Essay: The Greatest Auction Ever,” demikian judul tulisan William Safire di kolom opini The New York Times, 16 Maret 1995.
Ketika FCC pertama kali menerapkan SMRA pada Juli 1994, terjual 10 lisensi frekuensi setelah melewati 47 putaran dan meraih 617 juta dollar AS. Sebelumnya alokasi frekuensi ini diberikan gratis. Sistem lelang SMRA ini kemudian dipakai di Finlandia, India, Kanada, Norwegia, Polandia, Spanyol, Inggris, Swedia, dan Jerman.
Lelang yang diselenggarakan FCC dengan format SMRA ini menghasilkan uang untuk Pemerintah AS sebesar 120 miliar dollar AS sepanjang 1994-2004. Secara global sistem lelang ini menghasilkan uang 200 miliar untuk negara, seperti dituliskan laman nobelprize.org.
Format lelang SMRA juga diterapkan dalam jasa penjualan listrik, lelang proyek migas, dan alokasi lisensi bisnis milik negara lainnya. Lelang telah menghasilkan perusahaan paling efisien. Setiap hari, lelang mendistribusikan nilai besar di antara pembeli dan penjual. Peraih Nobel Ekonomi tahun ini, Paul R Milgrom dan Robert B Wilson, telah memperbaiki teori lelang dan menemukan format lelang baru, yang menguntungkan penjual, pembeli, dan rakyat pembayar pajak di seluruh dunia.