Setelah meresmikan hubungan diplomatik dengan Bahrain dan Uni Emirat Arab, Israel bergerak merasuk ke beberapa negara di kawasan. Kini Israel dan Lebanon duduk membicarakan perbatasan laut yang selama ini disengketakan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Di tengah krisis ekonomi dan pertarungan elite, Lebanon duduk bersama Israel membicarakan perbatasan laut yang selama ini disengketakan.
Israel dan Lebanon tak memiliki hubungan diplomatik dan secara teknis masih berada dalam keadaan perang. Mereka masing-masing mengklaim sekitar 860 kilometer persegi (330 mil persegi) Laut Tengah berada dalam zona ekonomi eksklusif mereka (Kompas, 15/10/2020).
Secara teknis, Lebanon dan Israel tetap dalam keadaan perang sejak konflik Arab-Israel tahun 1948-1949. Meski tidak ada perbatasan darat yang disepakati di antara mereka, mereka berkomitmen untuk melakukan gencatan senjata di sepanjang apa yang disebut Garis Biru, yang dibuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), setelah pasukan Israel mundur dari Lebanon selatan pada 2000, dan mengakhiri 22 tahun pendudukannya.
Pertemuan ini dimediasi Amerika Serikat (AS) dan dilakukan PBB. Perundingan berlangsung di sebuah pos PBB di kota perbatasan kedua negara, Naqoura. Israel mengirim enam perunding dipimpin Udi Adiri, Direktur Jenderal Kementerian Energi. Delegasi Lebanon dipimpin Brigadir Jenderal Bassam Yassin, Wakil Kepala Staf Operasi Militer Lebanon.
Departemen Luar Negeri AS menyebutkan, pembicaraan berlangsung produktif. ”Mereka menegaskan kembali komitmennya untuk kembali berunding di akhir bulan ini,” sebut pernyataan Deplu AS.
Namun, Hezbollah mengkritik delegasi Lebanon pada pembicaraan itu. Beberapa jam sebelum perundingan, Hezbollah menyerukan tim perunding harus diganti. Perdana Menteri (PM) Lebanon Hassan Diab juga menyesalkan, penunjukan tim perunding oleh Presiden Michel Aoun tanpa berembuk dengan dirinya. Harian pro-Hezbollah, Al-Akhbar, menyebut pembicaraan itu sebagai ”momen kelemahan politik yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk Lebanon”. Menurut Al-Akhbar, Israel adalah ”penerima manfaat” yang sebenarnya dari perundingan ini, bukan Lebanon.
Menteri Luar Negeri Lebanon Charbel Wehbi mengatakan, negosiator Lebanon akan berada di meja perundingan lebih sengit dari yang mereka harapkan karena tidak akan merugi. ”Kalaupun ekonomi Lebanon runtuh, kami tak punya kepentingan untuk membuat konsesi,” ujarnya.
Sumber Kementerian Energi Israel mengatakan pada kantor berita AFP, ”Kami tidak memiliki ilusi. Tujuan kami bukanlah untuk menciptakan semacam normalisasi atau proses perdamaian di sini.”
Mayjen Amos Yaldin dari Institute for National Security Studies di Tel Aviv menyatakan, perundingan ini akan menguntungkan Israel. ”Dengan perundingan ini, Israel melihat ancaman dari Hezbollah akan berkurang,” ujarnya.
Setelah meresmikan hubungan diplomatik dengan Bahrain dan Uni Emirat Arab, Israel bergerak merasuk ke beberapa negara di kawasan. Situasi di sebagian negara di kawasan bergejolak. Itu memudahkan Israel menanamkan pengaruh dan menjadi salah satu pemain utama di kawasan.