Kehadiran museum memang tidak dapat dipandang sebelah mata saja, apalagi sekadar dijadikan salah satu spot untuk berswafoto belaka. Tak ada pilihan lain kecuali memberi perhatian ekstra kepada museum dan galeri.
Oleh
A WINDARTO
·6 menit baca
Dua opini dalam rangka Hari Museum Indonesia, masing-masing dari Djulianto Susantio berjudul ”Merayakan Hari Museum Indonesia pada Masa Covid” (Kompas, 13/10/2020) dan Kresno Brahmantyo berjudul ”Museum dalam Perspektif Sejarah Publik” (Kompas, 14/10/2020) menarik untuk dikaji. Sebab, apa yang dikenal sebagai museum selama ini sesungguhnya bermakna lebih dari sekadar tempat penyimpanan dari berbagai koleksi benda bersejarah. Dengan kata lain, museum pada hakikatnya adalah wahana pendidikan politik yang efektif dan operatif dalam pendidikan yang bernilai sejarah ataupun seni budaya. Benarkah demikian?
Dalam esainya yang berjudul ”Kartun dan Monumen: Evolusi Komunikasi Politik di Bawah Orde Baru” (dalam buku Kuasa-Kata: Jelajah Budaya- Budaya Politik di Indonesia, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000), Benedict Anderson menjelaskan bahwa museum bukan saja menjadi tempat menyimpan memori atau kenang-kenangan belaka, tetapi juga memoar atau kenangan yang tak terlupakan dari peristiwa penting dan bersejarah.
Dalam konteks ini, museum yang menyimpan replika dari patung Buddha seperti yang ada dalam sejumlah stupa di Candi Borobudur, misalnya, bukan sekadar bermaksud menyelamatkan karya seni termahsyur dari abad ke-9, melainkan lebih dari itu sebagai upaya untuk menunjukkan patung itu adalah representasi dari seni budaya masyarakat yang plural dan terbuka atau inklusif.
Mengapa demikian? Sebab, Candi Borobudur yang dibangun oleh Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra dan merupakan penganut Buddha Mahayana ternyata diresmikan oleh putrinya sendiri yang dinobatkan sebagai penggantinya. Padahal, putri yang bernama Pramodhawardani itu menikah dengan Rakai Pikatan yang menjadi penganut Hindu dari Dinasti Sanjaya dan telah merintis pendirian candi-candi Hindu, seperti Candi Prambanan dan sekaligus Candi Plaosan yang diperuntukkan bagi penganut Buddha.
Jadi, penyimpanan patung Buddha di museum pada dasarnya adalah tanda bahwa sinkretisme telah tumbuh dan berkembang dengan baik di Jawa, bahkan menjadi ”saripati” yang sudah mengalir dalam tubuh kebudayaan masyarakat Jawa.
Pada titik ini, kebudayaan Jawa yang sejak semula amat toleran justru menjadi jantung yang selalu memompakan darah beroksigenkan pluralitas dan inklusivitas pada setiap kepercayaan, atau apa pun juga, terutama yang datang dari luar Jawa (kawasan Sabrang). Inilah warisan utama yang pada intinya dapat menjadi pelajaran yang bernilai sejarah dalam kebudayaan masyarakat, khususnya dalam jejak langkah seni rupa, terutama seni patung.
Maka, di sini peran museum berfungsi amat efektif dan operatif sebagai ”kitab” yang mampu menyurat beragam pengetahuan lokal dan menggurat pusat-pusat kebudayaan global dari masa ke masa, di antaranya mengenai Jawa. Masuk akal jika dalam bukunya yang berjudul ”Jawa”. On the Subject of Java (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003), John Pemberton memaparkan bahwa tak ada yang pernah selesai dari Jawa. Bukan karena tidak ada yang mengkajinya, melainkan lantaran dominannya politik kebudayaan yang selalu mengaku telah menaklukkan Jawa, padahal segalanya hanyalah konstruk yang ditampilkan agar tampak seperti aslinya.
Contohnya, pemilu (pemilihan umum) pada era Orde Baru yang tiap 5 tahun sekali diselenggarakan layaknya sebuah pesta pernikahan. Itu artinya, siapa pun yang diundang untuk menghadirinya hanyalah untuk ”nge-gong-i” atau meng-iya-kan siapa pasangan yang akan tampil meski sebelumnya sudah diketahui siapa keduanya.
Karena itulah, museum yang menyimpan berbagai kenangan atas jasa para tokoh nasional, seperti Museum Soeharto di Kemusuk, Bantul, DIY, atau Museum Batak TB Silalahi di Balige, Sumatera Utara, patut diberi akses lebih luas kepada publik. Sebab, dari sejumlah museum seperti itu dapat dipelajari bagaimana sejarah negara-bangsa (nation-state) di negeri ini terbentuk dan tetap menjadi negara lama dengan masyarakat baru.
Itu artinya, di museum dapat ditelusuri jejak langkah historis dari segenap peristiwa, termasuk pelaku, korban, dan saksi, yang memperlihatkan sisi lain dari apa yang lazim terjadi. Seperti pada kedua museum di atas, meski ditampilkan sebagai sosok yang begitu berjasa bagi bangsa dan negara, termasuk keluarga, penampakan dari para tokoh yang seakan-akan tanpa noda dan cela justru menunjukkan bahwa ada hal dan masalah yang disamarkan. Penyamaran itulah yang secara alamiah dapat terbaca dan termaknai sebagai suatu keanehan atau keganjilan. Contohnya, kelambu yang digunakan pada tempat tidur kuno tak jarang tampak baru saja dibeli.
Maka, menjadi penting dan mendesak untuk dengan segera mengonstruksi ulang sejumlah museum yang ada dan tersebar di mana pun. Sebab, sebagai wahana komunikasi politik, museum tidak dapat lagi dikelola secara terpisah dan tanpa dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, baik lokal maupun nasional. Apalagi, dalam batas-batas tertentu, museum memiliki hubungan yang amat erat dengan apa yang dikenal dengan galeri.
Intinya, posisi museum dapat disetarakan dengan ”orangtua asuh” dari galeri. Mengapa demikian? Sebab, galeri sesungguhnya menjadi semacam ”laboratorium” untuk menguji memori macam apa yang layak untuk dijadikan memoar bagi publik. Jadi, di galerilah segala macam karya seni dan bersejarah dapat dinilai dan, jika memungkinkan, diperjualbelikan. Dari hasil penilaian dan jual beli itu, segenap karya tersebut disimpan di museum agar tetap dapat dijadikan materi pendidikan seni dan sejarah.
Karena itu, lukisan Djoko Pekik, misalnya, yang berjudul ”Berburu Celeng” ternyata dapat laku terjual seharga Rp 1 milyar dalam pameran tunggal di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) pada 16-17 Agustus 1998. Hal itu tentu merupakan prestasi sekaligus prestise yang tiada duanya, khususnya bagi sang pelukis yang pada 1965 sempat dipenjara lantaran diduga berkaitan erat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Bahkan, sesudah dibebaskan pun, beliau masih juga menanggung beban sebagai ET (eks tapol) pada KTP (kartu tanda penduduk)-nya.
Namun, syukurlah, berkat budi baik BBY sebagai ”galeri”, yang pada awalnya diprakarsai oleh Jakob Oetama untuk menampung seni-seni pinggiran dan dikuratori oleh Sindhunata, lukisan bernilai satu miliar rupiah itu mampu menjadi memori yang tak terlupakan dan sekaligus memoar yang amat bersejarah.
Bahkan Nancy Florida dalam kajian filologinya yang berjudul ”A Proliferation of Pigs: Specters of Monstrosity in Reformation Indonesia” (Public Culture 20, 2008) mampu menggaungkannya sebagai pelajaran sejarah tentang Reformasi Indonesia pada 1998 yang menjadi peristiwa politik termahsyur di dunia, khususnya di Asia Tenggara.
Hanya sayangnya, sesudah lebih dari 20 tahun berlalu, seakan-akan segalanya hilang ditelan waktu. Bahkan, kabarnya lukisan celengnya kini hanya menjadi pajangan yang tergantung di kediaman sang pembeli lukisan yang merupakan salah satu pengusaha terkenal di Yogyakarta. Memang replikanya masih tersimpan dengan baik di galeri pribadi Djoko Pekik yang kerap dikunjungi beberapa akademisi atau ahli dari lintas disiplin ilmu dan budaya. Namun, pewarisan nilai dari karya seni dan bersejarah itu tampak macet, bahkan menguap begitu saja.
Singkatnya, hampir tidak ada museum yang menyimpan karya itu dan menjadikannya sebagai media pengajaran bagi generasi milenial masa kini. Tidak seperti lirik dari sajak Wiji Thukul yang berbunyi ”Hanya Satu Kata: Lawan!” atau lagu ”Darah Juang” karya John Tobing yang masih kerap bergaung dalam aksi mahasiswa saat ini, lukisan itu tampaknya senasib dengan Jalan Mozes GK yang justru hanya menjadi pusat gadai dan jual beli telepon genggam yang diapit di antara Jogja Prime Plaza Hotel dan Universitas Sanata Dharma di tepi Jalan Gejayan/Affandi. Miris sekali bukan?
Dari beragam pengalaman itu, kehadiran museum memang tidak dapat dipandang sebelah mata saja, apalagi sekadar dijadikan salah satu spot untuk berswafoto belaka. Bahkan, hubungannya dengan galeri sudah terbukti gaungnya dalam sejumlah peristiwa politik, khususnya di pengujung era Orde Baru. Karena itu, tak ada pilihan lain kecuali memberi perhatian ekstra kepada museum dan galeri atau lenyap dimakan zaman.
(A Windarto, Peneliti di Lembaga Studi Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta)