Dinamika di Semenanjung Korea, antara lain uji coba peluncuran rudal, akan terus terjadi selama belum ada penyelesaian menyeluruh.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Sesungguhnya, aksi Korea Utara memamerkan rudal balistik terbarunya tak terlalu mengejutkan. ”Diplomasi senjata” kerap dijalankan negara itu.
Pada peringatan ulang tahun Partai Pekerja (partai penguasa) Korut, Sabtu pekan lalu, parade militer besar digelar di Pyongyang. Salah satu persenjataan yang ditampilkan adalah rudal balistik antarbenua yang dibawa kendaraan pengangkut-peluncur 22 roda. Diperkirakan, senjata ini bisa menjadi salah satu rudal balistik bergerak terbesar di dunia.
Rudal besar ini memungkinkan dipasangi sejumlah hulu ledak nuklir. Artinya, setelah melintasi atmosfer jauh di atas daratan, rudal ini akan kembali mendekati Bumi sambil melepas beberapa hulu ledak nuklir. Sebuah senjata yang menuntut negara yang diserang memiliki penangkal canggih yang mampu menghancurkan setiap hulu ledak nuklir di rudal tersebut.
Namun, analis menyebutkan, rudal sejauh ini diketahui belum pernah diuji coba. Artinya, bagaimana rudal itu melesat di ketinggian, membentuk lintasan balistik, dan meluncur kembali mendekati Bumi belum pernah diuji. Padahal, aspek ini sangat penting saat berbicara tentang rudal balistik.
Poin utama aksi memamerkan rudal besar itu rasanya memang bukan kepastian akan keandalannya. Hal yang lebih pokok adalah pesan yang hendak disampaikan, yakni mengingatkan Amerika Serikat bahwa ada persoalan yang harus diselesaikan di antara kedua negara. Selama sanksi atas Korut belum dicabut, pembangunan rudal berhulu ledak nuklir yang di atas kertas bisa menjangkau negara sasaran terus dilakukan.
Diplomasi senjata ini dapat dilihat pada pertemuan Kim Jong Un dengan Presiden AS Donald Trump pada 2018 dan 2019. Pembicaraan itu merupakan upaya Kim agar Washington mencabut sanksi. Imbalannya, Korut menawarkan denuklirisasi. Namun, ada pandangan yang menyebutkan dua pertemuan itu hanya simbolis dan tak akan berdampak karena tidak diikuti dengan penyusunan detail teknis denuklirisasi.
Alhasil, negosiasi buntu. AS ingin saat sanksi dicabut, denuklirisasi dilakukan langsung menyeluruh dan permanen, menutup peluang pembangunan kembali senjata nuklir. Di sisi lain, Korut ingin denuklirisasi berjalan bertahap.
Selain diarahkan ke AS, pesan pameran rudal balistik pada perayaan ulang tahun Partai Pekerja dinilai juga diarahkan ke domestik. Di tengah pandemi dan kesulitan ekonomi, penguasa Korut kian memerlukan sarana pemersatu. Kebanggaan memiliki rudal besar menjadi krusial.
Dinamika di Semenanjung Korea, antara lain uji coba peluncuran rudal, akan terus terjadi selama belum ada penyelesaian menyeluruh. Kim berkepentingan pemerintahannya maju dengan syarat, antara lain, sanksi dicabut sehingga ekonomi negaranya bergairah. Di sisi lain, sisa-sisa konflik Perang Korea secara teknis belum berakhir dan masih hidup. Persoalan ini tak mudah, tetapi harus dicari jalan keluarnya.