Vaksin Bukan Segalanya
Protokol kesehatan harus menjadi habitus dan budaya baru kehidupan sehari-hari. WHO sudah mengingatkan, pandemi Covid-19 tidak otomatis sirna setelah vaksin antivirus diproduksi.
Ada yang menarik membaca Catatan Awal Pekan harian Kompas (Senin, 28/9/2020), ”Kepemimpinan dan Politisasi Vaksin”. Vaksin anti-Covid-19 dimanfaatkan Trump sebagai komoditas kampanye dalam kontestasi presiden Amerika Serikat pada November 2020. Isu vaksin saat ini memang sangat seksi buat siapa pun.
Vaksin digadang-gadang sebagai penyelamat dari ancaman Covid-19. China, AS, Rusia, Inggris, dan beberapa negara lain, berlomba memproduksi vaksin anti-Covid-19.
Saat ini 214 negara berjuang mengatasi wabah Covid-19. Yang utama adalah membatasi pergerakan orang sekaligus menerapkan protokol kesehatan. Tujuannya satu, mencegah penyebaran virus agar tak banyak korban jiwa.
Kunci penanganan Covid-19 adalah semua upaya dilakukan bersama-sama. Hasil pemeriksaan dan pelacakan tanpa disiplin protokol kesehatan, misalnya, akan jauh dari harapan. Apabila pemeriksaan, pelacakan, dan pengobatan disinergikan dalam satu kendali, hasilnya akan signifikan. Pelaporan hasil kerja idealnya dalam hitungan jam sehingga memudahkan pemetaan dan penanganan.
Di sisi lain, dibutuhkan multidisiplin masyarakat, yakni tertib, patuh, mandiri dalam menjaga kesehatan, peduli, dan gotong royong. Namun, lonjakan kasus yang terus terjadi mengindikasikan ada strategi yang salah. Pandemi sudah berlangsung hampir tujuh bulan dan ada kesan, penanggulangan berlangsung tambal sulam.
Awal tahun 2021, pemerintah merencanakan vaksinasi massal jika vaksin antivirus korona lolos uji. Harapan digantungkan pada kehadiran vaksin anti-Covid-19. Namun, kita tak boleh menganggap vaksin antivirus korona ini segalanya. Keberhasilan vaksin belum teruji mengingat proses produksi dan pengujian yang serba instan. Oleh karena itu, salah besar apabila nasib diserahkan sepenuhnya pada keberadaan vaksin.
Protokol kesehatan harus tetap ditegakkan, melekat menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan warga. Protokol ini harus menjadi habitus dan budaya baru kehidupan sehari-hari. WHO sudah mengingatkan, pandemi Covid-19 tidak otomatis sirna setelah vaksin antivirus diproduksi. Kita tampaknya harus hidup berdampingan dengan korona dalam waktu panjang.
Budi Sartono Soetiardjo
Pemerhati masalah publik,
Cilame, Ngamprah, Kabupaten Bandung
Ibu Inggit
Kita mengenal Soekarno sebagai proklamator dan Presiden Pertama RI. Di balik perjuangannya, ada sosok bernama Inggit Garnasih.
Ia menjadi istri Bung Karno sejak Bung Karno menjadi mahasiswa di THS Bandung tahun 1923. Ia mengikuti Bung Karno diasingkan ke Ende, 1934-1938, lalu ke Bengkulu, 1938-1942.
Dengan demikian, ia layak mendapat penghargaan pahlawan nasional dari Pemerintah Indonesia. Semoga usulan saya ini bisa menjadi perhatian dan pertimbangan.
Muhammad Sadji
Jalan Cempaka, Jatikramat
Indah I, Bekasi 17421
Konser Dangdut
Pada Sabtu (26/9) malam lampu penerangan jalan di Kota Tegal mati total. Tidak hanya itu, sejumlah ruas jalan ditutup. Sebagian warga mendadak jadi terbatas aktivitasnya. Bisa jadi ini adalah dampak acara konser dangdut di Lapangan Tegal Selatan (23/9).
Seperti diketahui, acara tersebut menuai kritik karena melanggar protokol kesehatan: ribuan orang berkerumun, mengabaikan aturan jaga jarak dan memakai masker.
Acara syukuran Wakil Ketua DPRD Tegal itu bertolak belakang dengan ”ancaman” denda Rp 100.000 kepada mereka yang tidak memakai masker di ruang publik.
Wakil Ketua DPRD Tegal kemudian menjadi tersangka pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan dan Kepala Polsek Tegal Selatan dinonaktifkan.
Akibat teguran Gubernur Jawa Tengah, Pemerintah Kota Tegal diduga bereaksi dalam bentuk mati lampu dan penutupan sebagian ruas jalan.
A RISTANTO
Jatimakmur, Kota Bekasi
Jangan Memanasi
Dari sejak rancangan sampai disahkannya UU Cipta Kerja, berita hoaks, penolakan dalam berbagai bentuk, termasuk demonstrasi dengan mengatasnamakan buruh se-Indonesia, selalu menghiasi pemberitaan nasional.
Media cetak, digital, dan elektronik mengulas dari berbagai sudut. Pengamat ekonomi dengan sigap mengupas pasal demi pasal UU Cipta Kerja yang dianggap memberatkan pekerja atau buruh. Pemerintah dan DPR dituduh menjadi kaki tangan investor dan mengabaikan hak-hak para pekerja.
Dengan surat ini, kami, Asosiasi Pengusaha Mainan Indonesia, bermaksud menyampaikan saran agar media dan para pengamat ekonomi tidak memprovokasi dan memperkeruh pemahaman masyarakat awam. Seharusnya sebelum analisis disajikan ke publik, bandingkan dulu pasal-pasal yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dengan negara pesaing Indonesia, seperti China, Vietnam, India dan pelbagai negara lain. Dengan perbandingan ini, masyarakat dan investor akan menyadari nilai-nilai positif berinvestasi di Indonesia
Ketika China yang berpopulasi lebih dari 1,3 miliar membuka negaranya tahun 1995 untuk investasi asing, angka kemiskinan menurun drastis dan berbagai jenis lowongan pekerjaan menjadi terbuka. Pekerja dengan mudah memilih jenis pekerjaan dan skema upah sesuai dengan kualifikasi.
Kekhawatiran pekerja menjadi budak, mudah dipecat tanpa pesangon, dan lain-lain tidak pernah terjadi. Kaum pekerja justru didorong untuk meningkatkan keahlian apabila berkeinginan mendapat upah di atas UMP dalam industri yang padat teknologi. Sebaliknya, industri padat karya yang masih berada di China harus rela memberi upah lebih tinggi atau paling tidak setara dengan sektor padat teknologi untuk menarik pekerja lulusan SMA, diploma, ataupun universitas.
Vietnam, negara kecil dengan populasi 95 juta jiwa, mengikuti langkah China dalam program kemudahan berinvestasi. Tahun 2000-an, nilai ekspor di beberapa industri padat karya, seperti garmen, sepatu, mainan, tekstil, dan furnitur, masih dikuasai oleh Indonesia. Tanpa gejolak, Vietnam berhasil melampaui nilai ekspor produk padat-karya Indonesia.
Kedua negara di atas merupakan contoh keberhasilan negara mengurangi pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan ”kemudahan investasi”.
Marilah kita dukung UU Cipta Kerja supaya laporan McKinsey Global Institute yang menyatakan ekonomi Indonesia akan berada di urutan ke-7 dunia pada 2030 benar-benar menjadi kenyataan.
Sudarman Widjaja
Ketua Umum Asosiasi
Pengusaha Mainan Indonesia
”Ojo Dumeh”
Nasihat leluhur tentang ojo dumeh ini bernuansa halus, lembut, tetapi penuh makna.
Ojo dumeh kuwoso artinya jangan mentang-mentang berkuasa. Ojo dumeh sugih berarti jangan mentang-mentang kaya, dan seterusnya.
Dengan ojo dumeh, kita selalu diingatkan untuk berlaku adil dan amanah, apalagi bagi yang sedang berada di ”atas”. Menjadi kewajiban bagi orang yang sedang berkuasa dan mendapat amanah dari rakyat melalui takdir Tuhan untuk mendengar suara rakyat. Bukankah demokrasi itu mendengarkan suara rakyat?
Presiden Jokowi dalam sebuah acara debat calon presiden, menurut Tajuk Rencana Kompas (Selasa, 6/10/2020), juga menyebutkan bahwa dalam alam demokrasi, suara rakyat adalah suara Tuhan.
Bagaimana kenyataannya?
Revisi UU KPK tetap mulus tanpa menengok keberatan rakyat. Penundaan pilkada karena adanya Covid-19 juga tidak dilakukan meski banyak elemen yang menyuarakan. Bahkan, RUU Cipta Kerja tergopoh-gopoh dipaksakan pengesahannya meski penuh dagelan politik.
Lantas, di mana keberadaan makna demokrasi Pancasila? Yang ada hanyalah demokrasi kuat-kuatan, yang banyak dan kuat akan mengatur segalanya.
Ojo dumeh, demikian leluhur kita mengingatkan. Jangan sampai terjadi gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati hanya meninggalkan nama yang buruk.
Sejarah akan mencatat semua perilaku kita.
SRI HANDOKO
Tugurejo-Semarang
Prihatin
Saya prihatin sangat dalam, mencermati demokrasi jalanan yang akhir-akhir ini marak terjadi di beberapa kota besar, khususnya di DKI Jakarta. Demo itu merupakan upaya penolakan UU Cipta Kerja yang sudah diketok palu di DPR.
Demonstrasi yang tertib dan teratur memang betul menjadi sarana yang menyuarakan aspirasi rakyat. Akan tetapi, membakar, menjarah, merusak fasilitas umum, dan bahkan melempari aparat kepolisian dengan batu layaknya preman-preman brutal sungguh tidak beradab.
Tampaknya kecerdasan intelektual, moral, logika, dan budaya santun milik bangsa Indonesia semakin hilang.
Merusak, membakar, dan mencederai lebih ditampilkan daripada memelihara dan merawat. Otot lebih ditonjolkan daripada otak, teriakan lantang kelompok lebih didengar daripada suara hati nurani. Lebih parah lagi, generasi muda yang masih di bangku sekolah dan perguruan tinggi ikut-ikutan menjadi brutal dan anarki.
Kalau keadaan ini dibiarkan berlanjut, jangan harap mimpi akan menikmati bonus demografi menjadi kenyataan. Sebaliknya, bangsa Indonesia malah akan terperangkap oleh krisis yang luar biasa parah dan kita semua ikut menderita.
Kalau kita tidak cepat membenahi dunia pendidikan dan penegakan hukum, akan muncul lebih banyak lagi orang yang tidak lagi sejalan dalam kemajuan teknologi dan peradaban dunia modern.
Sudah saatnya hukum ditegakkan, tindak tegas para pelaku, kembalikan para pelajar dan mahasiswa ke bangku sekolah dan kuliah.
FX Wibisono
Jalan Kumudasmoro Utara,
Semarang 50148
Sertifikat Tanah
Tahun 2018 setelah Lebaran, kami dari Kelurahan Kampung Melayu, RW 005, Kecamatan Jatinegara mengajukan pembuatan sertifikat tanah kolektif.
Kami menyerahkan berkas dokumen tanah yang dibutuhkan. Kami juga sudah dimintai uang jalan dan sudah kami serahkan. Akan tetapi sampai saat ini, sudah lebih dari dua tahun, sertifikat kami belum ada kabar beritanya.
Di daerah lain banyak yang belum sampai satu tahun sudah menerima sertifikat. Mohon perhatian yang berwenang.
Setiadi
Kelurahan Kampung
Melayu, Kebon Pala