Jalan Lain Merawat Kesedihan
Seno kembali menulis perihal perkara Munir yang kemudian dimainkan secara monolog oleh Happy Salma dengan judul ”Aku, Istri Munir”. Di tengah kecamuk pandemi, lakon ini seolah menjadi pil penenang sekaligus pengingat.
Seni tak cuma soal sensasi artistik di mana kau bisa mencuci batinmu yang lecek dan berbau apek. Di sulur-sulur keindahannya, yang barangkali lebih wangi dari senja, kita sebenarnya sedang merawat segala kesedihan, yang pada galibnya mudah dilupakan oleh sejarah.
Koran-koran mungkin mencatatnya dengan halaman yang jembar, tetapi berapa lama usia sebuah cetakan? Sore hari sering kali huruf-hurufnya sudah rontok dan jatuh di kaki lima menjadi alas tidur para gelandangan kota.
Happy Salma kembali menghidupkan kenangan akan kesedihan yang pernah menimpa bangsa ini. Ia memainkan monolog Aku, Istri Munir yang ditulis sastrawan Seno Gumira Ajidarma pada Sabtu (10/10/2020) secara daring. Di tengah kecamuk pandemi, lakon ini seolah menjadi pil penenang, atau setidaknya menerobos masuk ke dalam ingatan kita tentang sebuah teater tragedi bangsa berjudul Munir.
Dunia media kita pernah heboh ketika mendapat kabar tokoh pejuang hak asasi manusia (HAM) Munir meninggal di atas pesawat Garuda yang membawanya menuju Belanda, 7 September 2004. Ya, Munir sudah meninggal di udara, tepat di atas tanah Romania. Para dokter Belanda kemudian menemukan kandungan racun mematikan bernama arsenik.
Kesimpulannya, Munir dibunuh dengan cara yang sangat terencana. Celakanya, kehebohan itu seperti tak berujung, para pengusut kasus pembunuhan itu tak kunjung menemukan siapa sesungguhnya yang membunuh dan atau bertanggung jawab terhadap penghilangan nyawa Munir.
Kehebohan tentang Munir di media massa berangsur surut. Sejarah dunia HAM hanya mencatat Munir sebagai tokoh pejuang yang dihilangkan secara paksa, (mungkin) karena dirugikan dan atau dihambat kepentingannya oleh sepak terjang Munir, terutama dalam kasus penculikan para aktivis di Tanah Air. Sementara pengusutan kasusnya seolah berhenti dan pelan-pelan berharap dilindas oleh waktu.
Isu dan kabar di surat kabar boleh berganti, tetapi tidak bagi sastrawan Seno Gumira Ajidarma. Tahun 2013 ia memublikasikan cerpen berjudul Aku, Pembunuh Munir (Kompas, 29 Desember 2013), sembilan tahun sesudah peristiwa kematian Munir berlalu.
Seno secara sadar telah ”menggunakan” sastra tak sekadar sebagai penebar sensasi artistik, tetapi juga berironi terhadap realitas ”absurd” yang terjadi di negara ini.
Baca juga: Metamorfosis Drestarata
Pada pembukaan cerpen itu, ia menulis, Aku adalah anjing kurap, karena itu aku membunuh Munir. Tentu, tentu aku tidak membunuhnya dengan tanganku sendiri. Untuk apa? Aku bisa membunuhnya melalui tangan orang lain, sama seperti yang biasa kulakukan kepada orang-orang lain bilamana perlu….
Tentu saja pembukaan itu telah meletakkan dasar-dasar ironi. Lewat kekuatan imajinasi, Seno mencoba menerobos masuk ke dalam benak seorang tokoh pembunuh, pembunuh Munir. Bukankah tokoh pembunuh ini yang tak pernah berhasil ditangkap oleh aparat hukum kita?
Sastra telah menangkapnya dalam wujud pengakuan, yang menurut filsuf Jacques Derrida, menjadi dekonstruksi terhadap realitas. Bahwa sastra hadir justru untuk mengembalikan ingatan manusia agar tak terkungkung oleh teks, tetapi juga oleh konteks peristiwa, yang tak jarang hadir menjadi narasi absurd lantaran seperti tak berujung.
Dalam satu agenda bernama ”Seniman Melawan Lupa”, Happy Salma meluncurkan sebuah film berjudul Kamis ke-300, 18 Januari 2014, di Goethe Institute Jakarta. Pada ajang yang sama, seniman Butet Kartaredjasa membacakan cerpen Aku, Pembunuh Munir karya Seno.
Tak berhenti di situ, Seno kembali menulis perihal perkara Munir yang kemudian dimainkan secara monolog oleh Happy Salma dengan judul Aku, Istri Munir. Apakah kau menyaksikannya? Sayang sekali jika tidak!
Happy berusaha melakukan upaya-upaya artistik untuk mendekati sosok perempuan bernama Suciwati, istri aktivis HAM Munir Said Thalib. Ia misalnya merasa perlu menata rambut dan mengenakan jaket berwarna coklat, yang tampak kedodoran, sebagaimana sering kali terlihat pada sosok Suciwati.
Baca juga: Anak-anak Pelipur Umur
Dari sisi upaya-upaya karakterisasi dan pendekatan bentuk penyampaiannya, pentas ini ingin terus menghidupkan dan kemudian merawat isu seputar tragedi dan kesedihan yang menimpa bangsa ini. Secara teks Seno terus-menerus melakukan upaya-upaya meletakkan perspektif yang tepat untuk terus menghidupkan kasus HAM dalam ingatan kita.
Pentas dikerjakan oleh sebuah tim yang memadukan para pekerja seni lintas bidang, seperti Seno (sastrawan), Happy (aktris), Yosef Anggi Noen (sineas), Iskandar Loedin (skenografi), dan Deden Jalaludin Bulqini (multimedia), untuk mencari bentuk baru pementasan teater di masa pandemi.
Kau cukup membeli tiket seharga Rp 35.000, selanjutnya mengklik sebuah tautan dan rawatlah ingatanmu tentang kisah Munir dan Suciwati, yang tak kenal lelah membersihkan negara ini dari kotoran bernama keculasan, kedengkian, bahkan kekejian.
Naskah yang sama sebenarnya pernah dimainkan Happy, lima tahun lalu saat peringatan 11 tahun kepergian Munir. Namun, Happy merasa perlu untuk terus menghidupkannya dalam ingatan kita bahwa kasus-kasus HAM banyak yang sudah dilindas mesin waktu. ”Saatnya seni menjadi pencatat agar ia berdiam di hati sanubari bangsa,” kata Happy Salma.
Sesungguhnya, sastra telah memberi pelajaran penting kepadamu dan juga bangsa kita, ketika Empu Prapanca selesai menulis kakawin besar bernama Desawarnana tahun 1365.
Kakawin yang kemudian lebih populer dengan sebutan kitab Negarakertagama ini terdiri atas 98 pupuh yang berisi tentang silsilah raja-raja Majapahit dan perjalanan Raja Hayam Wuruk (1350-1389) di wilayah kekuasaannya, Jawa bagian timur. Bahkan disebutkan pula kunjungan Hayam Wuruk ke beberapa pertapaan para biksu Buddha, sedangkan Majapahit sendiri adalah kerajaan Hindu terbesar pada era itu.
Baca juga: Pelajaran Menulis!
Jika para arkeolog setengah mati merekonstruksi kisah-kisah seputar perjalanan kerajaan besar bernama Majapahit dari berbagai tinggalan arkeologis, ilmuwan Belanda JJ Brandes telah menemukan catatan penting dalam bentuk teks sastra tahun 1894 di Cakranegara, ibu kota Kerajaan Lombok.
Brandes saat itu mengikuti penyerbuan tentara KNIL untuk menaklukkan Lombok, tetapi sebelum perpustakaan kerajaan dibakar, orang Belanda itu telah menyelamatkan Negarakertagama yang tertulis di daun lontar.
Sejak itu kemudian ditemukan beberapa varian Negarakertagama di Karangasem dan Klungkung, semuanya di Bali. Umumnya, kisah-kisah yang tertera dalam lontar ini disakralkan sebagai ”kamulaan” (asal mula silsilah) hidup dari manusia masa lalu (leluhur) yang kemudian melahirkan generasi manusia di masa kini. Bahwa Majapahit adalah cikal bakal manusia-manusia yang kini tersebar di berbagai pelosok Nusantara, terutama di Jawa dan Bali. Tanpa kitab ini, barangkali timbunan arkeologis tak lebih dari puing-puing koran yang sulit kau satukan dan kemudian konstruksi isi kesejarahannya.
Sastra telah membuktikan diri mencatatkan kebenaran. Seorang sejarawan Inggris bernama Nigel Bullough alias Hadi Sidomulyo, selama 20 tahun telah melakukan perjalanan menyusuri desa-desa yang disebutkan dalam Negarakertagama. ”Saya melakukannya sejak tahun 1971,” kata Hadi Sidomulyo.
Perjalanan panjang Hadi kemudian disatukan dalam buku berjudul Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca (2007), yang berisikan pemetaan terhadap wilayah-wilayah di Jawa bagian timur, yang disebutkan dalam Negarakertagama.
”Hampir semua desa atau wilayah yang disebut benar-benar ada, walau sebagian telah berubah bentuk,” kata Hadi dalam satu diskusi di ajang Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) tahun 2014.
Negarakertagama telah membuktikan bahwa merawat ingatan melalui sastra bisa menerobos waktu berabad-abad. Tak kurang dari tujuh abad setelah kitab itu ditulis, kau dan aku masih bisa merekonstruksi perjalanan raja termasyhur dari Majapahit bernama Hayamwuruk. Bahwa, pertama-tama keberadaan Majapahit berserta silsilah raja-raja dan wilayah kekuasaannya, menjadi lebih teguh keberadaannya setelah pembuktian melalui artefak-artefak arkeologis seperti prasasti dan tinggalan-tinggalan lainnya.
Baca juga: Roti Penawar Nasib
Perspektif sastra, terbukti dengan penyusunan kitab ini dalam bentuk syair-syair yang kemudian dinyanyikan, telah memperkaya narasi besar tentang suatu peristiwa di suatu waktu dan wilayah, tempat peristiwa itu berlangsung. Bahkan bukan tidak mungkin ia menjadi acuan dasar kita dalam mencari kebenaran sejarah.
Seperti kau juga tahu, sejarah terlalu sering ditulis berdasarkan versi rezim yang sedang berkuasa, dan oleh karena itu dia sering jatuh menjadi bias kekuasaan. Bahwa Empu Prapanca yang diduga bernama asli Dang Acarya Nadendra adalah pemuka urusan agama Budha di istana kerajaan Majapahit sehingga ia juga tak luput dari bias kekuasaan. Tetapi setidaknya, kitab ini jadi titik berangkat untuk merekonstruksi sebuah peradaban yang pernah hidup pada masa lalu bangsa ini.
Dang Acarya diperkirakan menyelesaikan penulisan Kakawin Negarakertagama di sebuah desa bernama Kamalasana, yang terletak di lereng sebuah gunung. Pada usia senjanya ia pergi bertapa ke hutan dan kemudian menyelesaikan Negarakertagama pada 1365 sebagaimana dicatatkan dalam kakawin itu.
Apa yang sekarang dikerjakan Seno dan Happy, dan pasti banyak penulis dan pelaku dunia kesusastraan kita, niscaya akan meletakkan sastra dalam posisi strategis dan dominan. Sastra mencatatkan segala peristiwa dengan cara tidak biasa. Ia ibarat jalan lain menuju kebenaran hakiki.
Seno menggunakan bahasa-bahasa yang penuh satire dan kemudian dituliskan sebagai ironi terhadap peristiwa sesungguhnya. Justru karena itulah sastra menjadi mata pisau yang tajam untuk membedah kerumitan realitas sejarah, yang sering kali bias kekuasaan.
Baca juga: ”Manunggaling Kawulo” Puisi
Monolog Aku, Istri Munir telah lahir menjadi kekayaan intelektual, yang didedah dari perspektif seorang perempuan, yang tak kenal lelah menjadi istri dan penyuara kebenaran di garis depan. Suciwati sampai 16 tahun kematian suaminya, Munir Said Thalib, bahkan ketika anak-anaknya beranjak dewasa, terus diganggu pertanyaan, ”Mengapa Abah dibunuh?”
Pertanyaan itu meluncur dari mulut kecil anak keduanya, Diva Suukyi Larasathi, saat masih anak balita. Tidakkah pertanyaan itu kini juga menghantui para penegak hukum dan pemerintah di negara ini?
Jika kau lelah mengharapkan kepastian jawaban secara hukum, sekali lagi, catatkan dalam untaian keindahan, walau kau sendiri harus siap melintasi babak-babak kesedihan yang bisa jadi melemparkanmu ke dalam jurang kepedihan. Suciwati, lewat akting Happy Salma yang selalu memukau, jauh lebih tabah dan tegar dari rata-rata perempuan yang kau kenal.
Kehilangan terbesar di dalam hidupnya, bukan karena kepergian Munir, melainkan pencibiran terhadap kebenaranlah yang melukai hatinya, terus-menerus sepanjang waktu. Ia tahu pencibiran itu telah mengantarkannya memanen kesedihan demi kesedihan, tetapi dari padanya ia belajar tentang cara merawat api yang telah diwariskan suaminya, Munir Said Thalib.