Lion Air digugat di pengadilan litigasi London oleh perusahaan pemberi sewa pesawat, Goshawk Aviation Ltd. Belum lama setelah muncul berita gugatan, Rusdi Kirana akan meluncurkan perusahaan penerbangan baru.
Oleh
MOCH S HENDROWIJONO
·4 menit baca
Akhir September lalu, masyarakat dikejutkan oleh ”musibah” sekaligus ”harapan” yang dialami perusahaan penerbangan terbesar di Indonesia, Lion Air. Perusahaan milik Rusdi Kirana itu digugat di pengadilan litigasi London oleh perusahaan pemberi sewa pesawat, Goshawk Aviation Ltd.
Belum sampai seminggu setelah muncul berita gugatan, Rusdi dikabarkan akan meluncurkan satu perusahaan penerbangan keempat di kelompok Lion, Super Jet.
Lion digugat karena tak mampu bayar sewa tujuh pesawat Boeing 737 senilai 10 juta poundsterling atau sekitar Rp 190 miliar. Presiden Direktur Lion Air Edward Sirait mengatakan, ”Mereka (Goshawk) tetap bilang ini perjanjian jadi tetap harus bayar..., mau bayar pakai apa, orang pesawatnya enggak bisa nyari duit.”
Kontroversi memang, di satu sisi menyatakan tak bisa bayar sewa pesawat yang mungkin segera ditarik pemiliknya. Di sisi lain, mereka akan menambah pengadaan pesawat dengan armada baru yang pastinya menelan biaya ratusan miliar rupiah. Tetapi bukan Rusdi Kirana–mantan penjual tiket pesawat–kalau tak bisa memberi kejutan.
Tetapi bukan Rusdi Kirana–mantan penjual tiket pesawat–kalau tak bisa memberi kejutan.
Bisa jadi dia berhitung, saat ini sudah ribuan pesawat diparkir sementara pemilik pesawat juga harus tetap bayar cicilan dan bunga ke bank. Mungkin saja pesawat akan ditawarkan kepada siapa saja dengan tarif sewa lebih murah, sekadar agar ada uang masuk.
Namun, ancaman gugatan Rp 190 miliar tadi juga tak main-main karena pemberi sewa, lessor, bisa saja mengajukan gugatan kepailitan ke pengadilan di Indonesia. Walau itu jauh api dari panggang, kemungkinannya sulit.
Pengadilan belum tentu kabulkan gugatan pailit. Hakim akan lebih cenderung menimbang dari hilangnya sumber pendapatan ribuan karyawan kelompok Lion Air yang justru akan menimbulkan persoalan jauh lebih serius.
Tetapi dengan tunduk pada prinsip Idera (irrevocable deregistration and export request authorization) sesuai Capetown Convention 2001, perjanjian tidak bisa dibatalkan, pesawat ditarik dan diubah registrasinya begitu saja. Idera merupakan bentuk eksekusi terhadap pesawat jika lessee atau penyewa tidak sanggup membayar sewa atau cicilan.
Lion menyewa pesawat tak hanya ke satu lessor. Garuda dengan jumlah pesawat tak sampai separuh yang dimiliki Lion menyewa pesawat ke 31 lessor. Garuda juga tak mampu bayar sewa akibat Covid-19, tetapi sebelum lessor mengirim notice (peringatan), Garuda sudah melakukan pendekatan. Mereka membangun komunikasi untuk negosiasi atau usul penjadwalan kembali utang. Sampai kini pembicaraan masih berjalan, Garuda bisa jadi selamat dari gugatan.
”Force majeure”
Menurut Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penerbangan Sipil Nasional Indonesia (Indonesia National Air Carriers Association/Inaca) Denon Prawiratmaja, selama masa wabah Covid-10, hanya 20-30 persen pesawat komersial yang bisa dioperasikan. Sisanya diparkir dan tetap dibebani biaya parkir.
Sampai kini pembicaraan masih berjalan, Garuda bisa jadi selamat dari gugatan.
Sewa pesawat beda dengan meminjam uang dari bank yang bisa dapat penundaan pembayaran dengan alasan keadaan darurat (force majeure). Semua maskapai penerbangan (airline) yang menyewa pesawat dari lessor tak bisa berkelit karena tak ada klausul force majeure dalam perjanjian sehingga, ”bayar atau tarik”, tak ada opsi lain.
Menurut pengalaman pengacara yang tahu seluk-beluk dunia sewa-menyewa pesawat dan partner Dentons HPRP, Hendra Ong, jika sudah masuk pengadilan, lessee tak bisa menghindar. Lessor bahkan bisa menuntut perusahaan dipailitkan dengan memenuhi ketentuan hukum yang mewajibkan tuntutan harus datang minimal dari dua perusahaan yang berbeda.
Pemilik pesawat sewa selalu menggunakan dua entitas berbeda dalam membuat perjanjian dengan lessee. Perusahaan pemilik pesawat beda dengan perusahaan penyewaan meski pemiliknya sama. Lalu ada Idera yang harus ditaati.
Pemerintah RI yang ikut meratifikasi Konvensi Capetown wajib memenuhinya dan hanya ada waktu lima hari untuk menyetujui permohonan reposisi pesawat dan mengganti registrasinya. India salah satu yang dijauhi lessor khusus pesawat komersial kecil akibat gagal memenuhi Idera. Rating India jatuh dan tak mudah bagi perusahaan penerbangannya dapat lessor.
Menurut Direktur Kelaikan Udara Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub Dadun Kohar, pemerintah tak bisa membantu dalam kasus seperti dialami Lion. ”Itu sepenuhnya B2B (business to business), kami tidak pernah masuk dalam perjanjian itu.”
Menurut Ong, tak masuknya kondisi force majeure sebagai escape clause (jalan keluar) bisa dipahami. Ketika terjadi perjanjian sewa-menyewa dan lessor melepaskan pesawat yang harganya 40 juta-50 juta dollar AS (sekitar Rp 700 miliar), mereka tiba-tiba tak punya kuasa atas pesawat itu, baik dalam pengoperasiannya maupun perawatannya.
Kalau ada maskapai penerbangan yang gagal bayar sewa atau cicilan, lessor akan mengirimkan notice kepada perusahaan penerbangan. Airline pun harus segera aktif melakukan komunikasi bagaimana supaya default itu tak berlanjut ke gugatan.
Kalau ada airline yang gagal bayar sewa atau cicilan, lessor akan mengirimkan notice kepada perusahaan penerbangan.
Jika beberapa notice sudah dilayangkan dan semua diabaikan atau tak tercapai kesepakatan, lessor menempuh jalan menggugat ke pengadilan. Kalau sudah sampai tahap ini, tak ada jalan lain bagi perusahaan penerbangan untuk menawar, berkelit, dan bersembunyi di belakang punggung pemerintahnya.
Menanggapi kasus Lion, Denon berharap pemerintah ke depannya wajib hadir dalam keadaan seperti pandemi, dengan mengadakan semacam lembaga keuangan seperti LPEI. Lembaga ini yang akan membantu airline jika menghadapi masalah, antara lain dengan lessor.
Menurut Kristi Endah dari Direktorat Kelaikan Udara, usulan itu sedang dibuat aturannya. Lalu bagaimana soal pembentukan entitas airline baru yang dibayangi gugatan Goshawk? Rusdi sudah membuktikan dia bukan orang kemarin sore dalam bisnis maskapai penerbangan.
(Moch S Hendrowijono, Pengamat Transportasi dan Telekomunikasi)