
Saya ingin menambahkan informasi pada tulisan ”26 Provinsi Endemis Rabies” dalam rubrik Sains, Lingkungan & Kesehatan, Kompas, 26 September 2020. Menurut Didik Budijanto, Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan, pemahaman warga tentang rabies masih terbatas.
Yang saya prihatin, masyarakat Indonesia masih beranggapan bahwa (hanya) anjing yang menularkan rabies. Bahkan, ada juga anggapan bahwa virus korona bisa ditularkan oleh anjing. Kiranya masyarakat perlu belajar sains soal anjing, satwa sahabat manusia yang setia.
Sejak kecil, keluarga saya memelihara anjing. Anjing yang tidak divaksinasi rabies tidak serta-merta membuat anjing tersebut terjangkit rabies. Saya yang sudah beberapa kali digigit anjing di rumah baik-baik saja.
Pun di kampung saya di Pangururan (di Pulau Samosir, Sumatera Utara) dan di kampung ibu saya di Doloksanggul, anjing dilepasliarkan. Saat itu tidak ada yang rabies dan tidak menggigit asal tidak diganggu.
Dalam buku Zoonosis, Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia (Soeharsono, 2002), ada dua macam siklus rabies, yakni urban rabies di lingkungan permukiman dan sylvatic rabies yang ada di alam bebas.
Siklus rabies perkotaan pada umumnya terjadi pada anjing geladak atau anjing pembohong, juga pada kucing, monyet, kadang ruminansia dan babi. Sylvatic rabies bersiklus pada satwa liar, seperti rubah (fox) di Eropa, skunk di Amerika Serikat dan Kanada, dan kelelawar pengisap darah (Desmodus rotundus murinus) di Amerika Selatan, Amerika Tengah, dan Meksiko. Jika satwa pembawa sylvatic rabies ini menggigit hewan piaraan, terjadilah urban rabies.
Tidak semua orang yang digigit hewan penderita rabies menjadi sakit karena penyakit rabies tergantung dari tingkat keparahan dan lokasi gigitan. Dengan jangka waktu virus sampai ke otak relatif panjang, ada kesempatan untuk mendapat serum antirabies.
Saat ini baru delapan provinsi bebas rabies, yakni Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Papua, dan Papua Barat. Wilayah kepulauan juga bebas rabies, yaitu Pulau Weh (Aceh), Pulau Meranti (Riau), Pulau Sebatik (Kalimantan Utara), dan Pulau Makalehi (Sulawesi Utara).
Boyke Nainggolan
Jalan Mawar Merah, Perumnas Klender, Jakarta Timur
Tukar Uang 75 Tahun RI
Anak saya ingin mendapatkan uang baru pecahan Rp 75.000 terkait petunjuk arah Kemerdekaan Ke-75 Republik Indonesia. Ia antre pada hari Selasa (29/9/2020) di kantor Bank Indonesia (BI) Cabang Solo, pukul 08.00-09.00.
Setelah cek suhu, cuci tangan, dan mengantre, dia didekati anggota satpam dan yang memakai celana panjang. Saat itu, ia memakai celana tanggung dan menurut saya cukup sopan. Sudah pulang untuk ganti pakaian.
Kembali ke BI, ia antre lagi, menyerahkan data pendukung, mengisi angket, dan seterusnya. Bersamaan dengan anak saya, ada orang yang juga mau tukar uang dengan bercelana pendek dan tidak disuruh pulang.
Setelah dipanggil ke loket untuk pemasukan data ke dalam komputer, ia masuk ke loket penukaran (kasir di lantai 2). Namun, baru sebentar, anak saya keluar dan menangis. Dia gagal tukar uang.
Ternyata, dia tak boleh menukar uang karena jawaban belum menjadi penduduk (belum punya KTP). Padahal, dia memiliki dan membawa KIA (kartu identitas anak) asli, yaitu KTP untuk anak yang dikeluarkan resmi oleh Disdukcapil Kota Surakarta.
Menurut Disdukcapil Kota Surakarta, identitas penduduk itu tidak ada kategori umur, yang penting telah terdata, berarti sah sebagai penduduk Indonesia.
Pertanyaannya, apa yang tukar uang dengan pakaian? Usia? Bukankah KTP lebih sebagai alat bukti diri untuk kebenaran data?
Widodo Rusmanto
Joyosuran, Pasar Kliwon, Surakarta