Pengesahan RUU Cipta Kerja, dan beberapa perubahan UU lainnya adalah capaian tersendiri dalam pembuatan hukum pada era pemerintahan dan parlemen periode ini. Namun, perlu dipikirkan dampak sosial dan capaiannya.
Oleh
M SYAFI'IE
·4 menit baca
RUU Cipta Kerja akhirnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR. RUU ini sejak tahap perencanaan telah dikritik banyak kalangan, terutama para akademisi yang menilai adanya cacat serius pada aspek metodologi, paradigma, dan substansi pengaturannya.
Secara metodologi, UU ini menggunakan pendekatan omnibus law yang dalam teknis penyusunannya melingkupi banyak bidang sehingga akan berdampak pada perubahan dan penghapusan sekitar 79 UU terkait yang notabene memiliki muatan filosofi dan pertimbangan sosiologis berbeda.
Pada aspek paradigmatik, UU Cipta Kerja berorientasi pada tujuan bisnis dan investasi. Cara pandang ini bagian dari ideologi kapitalisme dan neoliberal, di antara cirinya ialah penghilangan semua hal yang menghambat kepentingan investasi, liberalisasi perdagangan, privatisasi BUMN, membuka keran secara tanpa batas investasi asing. Dalam konteks UU Cipta Kerja, ialah deregulasi dengan mengurangi peran, tanggung jawab, dan intervensi pemerintah.
Pada aspek paradigmatik, UU Cipta Kerja berorientasi pada tujuan bisnis dan investasi.
Pada aspek substansi, sudah pasti UU ini meletakkan kepentingan investasi dan investor sebagai hal utama. Dalam hal ini, yang sangat terlihat ialah sentralisasi perizinan, aktor dan keran investasi diperbesar/diperluas, penghapusan dan pengurangan beberapa jaminan hak para pekerja, minimalisasi sanksi pelanggar lingkungan hidup, dan pemberian akses lebih mudah untuk alih fungsi lahan.
Beberapa catatan di atas sudah terdengar saat persiapan dan pembahasan RUU Cipta Kerja. Pengesahan RUU dan adanya reaksi penentangan yang sangat besar dari kalangan buruh, aktivis, dan akademisi ini bermakna tak ada akomodasi yang cukup baik dari pemerintah dan parlemen untuk memperbaiki RUU.
Pengesahan RUU Cipta Kerja oleh parlemen mengulangi kesalahan pengesahan UU No 19/2019 tentang Perubahan Kedua UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No 3/2020 tentang Perubahan UU No 4/ 2009 tentang Pertambangan Mineral Batubara, dan UU No 7/2020 tentang Perubahan Ketiga UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Minus kepercayaan
Pengesahan beberapa UU oleh parlemen yang mendapat perlawanan dari masyarakat dan akademisi memperlihatkan betapa serius permasalahan politik legislasi hukum di Indonesia. Pemerintah dan parlemen sekadar memaksakan kehendak untuk membuat hukum dan merusak secara total kepercayaan publik tentang makna agung sebuah norma hukum dan dalam skala yang panjang mendorong masyarakat untuk melawan dan menyepelekan aturan hukum.
Satjipto Rahardjo pernah mengatakan, hukum tidak berlaku karena ia memiliki otoritas untuk mengatur, melainkan karena hukum itu diterima oleh masyarakat. Pernyataan ini menjelaskan betapa penting bagi pemerintah dan parlemen yang memiliki otoritas untuk membuat hukum agar tidak menafikan pertimbangan filosofis dan sosiologis daripada hukum.
UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU No 15/2019 tentang Perubahan UU No 12/2011 juga menegaskan makna penting naskah akademik yang di dalamnya harus menghadirkan analisis secara detail landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Naskah akademik UU Cipta Kerja dalam ketiga aspek masih menuai kritik dan dapat banyak masukan substantif dari masyarakat dan akademisi.
Pada aspek substansi, sudah pasti UU ini meletakkan kepentingan investasi dan investor sebagai hal utama.
Pada aspek filosofis, sebuah perundang-undangan yang dibuat harus menghadirkan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk memasukkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa yang bersumber pada Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Pada aspek sosiologis, perundang-undangan yang dibuat harus menghadirkan pertimbangan/alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibuat semata-mata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspeknya. UU tentang Pembentukan Perundang-undangan menyebut bahwa pertimbangan landasan sosiologis terkait fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Sebuah peraturan tak boleh melahirkan dampak merusak bagi tatanan masyarakat dan negara.
Pada aspek yuridis, sebuah UU yang dibuat harus memastikan ada pertimbangan atau alasan yang memperlihatkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi masalah hukum atau untuk mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan hukum yang telah ada. Dalam hal ini, harus dipastikan bahwa UU yang akan dibuat tidak berbenturan dengan norma-norma pokok, terutama UUD 1945.
Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis selalu menjadi dasar dalam pembuatan perundang-undangan. Dalam hal ini, pembuatan UU baru akhirnya harus dirancang dengan sangat serius dan melibatkan banyak kalangan, terutama masyarakat yang menjadi pihak atau korban langsung dari sebuah aturan.
Catatan serius UU Cipta Kerja ialah proses pembahasan dan pengesahannya berlangsung cepat, minimnya partisipasi masyarakat, tak mempertimbangkan masukan masyarakat dan akademisi, serta pengesahannya dilakukan dalam suasana yang sangat dipaksakan.
Satjipto Rahardjo mengatakan, hukum itu tertanam ke dalam dan berakar dalam masyarakat. Hukum merupakan pantulan masyarakatnya. Hukum tak berada di dunia yang abstrak, tetapi sebenarnya berada dalam kenyataan masyarakat. Karena itu, sebuah UU semestinya tak dilihat semata pencapaian hukum (legal achievement), tetapi lebih serius harus dilihat sebagai pencapaian sosial (sosiological achievement) dan dampak sosial (sociological impact).
Pengesahan RUU Cipta Kerja, perubahan UU KPK, perubahan UU Minerba, dan perubahan UU MK adalah capaian tersendiri dalam pembuatan hukum pada era pemerintahan dan parlemen periode ini. Namun, perlu dipikirkan dampak sosial dan capaian yang terjadi: apakah konstruktif atau destruktif untuk penghargaan pekerja, lingkungan yang sehat, dan tata kelola bernegara yang bertanggung jawab.
M Syafi’ie, Dosen Fakultas Hukum UII; Anggota Departemen Hukum Tata Negara.