Humanisme Soedjatmoko, Widjojo, dan Jakob Oetama
Humanisme yang menjadi sikap dan aksi ketiga tokoh, Soedjatmoko, Widjojo Nitisastro, Jakob Oetama, dengan berbagai variasi menjadi jiwa dan pandu ”plus minus” di lahan masing-masing.
Belum genap 40 hari kepulangan Jakob Oetama, teringat dua nama yang dia akrabi: Soedjatmoko (1922-1989) dan Widjojo Nitisastro (1927-2012). Dua tokoh besar itu hanya dua nama dari puluhan tokoh lain yang dekat dan diakrabi Jakob. Kecenderungan ketiganya bermuara sama: menghargai martabat manusia dan kemanusiaan.
Saya melihat ada titik-titik temu yang subtil di antara ketiganya, hati dan pemikiran mereka tentang humanisme. Kebetulan saya sering mendampingi Jakob dalam berbagai perjumpaan fisik dengan mereka.
Baca juga : Manusia dan Indonesia, Itulah Pergulatannya
Tentang keakraban Jakob dan Soedjatmoko, karena faktor tebaran Soedjatmoko—akrab dipanggil Koko—intensitas kedekatan mereka tidak seintensif Jakob dan Widjojo.
Perjumpaan fisik terjadi ketika Koko bersilaturahmi ke kantor Jakob, mereka ibarat cocok-cocokan pengamatan dan pemerkayaan gagasan. Juga ketika bertemu dalam pertemuan-pertemuan ilmiah ataupun lewat tulisan-tulisan Soedjatmoko. Pertemuan itu, mengandaikan modal yang sudah mereka miliki, membuat proses pencarian mereka menjadi lebih liat, utamanya dalam konteks humanisme.
Soedjatmoko dalam pengembangan gagasan-gagasan besar sering dikritik tidak membumi, Widjojo dalam mengembangkan konsep dan praksis pembangunan ekonomi Indonesia, Jakob dalam tulisan-tulisannya serta dalam mengembangkan Kompas Gramedia.
Baca juga: Humanisme Jakob Oetama
Perkembangan gagasan humanisme oleh mereka bertiga diredaksi dalam versi masing-masing. Dimensi manusia dalam pembangunan bagi Soedjatmoko merupakan proses pembebasan manusia.
Persoalannya bukan saja pertumbuhan dan pemerataan, melainkan juga kebebasan. Pada simpul itulah Soedjatmoko menjadi pandu gagasan pembangunan yang humanis (Aswab Mahasin: 1983).
Perkembangan gagasan humanisme oleh mereka bertiga diredaksi dalam versi masing-masing.
Widjojo dan Jakob
Kekaguman Jakob kepada Widjojo, karena perjumpaan yang lebih intensif dibandingkan dengan Soedjatmoko, sering dia sampaikan kepada para wartawan Kompas. Widjojo tak hanya dipandang sebagai sosok konsisten dalam komitmen dan etos kerja tuntas, tetapi terutama dalam hal terobosan pemikiran meningkatkan harkat kemanusiaan Indonesia lewat menumbuhkan kemandirian.
Sejak Widjojo diangkat sebagai penasihat ekonomi pemerintahan Soeharto, sering disebut-sebut Widjojo adalah konseptor pembangunan Orde Baru, ada simbiosis mutualisme antara harian Kompas dan Widjojo bersama Tim Penasihat Ekonomi Presiden, yakni antara Widjojo dan Jakob.
Saat Widjojo merasa terdukung oleh Jakob via Kompas—di antaranya Widjojo menyampaikan pemikiran-pemikirannya via artikel di halaman 4 dan berkat terselenggaranya diskusi Tim Ahli Ekonomi Kompas, ide yang berasal dari mereka berdua pada awal 1980-an—hubungan ini menjadi kerja sama yang saling menguntungkan.
Widjojo memperoleh dukungan media dan inklusif Jakob di satu pihak. Jakob mendapatkan lahan dan bahan untuk menjabarkan gagasan-gagasan besar, penjabaran dan eksekusi Widjojo di lain pihak.
Jurnalisme makna yang dikembangkan Jakob memperoleh lahan subur di bawah kekuasaan represif dan media yang diawasi penguasa. Banyak fakta dan persoalan bisa dibuka ”blak” di ruangan tertutup dengan peserta terbatas. Jakob dengan Kompas diapresiasi piawai memilah, memilih, dan mengolah bahan tabu menjadi menu sedap untuk publik, termasuk penguasa yang represif.
Jakob dengan Kompas diapresiasi piawai memilah, memilih, dan mengolah bahan tabu menjadi menu sedap untuk publik, termasuk penguasa yang represif.
Mendampingi Jakob bertemu dengan Widjojo, intensif saya rasakan sejak 2008. Kepada Jakob, dalam sebuah perjumpaan di Kantor Kemenkeu Lapangan Banteng, dalam sebuah ruangan sejuk, Widjojo menyampaikan keinginan menerbitkan uraian dan pemikirannya tentang pembangunan. Di samping itu, ada sejumlah pendapat kolega Widjojo yang tersimpan puluhan tahun.
Siang itu, Widjojo baru pertama kali mengemukakan adanya naskah kedua itu kepada orang lain. Menjawab permintaan Widjojo, Jakob langsung setuju untuk menerbitkan dan berterima kasih atas kepercayaan Widjojo pada Kompas.
Ditemani teh panas, pembicaraan bergulir ke gagasan tentang humanisme Widjojo dan Jakob. Penghargaan martabat manusia dan kemanusiaan menurut Widjojo dia implementasikan dalam program-program pembangunan.
Widjojo menolak kritik bahwa dia mendahulukan pertumbuhan dan mengabaikan kemanusiaan. Jakob yang kental dengan pemikiran humanisme dan menjabarkan dalam praktik bermedia mendukung gagasan dan upaya Widjojo lewat pembangunan ekonomi yang tetap dijiwai humanisme.
Berbeda-beda lahan
Menyaksikan kedekatan Soedjatmoko, Widjojo, dan Jakob Oetama, satu di antaranya dalam gagasan humanisme, tampak bahwa humanisme sudah built-in, menyatu dalam diri mereka jauh sebelum menduduki jabatan-jabatan penting.
Ketika Soedjatmoko dan Widjojo dalam hal humanisme lebih mengaitkan dengan program-program pembangunan nasional ataupun internasional, lewat ranah yang berbeda Jakob mengembangkan gagasan bahwa kegiatan jurnalistik adalah kegiatan pemanusiaan manusia. Permasalahan manusia dan kemanusiaan adalah sentral baginya (P Swantoro, 2001).
Maka, kualifikasi yang harus dipenuhi setiap wartawan ialah kepekaan terhadap manusia, pikiran kritis, lincah, terus mencari dan menggugat, hati yang penuh bela rasa, gelisah, semangat kerja keras tidak setengah-setengah. Salah satu dari empat pokok humanisme Jakob, wartawan tidak boleh kering akan kekayaan hati dan emosi (Sindhunata: 2001).
Salah satu dari empat pokok humanisme Jakob, wartawan tidak boleh kering akan kekayaan hati dan emosi (Sindhunata: 2001).
Asal-usul humanisme tidak lepas dari kehadiran peradaban baru Renaissans abad ke-16. Salah satu tokoh humanis, Erasmus Huis (1469-1536), tak terjebak dalam kedua ekstrem—keilahian dan kemanusiaan—meski ia tetap menghormatinya.
Kemunculan tokoh reformasi Martin Luther (1483-1546) secara tidak langsung dipengaruhi Erasmus (The Philosophy Book, London: Dorling Kindersly Limited, 2011). Sifat khas humanisme adalah peka terhadap penderitaan sesama manusia.
Dipraksiskan di Kompas dengan dua ikon pendirinya, PK Ojong dan Jakob Oetama, humanisme turun sebagai jati diri dan sistem kerja. Jakob yang jeli dengan gagasan-gagasan besar memungut pelbagai ungkapan untuk menegaskan sikapnya. Adagium ”menghibur yang papa dan mengingatkan yang mapan”—dikutip dari wartawan Chicago Evening Post, Finley Peter Dunne: comforts th’ afflicted, afflicts th’ comfortable.
Dalam salah satu paper yang ditulis bersama Kathleen Newland, 1986, satu dari beberapa tulisan selama dua dekade sebelumnya, Soedjatmoko menyampaikan topik humanitarianisme sebagai kerangka etis solidaritas manusia. Nilai-nilai dasar humanisme, seperti toleransi, bela rasa, sikap saling menyertakan semua, solidaritas, mendapat tempat dalam kerangka koheren analisis ataupun tindakan humanistis.
Humanisme yang menjadi sikap dan aksi ketiga tokoh, Soedjatmoko, Widjojo Nitisastro, Jakob Oetama, dengan berbagai variasi menjadi jiwa dan pandu ”plus minus” di lahan masing-masing.
St Sularto, Wartawan.