Lanskap kesehatan mental dunia kelabu gelap. Devora Kestel, Direktur Kesehatan Mental dan Masalah Penggunaan Zat WHO tahun 2020 mengatakan, sebelum pandemi Covid-19, satu miliar manusia hidup dalam gangguan mental.
Oleh
LIMAS SUTANTO
·5 menit baca
Lanskap kesehatan mental dunia kelabu gelap. Devora Kestel, Direktur Kesehatan Mental dan Masalah Penggunaan Zat WHO tahun 2020 mengatakan, sebelum pandemi Covid-19, satu miliar manusia hidup dalam gangguan mental. Setiap tahun terjadi kehilangan satu triliun dollar AS akibat merosotnya produktivitas sebagian umat manusia yang menderita anxiety dan depresi.
Wabah korona tentu kian membuat kelam gambaran itu. Terisolasinya keadaan psikis; hilangnya pendapatan dan pekerjaan; kelekatan berlebih pada gawai, internet dan media sosial di tengah belitan kesepian; serta kebijakan publik yang tidak menentu dan tak memberikan rasa aman, menciptakan kerentanan aktual parah bagi merebaknya gangguan mental.
Wabah korona tentu kian membuat kelam gambaran itu.
Keadaan ini secara ironis berdampingan dengan kenyataan dunia yang terbiasa berinvestasi tipis untuk kesehatan mental. Rata-rata negara di dunia hanya menanamkan kurang dari 2 persen anggaran kesehatannya untuk kesehatan mental. Dari jumlah itu, 80 persennya dikucurkan untuk keperluan terkait rumah sakit jiwa, bukan untuk layanan berbasis komunitas yang bakal berdampak penyehatan lebih luas dan besar.
Padahal, investasi untuk kesehatan mental sebenarnya tak akan merugi. Setiap 1 dollar AS penggunaan dana bagi terapi berbasis bukti untuk mengatasi anxiety dan depresi akan membuahkan pengembalian sebesar 5 dollar AS. Tiap 1 dollar penanaman anggaran bagi evidence based care bagi pasien yang mengalami ketergantungan zat akan memberikan pengembalian senilai 6 dollar AS.
Federasi Kesehatan Mental Dunia melantunkan semboyan untuk Hari Kesehatan Mental Sedunia, 10 Oktober 2020, “Kesehatan Mental untuk Semua Orang: Penanaman Modal yang Lebih Besar, Keterjangkauan yang Lebih Besar”.
Keadaan paling mendasar yang mendasari kerentanan mental pada manusia adalah insecure attachment, hubungan perpautan tak aman di masa bayi dan kanak-kanak, terutama dalam kurun waktu antara saat kelahiran hingga bayi, anak, berusia 18 bulan. Perpautan insecure adalah pengalaman hubungan insan amat belia dengan pengasuh utamanya, yang olehnya terhayati tidak konsisten, tak responsif, tak menentu, tidak dapat diandalkan.
Penelitian prospektif selama 30 tahun oleh Fan dkk dan dilaporkan pada 2014, menegaskan betapa bayi-bayi yang mengalami perpautan tidak aman pada saat mereka berusia delapan bulan, berisiko mengalami gangguan mental 30 tahun kemudian. Heim & Nemeroff, 2001, melaporkan depresi, anxiety, dan problem penggunaan zat, ketiganya terkait dengan pengalaman berpaut tidak aman.
Heim & Nemeroff, 2001, melaporkan depresi, anxiety, dan problem penggunaan zat, ketiganya terkait dengan pengalaman berpaut tidak aman.
Kenyataan ini menerbitkan pengertian penting, bahwa kesehatan mental bukanlah “urusan satu pribadi bersendiri” (one-person psychology), melainkan “perkara pada seseorang, yang keterjadian dan perjalanan perebakannya senantiasa terkait dengan relasinya dengan orang lain” (two-person psychology).
Masalah mental pada manusia tidak pernah merupakan akibat dari keadaan genetiknya saja, atau efek dari kelemahan pribadinya belaka. Ia terjadi dan merebak hanya dalam konteks hubungan si manusia dengan liyan, masyarakat, lengkap dengan lingkungan yang melingkupinya, yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan publik yang dibuat dan dilaksanakan dalam negaranya.
Posisi kesehatan mental adalah krusial karena kesehatan mental yang buruk memunculkan kesehatan fisik yang buruk pula. Davies, dkk, 2009; McWilliams & Bailey, 2010; serta Puig, dkk, 2013, melaporkan betapa morbiditas medis, seperti problem nyeri kronis, penyakit kardiovaskular, dan penyakit berbasis peradangan, berhubungan dengan attachment yang buruk. Felitti, dkk, 1998, menerangkan bahwa pengalaman psikis buruk di masa kanak-kanak berkorelasi dengan keterjadian penyakit fisik di masa dewasa.
Lebih lanjut lagi, relasi psikososial yang buruk pun menorehkan pengaruh yang negatif terhadap kesehatan jasmani. Hasil penelitian epidemiologis Puig, dkk, 2013, menunjukkan bahwa relasi sosial yang tak baik dapat membawa akibat berupa masalah fisik seperti merokok, obesitas, dan keengganan beraktivitas. Para peneliti ini juga mencatat bahwa kualitas relasi dekat, terutama hubungan pernikahan, berefek signifikan terhadap sistem kekebalan tubuh, sistem neuroendokrin, dan resiliensi terhadap stres.
Felitti, dkk, 1998, menerangkan bahwa pengalaman psikis buruk di masa kanak-kanak berkorelasi dengan keterjadian penyakit fisik di masa dewasa.
Upaya terbaik untuk menumbuhkembangkan kesehatan mental dimulai di keluarga yang secara hakiki adalah lingkungan relasional terdekat bagi individu belia. Prinsip ini perlu diberi perhatian: kesehatan mental setiap insan adalah fenomena psikososial, senantiasa terkait erat dengan hubungan individu itu dengan liyan, terutama ibu, ayah, pengasuh utamanya.
Maka kesehatan mental dimulai dari fasilitasi relasi perpautan yang aman di setiap keluarga, dengan psikoedukasi untuk keluarga, terutama bagi calon ibu/ayah, juga untuk setiap pengasuh dalam keluarga. Pusat pelayanan kesehatan mental niscaya terdapat dan menyebar merata di tengah lingkungan yang dekat dengan keluarga-keluarga. Puskesmas bisa diperbarui struktur dan fungsinya untuk jadi pusat pelayanan kesehatan mental garis depan yang murah tapi mangkus.
Mementingkan kemanusiaan
Perlu digarisbawahi betapa lingkup sosial bagi setiap individu adalah juga masyarakat di luar keluarga, yang keadaannya sangat dipengaruhi oleh kebijakan publik.
Menumbuhkembangkan kesehatan mental berarti pula menjamin pembuatan dan pengejawantahan kebijakan-kebijakan publik yang mementingkan kemanusiaan, melampaui semua nafsu materialis, obyektivis, kuantitatif. Selain itu, dilandasi pandangan mata, wawasan yang terhampar jauh ke depan, bukan terpaku pada hasrat jangka pendek yang menolak peleraian; dan diresapi pengetahuan ilmiah serta kesadaran memadai tentang kedudukan genting dan pengaruh besar kesehatan mental terhadap kesegenapan kesehatan individual dan kesehatan masyarakat.
Data dalam psikoanalisis neurobiologis menegaskan bahwa keadaan mental berhubungan erat dengan struktur dan fungsi otak atau sistem saraf pusat. Penjaminan perkembangan dan perawatan struktur dan fungsi sistem saraf pusat sejak kehidupan dini hingga masa tua, bagi janin, bayi, anak, remaja, orang dewasa, dan lansia—kata John Bowlby, sang pelopor teori attachment, “from the cradle to the grave”—sungguh menjadi benang merah mental health care.
Asupan gizi, kesehatan jasmani menyeluruh, dan faktor genetik tentu bekerja memengaruhinya. Tetapi, yang satu ini perlu mendapatkan perhatian yang serius: perkembangan dan pemeliharaan struktur dan fungsi otak, mental, yang baik, sudah pasti merupakan perkara relasional antara sang individu dengan liyan dan lingkungan—“psikologi dua-insan”, bukan “psikologi seorang diri”.
Asupan gizi, kesehatan jasmani menyeluruh, dan faktor genetik tentu bekerja memengaruhinya.
Neuroplastisitas sistem saraf pusat berlangsung dalam penanggapan-penanggapannya atas segenap pengalaman relasional. Maka kesehatan mental juga pasti merupakan perkara kebijakan publik. Kebijakan publik rasional, peka rasa, sensitif afektif , humanistik, berpihak pada kepentingan rakyat, inklusif dan tak diskriminatif, dilaksanakan dengan konsisten, jujur, dan penuh perhatian, adalah landasan umum yang untuk berlangsungnya relasionalitas kemanusiaan yang baik. Di atasnya, kesehatan mental ada dan menjadi.