Setiap anak manusia diciptakan bisa belajar dalam suka cita. Merawat suka cita anak dalam menyerap muatan pengetahuan dan mengasah keterampilan belajar tentunya membutuhkan keterampilan pedagogis guru.
Oleh
ANITA LIE
·4 menit baca
Salah satu pilar dalam peningkatan mutu pendidikan adalah kurikulum. Perubahan kurikulum di hampir setiap negara demokratis selalu diiringi polemik karena proses kurikulum sangat kompleks dan sering kali tergelincir dalam politisasi dan pertarungan kepentingan.
Kurikulum yang baik memperhatikan proses formulasi visi dan konsep, penyusunan, uji publik dan sosialisasi, penyampaian dan evaluasi kurikulum itu sendiri. Pakar kurikulum Alan Glatthorn membagi kurikulum ke dalam enam tahapan atau jenis: kurikulum ideal, kurikulum yang ditulis, kurikulum yang didukung, kurikulum yang diajarkan, kurikulum yang diujikan, kurikulum yang diserap. Kesalahan yang sering dibuat oleh para penyusun kurikulum maupun pengkritiknya adalah fokus hanya pada salah satu tahapan atau jenis kurikulum.
Saat ini polemik tentang penyederhanaan kurikulum sudah bermunculan dan mengerucut pada penghapusan mata pelajaran Sejarah. Isu ini sudah dibantah langsung oleh Mendikbud. Sepanjang perdebatan tak bernada ad hominem (misalnya mempersoalkan siapa yang terlibat di tim penyusunan kurikulum), kita menyambut gembira perdebatan mengenai isi dan proses kurikulum karena berbagai diskursus akan mematangkan kurikulum itu sendiri.
Kesalahan yang sering dibuat oleh para penyusun kurikulum maupun pengkritiknya adalah fokus hanya kepada salah satu tahapan atau jenis kurikulum.
Para penyusun maupun pengkritik rancangan kurikulum tentunya mengemukakan alasan dan pertimbangan masing-masing yang bernada ideologis dengan acuan pada kurikulum yang diserap (siswa).
Di balik perdebatan dalam ruang antara kurikulum ideal dan kurikulum yang diserap ini sebenarnya ada pertarungan kepentingan berbagai pihak yang akan terdampak dan terkait dengan keberadaan program-program studi di LPTK yang menjadi pemasok guru.
Dengan kata lain, susunan mata pelajaran pada jenjang pendidikan dasar-menengah paralel dengan program-program studi di LPTK. Saat penyusunan Kurikulum 2013, guru dan dosen Bahasa Inggris menyampaikan protes terkait pengurangan jam pelajaran Bahasa Inggris.
Protes waktu itu tak sekeras protes guru/dosen Sejarah saat ini yang mengkhawatirkan reduksi bidang studi yang mereka ampu di kurikulum yang saat ini dalam tahapan kedua, yakni penyusunan kurikulum yang ditulis. Disrupsi yang diangankan perlu mengantisipasi potensi gelombang reaksi.
Sebaik apa pun kurikulum yang ditulis, jika tahapan dalam proses selanjutnya diabaikan, maka pada tahap akhir persekolahan (kurikulum yang diserap siswa), tujuan-tujuan yang diharapkan tak akan tercapai. Tiga tahapan di antara berkas-berkas kurikulum yang ditulis dan apa yang akan diserap siswa merupakan realitas yang bisa diamati di ruang kelas. Konsep kurikulum yang baik seyogianya juga mempertimbangkan kesiapan di ruang kelas.
Asumsi ini mengandung prasyarat bahwa para guru sudah kompeten dan terampil dalam mengelola kelas serta merancang dan memfasilitasi sesi-sesi pembelajaran bermutu yang mengajak para siswa belajar secara aktif dan mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Dalam tataran kurikulum ideal, penambahan atau pengurangan mata pelajaran biasanya terkait dengan dinamika antara mencakup keluasan dan menggali kedalaman.
Muatan kurikulum yang berupaya mencakup terlalu luas akan menyisakan sedikit waktu bagi guru untuk mengajak siswa menggali kedalaman. Sebaliknya, jika keluasan cakupan dikurangi padahal guru belum siap menggali kedalaman, siswa akan kembali menjadi korban dalam kurikulum yang terlalu mudah.
Aktor utama kurikulum
Tentu ada banyak aktor selama enam tahapan kurikulum. Namun, aktor utama seyogianya adalah siswa dan guru. Ketika pengurangan atau penambahan muatan pelajaran jadi suatu keniscayaan, kita patut bertanya apa yang akan dikurangi atau ditambah serta apa yang akan masuk dalam kategori wajib dan apa yang jadi pilihan. Jangan sampai kita melakukan kesalahan yang pernah dibuat negara lain karena lalai mempelajari dan mengkaji permasalahan dengan tepat.
Apakah pengurangan mata pelajaran ini hanya sekadar tawaran pilihan beberapa mata pelajaran IPS—Geografi, Sejarah, Sosiologi, Ekonomi, dan Antropologi—sehingga jadwal pelajaran harian anak sekolah jadi lebih ringkas? Atau apakah cakupan materi pengetahuan setiap mata pelajaran juga akan dikurangi? Jika cakupan akan dikurangi, perlu kajian lebih mendalam materi apa yang harus dipertahankan dan apa yang bisa dibuang.
Siswa sebagai aktor utama kurikulum seyogianya jadi rujukan utama dalam penyusunan kurikulum melalui pertanyaan mendasar apa yang siswa butuhkan di masa kini dan masa mendatang. Pertanyaan ini pasti tak mudah dijawab karena ketidakpastian tantangan di masa depan dan keberagaman siswa yang sangat tinggi di Indonesia. Karena faktor ketidakpastian ini, para penyusun kurikulum di banyak negara kemudian memasukkan porsi keterampilan berpikir.
Terkait argumentasi keterampilan vs muatan pengetahuan, setiap pendidik pasti sadar siswa butuh keduanya (selain nilai dan karakter, tentunya). Resep yang baik menghasilkan makanan yang lezat dan bergizi jika memuat informasi bahan dan cara memasak yang tepat. Demikian pula kurikulum. Informasi bahan memuat komposisi beragam materi dengan takaran yang sesuai.
Materi ini tak akan membuahkan hasil yang baik tanpa pengolahan dengan keterampilan dan strategi yang efektif. Mengingat keberagaman siswa yang sangat kompleks di Indonesia, siswa bisa punya kebutuhan dan kesiapan belajar yang sangat berbeda antardaerah dan antarkelas sosio-ekonomi. Namun, ada satu kesamaan di antara semua siswa.
Setiap anak manusia diciptakan bisa belajar dalam suka cita. Suka cita dalam belajar akan jadi modal utama anak menyongsong masa depan yang tak pasti. Merawat suka cita anak dalam menyerap muatan pengetahuan dan mengasah keterampilan belajar tentunya membutuhkan keterampilan pedagogis guru. Sebelum sampai ke kurikulum yang diserap.