Liga Bola Basket Indonesia (IBL) bernasib sama dengan Liga Sepak Bola yang harus batal karena ketiadaan izin keramaian. Padahal, olahraga tanpa liga adalah ironi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Serupa dengan liga sepak bola, asa bergulirnya lagi IBL muncul September lalu. Ketika itu, Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo mendukung bergulirnya IBL selama mengutamakan aspek kesehatan (Kompas, 8/10/2020).
Seiring pembatalan liga sepak bola, sudah terasa di insan bola basket bahwa keputusan Polri terkait izin keramaian IBL bakal tak jauh beda dengan sepak bola. Meski sinyal sudah mengarah ke sana, datangnya kabar pembatalan itu tetap menyakitkan.
Sejumlah pengelola klub basket kontestan IBL mengungkapkan kekecewaannya. Ibarat tim sudah siap berlaga, kejuaraan yang diidamkan batal digelar.
Olahraga tanpa kompetisi jelas-jelas membuat klub dan penyelenggara sangat terdampak. Klub telah mengucurkan banyak dana untuk berlatih, termasuk menggelar sejumlah laga uji coba. Belum lagi biaya terkait urusan tes Covid-19 yang selalu menyertai perjalanan tim sebagai konsekuensi dari penanganan pandemi Covid-19.
Pebasket tentu sangat terdampak. Hari-hari mereka sudah didedikasikan untuk berlatih demi kompetisi. Namun, kini para pebasket bagaikan sudah jatuh tertimpa tangga. Pertama, mereka tidak bisa bermain. Adapun yang kedua, kejelasan soal kapan mereka menerima gaji juga makin tidak jelas.
Jika dalam skala mikro pemain tidak menerima gaji, itu menjadi penanda riil berhentinya denyut nadi industri olahraga bola basket nasional. Andai bisa bergulir pun, bola basket Indonesia belum sepenuhnya bisa dikategorikan memenuhi syarat eksis secara industrial. Apalagi jika liga dibatalkan.
Jangan bermimpi mendekati bola basket di Amerika Serikat yang sejak lama hidup sesuai kaidah industri olahraga. Sebagai satu contoh, valuasi klub-klub basket di AS pada 2019, sesuai data Forbes, mencapai miliaran dollar AS. Klub terkaya pada 2019 adalah New York Knicks yang valuasinya mencapai 4 miliar dollar AS atau setara dengan hampir Rp 60 triliun.
Di Indonesia, belum banyak klub yang hidup secara profesional. Hanya beberapa saja yang dihidupi oleh sponsor, bahkan sampai bisa membiayai atlet mereka studi lanjut (S-2). Tak heran, ada status sosial yang cukup elite di kalangan pebasket Indonesia karena gaji yang berkecukupan plus fasilitas studi lanjut bagi atlet di sebagian klub.
Dengan ketiadaan IBL, praktis memusnahkan kemungkinan bangkitnya industri olahraga nasional. Saran agar pemerintah tidak menyamaratakan kebijakan terkait penerbitan izin keramaian liga cukup rasional. Singkatnya, jika suatu standar terkait protokol kesehatan telah dipenuhi, bisa saja liga cabang tertentu diizinkan berjalan.
Jika disamaratakan, itu menutup peluang hidupnya kembali industri olahraga yang sedikit banyak membantu perekonomian Indonesia. Sudah sekitar tujuh bulan kompetisi basket terhenti. Tanpa liga, tanpa kejuaraan, tiada denyut industri olahraga. Dan, itu sebuah ironi industri olahraga.