Berbeda pendapat atau tidak sepakat atas satu hal itu sah-sah saja. Namun, ketika buku yang menjadi sasaran, tampaknya kita sedang mengalami kemunduran yang amat serius.
Oleh
ANTON KURNIA
·4 menit baca
Tanggal 27 September hingga 3 Oktober 2020 diperingati dunia sebagai Banned Books Week atau Minggu Buku Terlarang. Ini adalah peringatan tahunan yang dimaksudkan sebagai perayaan atas laku membaca. Peringatan ini mulanya diinisiasi oleh sejumlah organisasi pembela kebebasan berekspresi di Amerika Serikat yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Kegiatan ini diluncurkan kali pertama pada 1982 sebagai reaksi atas pelarangan dan persekusi atas buku-buku tertentu di berbagai sekolah, perpustakaan, dan toko buku di AS.
Bagi kita di Indonesia, pelarangan dan penyitaan buku adalah persoalan yang belum tuntas. Walau saat ini Mahkamah Konstitusi telah mencabut kewenangan Jaksa Agung untuk secara sewenang-wenang melarang beredarnya suatu buku, buku-buku yang pernah dilarang beredar pada masa lalu belum juga ”diputihkan”. Keputusan resmi pelarangan buku-buku itu belum ada yang dicabut.
Keputusan resmi pelarangan buku-buku itu belum ada yang dicabut.
Menurut Stanley, peneliti dari Institut Studi Arus Informasi (ISAI), selama 31 tahun Orde Baru berdiri tercatat lebih dari 2.000 buku yang dilarang beredar. Sebagian besar karena alasan politis. Contohnya buku-buku karya para ”sastrawan kiri”, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Utuy Tatang Sontani.
Pelarangan pertama dimulai Orde Baru tak lama setelah pecah Peristiwa G30S, tepatnya pada 30 November 1965. Saat itu Pembantu Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Bidang Teknis Pendidikan Drs K Setiadi Kartohadikusumo melarang 70 judul buku. Ini disusul dengan pelarangan ”membabi buta” terhadap semua karya dari 87 pengarang yang dituduh sebagai bagian dari kelompok kiri yang harus dilibas habis dari ”bumi Pancasila”.
Terkadang ini sama sekali tak ada hubungannya dengan isi buku. Yang menarik, pelarangan karya 87 pengarang yang ditandatangani pejabat yang sama pada 6 Desember 1965 tersebut bukan keputusan yang berdiri sendiri, melainkan lampiran dari keputusan yang dikeluarkan sebelumnya, yakni Keputusan Nomor 1381/1965.
Dalam lampiran itu juga disertakan nama 21 pengarang yang buku-bukunya harus dimusnahkan dari seluruh perpustakaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Akibatnya, banyak buku penting dari masa itu musnah. Sebagian besar dibakar habis, baik oleh penguasa maupun oleh pemiliknya sendiri yang takut ketahuan memiliki atau menyimpannya.
Kemunduran
Alasan pelarangan itu nyaris seragam, yakni karena dianggap tulisan yang menyesatkan, memutarbalikkan sejarah, serta merendahkan pemerintah Orde Baru dan pimpinan nasional. Namun, proses peradilan yang obyektif tak pernah digelar.
Namun, proses peradilan yang obyektif tak pernah digelar.
Sejak reformasi bergulir pada tahun 1998, iklim kebebasan literasi sempat tercipta. Sejumlah buku terlarang dan bacaan kiri diterbitkan. Namun, masih saja terjadi insiden pelarangan buku, terutama terhadap buku-buku yang dianggap kiri dan menyebarkan ”ajaran komunis”. Hantu komunis dan kampanye ketakutan terhadapnya itu biasanya dihidup-hidupkan sebagai jualan politik setiap bulan September.
Pelarangan buku yang terus dilestarikan oleh penguasa atau oknum agen pembodohan tentu saja amat memprihatinkan. Seakan-akan masyarakat tak berhak menentukan informasi mana yang patut dipercayai serta tak cukup dewasa untuk menilai mana yang benar dan mana yang salah sehingga harus didikte.
Buku adalah sumber ilmu. Siapa pun berhak memberi makna dan meningkatkan nilai kehidupannya dengan membaca, termasuk lewat buku-buku yang tak sehaluan dengan pemegang kekuasaan. Berbeda pendapat adalah wajar. Namun, menggunakan kekuasaan atau kekerasan untuk membungkam perbedaan pendapat, apalagi demi hasrat mendapatkan pendapatan, tentu saja kurang ajar.
Sungguh ironis. Kita punya sastrawan sekaliber Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) yang pernah dicalonkan sebagai pemenang Hadiah Nobel Sastra. Namun, tragisnya, selama puluhan tahun lewat keputusan resmi pemerintah karya-karya Pramoedya termasuk dalam daftar hitam: dilarang beredar karena alasan-alasan yang terkadang tak masuk akal.
Sementara, di luar negeri karya-karyanya terus diterjemahkan dan pengarangnya diganjar medali penghargaan, antara lain dari Pemerintah Perancis dan Jepang.
Pelarangan buku tentu tak hanya terjadi di negeri kita. Sejarah mencatat La Divina Commedia karya penyair Italia abad ke-14, Dante Alighieri, termasuk buku yang pernah diharamkan oleh gereja. Vatikan bahkan memublikasikan Index Librorum Prohibitorum atau Daftar Buku-buku Terlarang pada 1559 di masa kepemimpinan Paus Paulus IV. Daftar tersebut resmi dihapuskan oleh Paus Paulus VI pada 14 Juni 1966.
Pelarangan buku tentu tak hanya terjadi di negeri kita.
Buku-buku karya para sastrawan kritis di Eropa pun sempat dilarang beredar di negerinya sendiri. Tengoklah novelis asal Cekoslowakia, Milan Kundera, yang baru seminggu lalu diumumkan sebagai pemenang Franz Kafka Prize tahun ini.
Kundera yang hidup dalam pengasingan di Paris sejak 1975 terpaksa kehilangan kewarganegaraannya gara-gara menerbitkan novel The Book of Laughter and Forgetting pada 1978 yang membikin penguasa Cekoslowakia saat itu kebakaran jenggot.
Baru setahun lalu hak kewarganegaraan dari pengarang berusia 91 tahun itu dipulihkan kembali oleh Pemerintah Ceko.
Sekali lagi, berbeda pendapat atau tidak sepakat atas satu hal itu sah-sah saja. Namun, ketika buku yang menjadi sasaran, tampaknya kita sedang mengalami kemunduran yang amat serius. Pemaksaan kehendak dengan melakukan pelarangan atau razia buku musti segera dihentikan dan buku-buku yang pernah dilarang itu harus ”diputihkan” secara resmi.