Aparat hukum harus menindak tegas siapa saja yang melanggar aturan. Regulasi tinggal regulasi jika dalam praktik tidak dijalankan atau dijalankan dengan pelaksanaan yang masih tebang pilih.
Oleh
Ratni Kartini SSi
·3 menit baca
Kasus positif Covid-19 dalam sepekan terakhir meningkat pesat. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mencatat, ada kenaikan 16,4 persen sepanjang 23-29 September dibandingkan dengan pekan sebelumnya. Pada periode tersebut terdapat 30.641 kasus Covid-19 dari sebelumnya 26.314 kasus.
Tentu saja adanya kenaikan ini tidak bisa dipandang sebelah mata mengingat semakin acaknya rumpun (kluster) penyebaran Covid-19. Butuh perhatian dan kerja sama semua pihak untuk menekan laju penyebaran.
Pertama, perlu partisipasi aktif dari masyarakat dalam mencegah penyebaran Covid-19. Upaya yang bisa dilakukan adalah dengan cara tetap tinggal di rumah bagi yang tidak memiliki keperluan penting untuk keluar rumah. Kalaupun harus keperluan keluar rumah, jangan lupa senantiasa ikuti protokol kesehatan. Bawa penyanitasi tangan atau mencuci tangan dengan sabun, menggunakan masker, dan menjaga jarak aman.
Kedua, tentu saja dari pihak negara, dalam hal ini pemerintah, perlu lebih proaktif, baik dari sisi mengedukasi masyarakat terkait penyebaran Covid-19. Begitu juga membuat regulasi yang lebih ketat untuk memutus rantai penyebaran. Untuk proses edukasi penyebaran Covid-19 dan sosialisasi regulasi, pemerintah bisa bekerja sama dengan media dan lembaga kesehatan.
Selain itu, aparat hukum juga harus menindak tegas siapa saja yang melanggar aturan. Regulasi tinggal regulasi jika dalam praktik tidak dijalankan atau dijalankan dengan pelaksanaan yang masih tebang pilih.
Jika semua pihak menjalankan peran masing-masing, kita optimistis bisa melewati pandemi ini.
Mungkin ini surat kesekian kali setelah surat saya dimuat di Kompas pada 20 Juli dan 7 September silam.
Saya mengikuti Kompas sejak 2015, tepatnya di bangku kuliah semester dua. Saya senang dengan penyajian beritanya yang aktual dan akurat, terutama di kemasan cetak.
Saking cintanya, koran saya simpan dari awal berlangganan hingga kini. Sempat terpikir membundelnya, tetapi tidak jadi karena pasti repot sekali.
Saya menikmati semua yang ada di kemasan cetak. Desain, parade iklan di setiap halaman, hingga infografik yang sangat komunikatif.
Namun, hal itu tidak saya temukan lagi sejak perubahan besar mulai Juli 2019. Jumlah halaman berkurang, surat pembaca yang selalu saya baca tidak hadir setiap hari (kecuali hari Minggu dan ada iklan) dan penyajiannya tidak sepadat seperti awal saya berlangganan. Bahkan, di rubrik Ekonomi dan Bisnis tidak ada lagi grafik kurs mata uang.
Saya masih ingat betul di Kompas 15 November 2019 dan 15 Juli 2020, iklan terlalu ekspansif. Lagi pula, apa pentingnya bagi saya, pembaca?
Akan lebih baik jika halaman itu memuat tulisan yang sejatinya merupakan kelebihan Kompas. Sudah tipis, iklannya mengganggu keasyikan membaca. Seperti seorang presenter bilang, ”Setelah jeda iklan yang satu ini.”
Saya pernah usul agar harga Kompas cetak dinaikkan saja supaya tidak ”nombok”. Namun, hal itu belum dilakukan. Berapa pun naiknya, tidak masalah bagi saya. Semoga pembaca lain juga setuju pendapat saya demi kualitas penyajian berita yang lebih baik lagi.
Soalnya, saya gemas dengan kondisi sekarang. Seolah-olah masyarakat kita jadi malas membaca dan gampang sekali menyerap informasi hoaks.
Saya sangat peduli dengan gerakan literasi, baik dengan buku maupun media informasi fisik. Bukan digital.
Alvin L Alkhaf
Pesma UMS, Pabelan, Solo
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas kesetiaan Anda membaca Kompas. Dalam industri media, iklan dibutuhkan menjadi sumber tenaga untuk menggerakkan aktivitas, termasuk menyubsidi harga bagi pembaca/pelanggan. Tanpa iklan, harga koran akan mahal. Mayoritas isi koran tetap berita.