UMKM Setelah Adaptasi Kebiasaan Baru
Memang untuk menyelesaikan permasalahan UMKM tidak semudah membalik telapak tangan. Pandemi Covid-19 bisa menjadi momentum untuk mengubah dan mendorong kinerja sektor UMKM menjadi jauh lebih baik lagi.
Pandemi Covid-19 telah menimbulkan efek negatif yang sangat besar terhadap kondisi perekonomian di hampir semua negara, termasuk Indonesia. Hampir semua negara yang sudah terjangkiti virus korona baru penyebab Covid-19 masuk ke dalam jurang resesi ekonomi.
Hal yang sama terjadi pada Indonesia. Perekonomian Indonesia hampir bisa dipastikan mengalami resesi setelah triwulan II mencatat pertumbuhan negatif 5,32 persen dan triwulan III diperkirakan kembali terkontraksi sekitar 2,1 persen.
Guncangan ekonomi akibat Covid-19 telah meluluhlantakkan hampir seluruh sendi serta fundamen perekonomian nasional dan salah satu sektor yang paling terdampak adalah kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hal ini berbeda dengan dua kondisi krisis ekonomi sebelumnya. Jika pada krisis ekonomi 1997/1998 dan 2008 UMKM mampu menjadi penyelamat atau bumper perekonomian nasional, kali ini UMKM paling menderita.
Pada krisis ekonomi 1997/1998 dan 2008 UMKM mampu menjadi penyelamat atau bumper perekonomian nasional, kali ini UMKM paling menderita.
Kinerja UMKM selama masa pandemi Covid-19 jatuh sangat dalam. Roda produksi para pelaku UMKM hampir berhenti total karena kehilangan dua pasar sekaligus, pasar input bahan baku produksi dan pasar output produksi. Di sisi input produksi, UMKM kehilangan pasokan bahan baku produksi akibat banyak perusahaan pemasok juga gulung tikar. Sementara di sisi output produksi, UMKM kehilangan pangsa pasar yang sangat besar karena menurunnya daya beli serta perubahan pola perilaku konsumsi masyarakat.
Tantangan UMKM
Perubahan pola perilaku masyarakat dengan diterapkannya pembatasan sosial (social distancing) dan pembatasan interaksi fisik (physical distancing) telah mengakibatkan produksi terhambat dan pasokan bahan baku produksi untuk UMKM berkurang signifikan.
Menurunnya pasokan bahan baku produksi ini berpotensi mengerek naik harga barang dan jasa yang dihasilkan UMKM sehingga menurunkan daya saing produksi dan daya beli masyarakat pada waktu bersamaan.
Kenaikan biaya juga terjadi di sektor transportasi dan logistik akibat pembatasan kapasitas angkutan untuk mencegah penyebaran virus. Hal ini ikut menyumbang pada meningkatnya harga pokok produksi dan harga jual di tingkat konsumen. Padahal, selama ini biaya logistik di sektor industri Indonesia sudah sangat tinggi, lebih dari 25 persen dari total biaya produksi.
Tantangan terbesar UMKM lainnya adalah penggunaan teknologi informasi yang sangat masif. Pembatasan sosial dan interaksi fisik telah mendorong penggunaan e-dagang dan e-dompet secara masif. Bagi para pelaku UMKM dan pelaku usaha ultramikro, ini menjadi tantangan yang tidak mudah.
Tantangan terbesar UMKM lainnya adalah penggunaan teknologi informasi yang sangat masif.
Selama ini, sebagian besar UMKM belum terbiasa menggunakan teknologi e-dagang dan e-dompet. Menurut catatan pemerintah, saat ini terdapat 23 juta UMKM yang belum bankable di mana salah satu karakteristiknya adalah usahanya masih tradisional dan belum memiliki akses yang baik terhadap teknologi informasi.
Baca juga : Pandemi dan Momentum Digitalisasi UMKM
Pemerintah telah berupaya meminimalkan dampak buruk pandemi Covid-19 terhadap kelompok UMKM. Pada masa awal pandemi, pemerintah telah mengeluarkan lima paket skema perlindungan pemulihan UMKM di tengah pandemi Covid-19. Lima skema tersebut adalah bantuan sosial untuk UMKM yang sangat rentan, insentif pajak, relaksasi dan restrukturisasi kredit serta subsidi suku bunga, perluasan pembiayaan modal kerja, serta penetapan BUMN dan pemda sebagai penyangga UMKM.
Apakah skema ini akan efektif dan sesuai dengan kebutuhan UMKM? Ada beberapa masalah krusial UMKM yang sebenarnya belum terjawab di dalam skema bantuan pemerintah tersebut.
Pertama, terkait validitas data. Menurut catatan pemerintah, saat ini terdapat 60 juta UMKM dan 23 juta di antaranya belum bankable. Namun, sejauh ini pemerintah belum memiliki data akurat terkait sebaran dan mitigasi UMKM, mana yang perlu dibantu dan mana yang bisa ditangguhkan. Pemerintah juga belum mampu memetakan sektor UMKM apa saja yang menjadi sektor kunci dan prioritas di masa pandemi ini.
Kondisi di atas menyebabkan besar kemungkinan penyaluran program bantuan berdasarkan skema tersebut tidak akan tepat sasaran sehingga akan menurunkan tingkat efektivitasnya. Padahal, di sisi lain, untuk memulihkan kondisi ekonomi nasional, pemerintah memiliki anggaran sangat terbatas.
Ada beberapa masalah krusial UMKM yang sebenarnya belum terjawab di dalam skema bantuan pemerintah tersebut.
Kebutuhan UMKM
Langkah pemerintah melalui lima skema perlindungan dan pemulihan UMKM di masa pandemi Covid-19 perlu diapresiasi. Namun, program tersebut belum cukup untuk menjawab permasalahan yang dihadapi oleh UMKM pada era new normal atau adaptasi kebiasaan baru saat ini.
Berkurangnya pasokan dan menurunnya penjualan merupakan masalah kasuistis yang terjadi selama masa pandemi. Perubahan pola perilaku masyarakat, baik dalam hal konsumsi maupun keuangan, akan menjadi masalah terbesar yang dihadapi UMKM ketika pandemi sudah terlewati.
Di era adaptasi kebiasaan baru, para pelaku UMKM tidak bisa lagi mengandalkan gaya bisnis klasik yang mempertemukan penjual dan pembeli secara on the spot. Pola konsumsi dan keuangan masyarakat saat ini telah bergeser ke dalam platform digital yang menuntut semua transaksi dilakukan secara mobile, cepat, tetapi tetap aman.
Untuk menyelesaikan masalah perubahan platform bisnis ini, paling tidak pemerintah harus menyediakan dua hal. Pertama, pemerintah harus meningkatkan rasio keterjangkauan jaringan internet.
Jaringan internet harus bisa masuk ke daerah-daerah sentra produksi di wilayah perdesaan dan daerah pinggiran yang selama ini belum tersedia akses internet yang memadai. Pemerintah juga harus memberikan pendidikan kepada para pelaku UMKM supaya bisa memanfaatkan akses internet ini untuk ekspansi pasar di dunia maya.
Selain penyediaan infrastruktur dan perangkat keras jaringan internet, pemerintah juga harus menyediakan sistem pembayaran digital yang aman bagi UMKM. Langkah ini sudah dan sedang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). Bahkan, BI telah mengeluarkan cetak biru Sistem Pembayaran Indonesia 2025. Langkah BI ini diarahkan sebagai solusi untuk menjawab tantangan perubahan pola perilaku transaksi masyarakat di era digital.
Baca juga : Pembayaran Digital Menggerakkan Konsumsi
Selain masalah perubahan pola perilaku masyarakat, permasalahan klasik yang selama ini menghantui kinerja dan menghambat perkembangan UMKM di Indonesia harus segera diselesaikan.
Pemerintah juga harus memberikan pendidikan kepada para pelaku UMKM supaya bisa memanfaatkan akses internet ini untuk ekspansi pasar di dunia maya.
Masalah tersebut adalah terbatasnya akses pasar, terutama akses pasar ekspor, tingkat daya saing yang rendah, akses permodalan yang terbatas dan tingginya biaya modal, serta masih banyaknya barang impor yang menjadi substitusi produk UMKM.
Memang untuk menyelesaikan permasalahan UMKM tersebut tidak semudah membalik telapak tangan. Namun, dengan usaha yang serius, kolektif, dan terintegratif, serta pantang menyerah dari pemerintah bersama BI, Otoritas Jasa Keuangan, serta pelaku UMKM sendiri, sektor UMKM dapat maju dan bisa naik kelas menjadi usaha menengah dan usaha besar. Pandemi Covid-19 bisa menjadi momentum untuk mengubah dan mendorong kinerja sektor UMKM menjadi jauh lebih baik lagi.
Agus Herta Sumarto
Dosen FEB UMB dan Ekonom Indef