Problem Subsidi Kuota Internet
Kalau Kemendikbud berpikir holistik, matang, dan mempertimbangkan keberlanjutan program PJJ, seharusnya jalan yang ditempuh adalah melakukan penguatan dan pengembangan lembaga yang dimiliki, juga melibatkan UT.
Guna kelancaran pelaksanaan pembelajaran jarak jauh, Kemendikbud mengalokasikan anggaran Rp 7,2 triliun mulai September hingga Desember 2020.
Anggaran ini disalurkan kepada 55,7 juta siswa, guru, mahasiswa, dan dosen selama pandemi Covid-19.
Jika dicermati saksama, kebijakan ini memiliki banyak kelemahan dan terkesan menghambur-hamburkan uang negara dengan ukuran output dan hasil yang tidak jelas.
Baca Juga: Konsumsi Kuota Internet Masyarakat Indonesia
Uang itu akan habis dalam empat bulan tanpa meninggalkan jejak apa pun yang bisa dikenang anak bangsa. Kebijakan ini hanya menguntungkan industri telekomunikasi yang sahamnya tak lagi sepenuhnya milik RI dan produsen ponsel pintar (smartphone) di mana kita hanya konsumen. Dengan demikian, kebijakan subsidi kuota internet (pulsa) betul-betul salah sasaran karena dana dari APBN dipakai untuk memberikan keuntungan ke kapitalis transnasional.
Kebijakan subsidi pulsa terkesan mengabaikan sejumlah faktor. Pertama, masih adanya keterbatasan jaringan internet di banyak wilayah desa sehingga ada kesulitan bagi sebagian siswa mengakses internet.
Kebijakan subsidi pulsa terkesan mengabaikan sejumlah faktor.
Kedua, fakta di lapangan menunjukkan banyak siswa TK hingga SMP yang belum memiliki ponsel pintar, baik karena faktor ekonomi maupun karena orangtua yang sudah memiliki kemampuan literasi digital yang memadai.
Bagi yang belum memiliki karena faktor ekonomi, subsidi pulsa akan menambah beban yang kian bertumpuk bagi orangtua. Selain beban untuk pengadaan gawai, mereka juga akan dibebani pembelian pulsa setelah tidak adanya subsidi.
Sementara bagi yang belum memiliki karena pertimbangan literasi, pihak orangtua akan kesulitan untuk mengembalikan kondisi awal anaknya agar tidak tergantung pada ponsel pintar.
Ketiga, faktor literasi. Tingkat literasi digital, terutama di level siswa dan guru senior, sesungguhnya masih bermasalah. Selama masa pandemi, banyak guru yang memberikan tugas ke anak hanya berupa kegiatan meringkas dan menjawab pertanyaan, tetapi jawabannya dapat diperoleh dengan cara googling. Akhirnya, sisa waktu lebih banyak digunakan anak-anak untuk bermain game online.
Subsidi kuota 35 GB untuk siswa dan 42 GB untuk guru hanya akan meningkatkan intensitas bermain game ataupun akses hiburan bagi guru gagap teknologi. Sebab, tidak mungkin kemampuan literasi digital tiba-tiba meningkat hanya karena ada subsidi kuota. Untuk mahasiswa dan dosen, subsidi kuota relatif tak menimbulkan masalah di aspek pemanfaatannya.
Baca Juga: Solusi untuk Pendidikan
Kebijakan pemberian subsidi pulsa juga merupakan keputusan pragmatik yang tak dilandasi pemikiran holistik, matang, dan berorientasi ke depan. Keputusan itu ibarat hanya menyemprotkan air untuk memadamkan kebakaran tanpa mempertimbangkan kelanjutannya.
Keputusan itu ibarat hanya menyemprotkan air untuk memadamkan kebakaran tanpa mempertimbangkan kelanjutannya.
Jika pendekatan holistik yang dipakai, isu pembelajaran jarak jauh (PJJ) seharusnya tak hanya dipandang dalam kaitan dengan Covid-19. Gagasan penyelenggaraan Radio dan Televisi Pendidikan sudah termaktub dalam naskah Repelita I dan diulang dalam Pidato Kenegaraan Presiden Soeharto, Agustus 1974 dan 1975. Pada 1972, pemerintah membentuk Satuan Tugas Penyelenggara Teknologi Komunikasi untuk Pendidikan dan Kebudayaan (TKPK), yang kemudian pada 1978 ditingkatkan menjadi Pusat Teknologi Komunikasi untuk Pendidikan dan Kebudayaan (Pustekkom).
Realisasi kerja sama TKPK/Pustekkom dengan Direktorat Radio adalah lahirnya siaran Radio Pendidikan dalam rangka program penyetaraan guru SD dan madrasah ibtidaiyah yang diresmikan Mendikbud Syarif Thayeb, Februari 1977 (Habib, 1986). Setelah program penyetaraan dianggap tuntas, program Radio Pendidikan tetap berlangsung dengan sasaran lebih luas. Kerja sama dengan RRI berakhir pasca-Reformasi, terutama sejak RRI jadi perusahaan jawatan (2000-2005).
Keberlanjutan PJJ
Persiapan penyelenggaraan Televisi Pendidikan dianggap sudah cukup matang setelah Pustekkom memperoleh bantuan peralatan produksi audio, film, dan televisi standar broadcast dari USAID tahun 1982. Waktu itu, Pustekkom sudah memiliki SDM terdidik dan ada dukungan kebijakan dari Kemendikbud ataupun Kementerian Penerangan. Proyek pertama kerja sama Pustekkom, TVRI, dan lembaga lain terkait adalah serial televisi ”Aku Cinta Indonesia” (Miarso, 2004).
Proyek Televisi Pendidikan sebenarnya hampir terwujud. Pada 23 November 1987, Mendikbud dan Menteri Pengajaran dan Ilmu Pengetahuan Belanda menandatangani naskah kerja sama di bidang pendidikan. Salah satu isinya, dukungan Pemerintah Belanda kepada Pemerintah RI untuk penyelenggaraan Televisi Pendidikan.
Tahun 1988 ini ditindaklanjuti dengan penyusunan rencana induk program (Misarso, 2004). Namun, belum sampai terealisasi, muncul inisiatif dari swasta mendirikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) yang pada tahap awal siarannya menggunakan fasilitas TVRI dan isinya memanfaatkan hasil produksi Pustekkom.
Sayangnya, sejak TPI beralih format dan kemudian lenyap, eksistensi Pustekkom tidak lagi dikenal masyarakat. Dalam struktur organisasi Kemendikbud 2015, nama Pustekkom pun sudah berubah.
Di tingkat daerah, pendirian Balai Teknologi Komunikasi (Tekkom) untuk mendukung program pembelajaran akhir-akhir ini justru banyak dilakukan. Dari 34 provinsi, tinggal Sumatera Utara, Riau, Babel, Gorontalo, Papua, dan Papua Barat yang belum memiliki Balai Tekkom. Selain institusi Tekkom, Universitas Terbuka (UT) yang berdiri pada 1984 sejak awal sudah membangun sistem pembelajaran jarak jauh.
Sayangnya, sejak TPI beralih format dan kemudian lenyap, eksistensi Pustekkom tidak lagi dikenal masyarakat.
Dengan demikian, kalau Kemendikbud berpikir holistik, matang, dan mempertimbangkan keberlanjutan program PJJ, seharusnya jalan yang ditempuh adalah melakukan penguatan dan pengembangan lembaga yang dimiliki, melibatkan UT, membangun kolaborasi dengan balai Tekkom di daerah-daerah, dan bekerja sama dengan LPP RRI, TVRI, ataupun Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL).
Jika dana Rp 7,2 triliun itu digelontorkan ke institusi-institusi ini, hasilnya pasti jauh lebih produktif, terukur, dan menjadi tonggak sejarah yang dapat dikenang generasi berikutnya. Sebab, semua balai yang ada sudah memiliki jaringan kerja dan pengalaman membuat materi pembelajaran berbasis audio, video, dan multimedia. Selain balai Tekkom, perguruan tinggi (PT) juga dilibatkan untuk membuat materi program PJJ.
Dengan gelontoran dana triliunan rupiah, balai-balai Tekkom akan dengan mudah merekrut para digital content creator di tiap-tiap daerah. Balai-balai Tekkom ataupun PT dapat menyelenggarakan lomba bagi siswa, mahasiswa, guru, dan dosen untuk membuat program PJJ. Maka, kerja sama penayangan program PJJ melalui RRI, TVRI, dan LPPL pun dapat dijamin keberlanjutannya.
Darmanto, Manajer Program Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik.