Saya ikut marah dan kecewa ketika Pak Terawan tidak hadir dalam program televisi ”Mata Najwa”, 29 September 2020. Menurut saya, itulah momentum paling penting Pak Terawan angkat bicara, menyapa rakyat Indonesia.
Oleh
MUHAMMAD KAMARULLAH
·3 menit baca
Kita semua tentu ingin segera menghirup udara segar di luar sana tanpa merasa takut menghadapi ancaman Covid-19. Menjadi kewajiban pemerintah untuk memberi tahu situasi dan perkembangan penanganan Covid-19 ini, termasuk vaksinnya.
Realitasnya, angka-angka kematian dan penularan akibat Covid-19 saja yang disampaikan kepada publik. Lebih parah lagi—yang membuat saya agak pesimistis—orang yang saya percayai, dalam hal ini Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, jarang tampil di media untuk memberikan keterangan terkait dengan Covid-19.
Jujur saja, saya sangat kecewa, tetapi sekaligus rindu Pak Terawan. Di tengah kerepotan menghadapi Covid-19, Pak Terawan adalah orang yang pertama kali saya tunggu untuk memberikan penjelasan terkait situasi yang terkini.
Mengapa begitu? Sebab, informasi telanjur simpang siur baik yang berkaitan dengan penggunaan masker, model penularan baru, ataupun perkembangan vaksin.
Lagi-lagi ini soal kepercayaan. Saya membutuhkan validitas informasi. Bukan berarti saya tidak percaya keterangan lembaga lain. Jika informasi itu sumbernya dari Kementerian Kesehatan, apalagi yang berbicara langsung dengan Pak Terawan, saya akan percaya 100 persen.
Bukankah masyarakat yang terus mendapat info yang tidak jelas sumbernya kenyataannya justru semakin parah kasus penularannya? Besar harapan saya, Pak Terawan tidak berlama-lama absen.
Makanya, saya juga ikut marah dan kecewa ketika Pak Terawan tidak hadir dalam acara televisi ”Mata Najwa”, 29 September 2020. Padahal, menurut saya, di forum itulah momentum yang paling penting Pak Terawan untuk angkat bicara, menyapa rakyat Indonesia.
Beberapa pertanyaan Mbak Nana kepada kursi kosong yang diisi dengan Pak Terawan tidak terjawab. Sayang sekali, padahal sangat mewakili perasaan saya saat ini.
Ketidakhadiran Pak Terawan di ”Mata Najwa” ternyata juga membuat ribut media sosial dan menjadi trending topic di Twitter. Beragam ekspresi dilontarkan; marah, kecewa, sedih, meskipun dengan nada guyon dan satir.
Tolonglah. Setidaknya Pak Terawan adalah representasi pemerintah di tengah rasa cemas ini. Menciptakan hubungan yang harmonis dengan rakyat. Saya menanti.
MUHAMMAD KAMARULLAH
Jalan Raya Dermo, Malang, Jawa Timur
Kursi Kosong
Dalam gelar wicara di salah satu stasiun televisi swasta nasional terjadi wawancara seorang jurnalis dengan kursi kosong. Saya tidak tahu, apakah ini inovasi dalam dunia jurnalistik pertelevisian?
Tayangan sempat viral di beberapa media sosial dan bebas pro dan kontra. Pertanyaannya, apakah pola komunikasi jurnalistik semacam itu lazim dilakukan dalam dunia jurnalistik televisi?
Wartawan mengenal kode etik jurnalistik, pembinaan hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan insan jurnalistik. Media televisi, sebagai bagian dari komunitas jurnalistik, tentu tak lepas dari kode etik ini.
Adegan seorang jurnalis melawan kursi kosong bisa jadi inovasi yang out of the box. Namun, bagaimana pertanggungjawaban dalam hal check and balances?
Wawancara dengan kursi kosong merupakan sindiran terhadap narasumber yang tidak hadir. Namun, etika harus tetap ada dan kesantunan dalam kerja-kerja jurnalistik.
Budi Sartono S
Cilame, Ngamprah,
Kabupaten Bandung Barat
Tiarap atau Teriak
Baguslah di Kompas (Senin, 28/9/2020) ada artikel opini Iwan Pranoto tentang ”Menyoal Kenetralan Pendidikan”, ada berita ”Pengangkatan Pejabat”, serta Surat kepada Redaksi-nya Budi Sartono ”Jangan Ada Korban Sia-sia” dan Dwi Indah ”Why Pilkada Tak Ditunda”, juga ada UU ITE.
Sekali-sekali berteriak itu sehat, jangan terus-terusan bertiarap.