Pemerintah masih memiliki ruang untuk membuat harga tes PCR lebih rendah lagi dengan mendistribusikan jutaan reagen ke seluruh daerah agar setiap fasilitas kesehatan pemerintah bisa memberikan pemeriksaan secara gratis.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Setelah tujuh bulan pandemi Covid-19, pemerintah akhirnya menetapkan batas atas tarif pemeriksaan RT-PCR. Semula, harga tes mencapai jutaan rupiah.
Real time polymerase chain reaction atau tes RT-PCR saat ini memang dianggap paling akurat mendeteksi kehadiran virus korona SARS-CoV-2, penyebab infeksi Covid-19. Kita tahu, hingga saat ini terdapat beberapa cara deteksi dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Tes RT-PCR mendeteksi keberadaan material genetik virus korona. Namun, selama ini, penggunaannya terkendala harga yang mahal dan belum meratanya kapasitas laboratorium pemeriksaan. Pada awal-awal pandemi, beberapa rumah sakit memasang harga Rp 2,5 juta meski sekarang sebagian turun menjadi sekitar Rp 1,4 juta.
Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo pernah mengatakan, biaya pemeriksaan RT-PCR sebenarnya hanya Rp 500.000. Oleh karena itu, surat edaran nomor HK 02.02/I/3713/2020 yang disahkan Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan dr Abdul Kadir, 5 Oktober 2020, membawa angin segar. Isinya membatasi tarif tertinggi RT-PCR mandiri pada harga Rp 900.000.
Dalam situasi darurat seperti sekarang, ketika semua pihak harus bergerak bersama untuk memutus rantai penularan Covid-19, kehadiran surat edaran ini melegakan. Pemerintah memang harus tegas memimpin penanggulangan pandemi.
Dalam upaya menurunkan angka kasus, kita paham perlunya pemeriksaan, pelacakan, dan pengobatan (3P). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan ambang pemeriksaan minimal 1 per 1.000 penduduk per minggu, sementara Indonesia belum mencapai separuhnya.
Dengan jumlah penduduk 274 juta jiwa, pemeriksaan seharusnya mencapai 274.000 per minggu atau 39.000 tes per hari. Sementara saat ini rata-rata di Indonesia masih di bawah 30.000 orang per hari. Baru empat provinsi yang melebihi jumlah tes minimal, yaitu DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera Barat, dan Papua.
Di sisi lain, dengan rasio positif di Indonesia masih di atas 10 persen, peningkatan jumlah kasus positif di Indonesia memang masih memprihatinkan. Artinya, dari setiap 100 orang, dijumpai minimal 10 kasus positif. Padahal, WHO mensyaratkan rasio positif maksimal 5 persen.
Oleh karena itu, segera intensifkan pemeriksaan. Pelbagai metode yang ada bisa digunakan sesuai kondisi di lapangan, lebih baik lagi jika tes PCR tersedia.
Dengan harga yang sudah jauh berkurang, pemerintah tidak hanya bisa memperbanyak pemeriksaan di beberapa wilayah, tetapi juga mendorong pemeriksaan mandiri, perorangan ataupun kelembagaan.
Pemerintah juga masih memiliki ruang untuk menekan harga tes PCR menjadi lebih rendah lagi dengan mendistribusikan jutaan reagen ke seluruh daerah agar setiap fasilitas kesehatan pemerintah bisa memberikan pemeriksaan secara gratis. Dengan demikian, penapisan dan pengobatan bisa berjalan lebih cepat, masif, dan efektif.