Sengkarut Pilkada 2020
Pandemi dan revolusi industri 4.0 harus jadi momentum untuk melahirkan terobosan kreatif-inovatif di berbagai bidang, tak terkecuali dalam hal konsolidasi dan pelembagaan demokrasi di negeri ini.
Isu Pilkada 2020 telah menimbulkan kontroversi yang tajam di ruang publik. Di satu sisi pemerintah melalui KPU menyatakan tak ada penundaan pilkada, di sisi lain sejumlah pihak, seperti NU dan Muhammadiyah serta beberapa tokoh nasional, menyarankan pilkada ditunda hingga ditemukan vaksin Covid-19.
Apa pun argumentasinya, kedua pihak terkesan terjebak dalam sikap nihilistik yang saling menegasikan satu sama lain. Seolah tak ada jalan tengah atau kompromi untuk menyiasati pelaksanaan Pilkada 2020 di tengah merebaknya pandemi Covid-19.
Baca juga : Pilkada di Era Pandemi Covid-19
Lucian W Pye dalam Democracy and Its Enemies (2000: 25) menegaskan, ”democracy calls for compromise, not fierce partisanship even in support of democracy”. Demokrasi meniscayakan kompromi, bukan sikap partisan ekstrem, bahkan ketika mendukung demokrasi. Menurut Bertrand Russel, sebuah keyakinan fanatik atas demokrasi justru akan menyulitkan terciptanya pelembagaan demokrasi.
Isu Pilkada 2020 telah menimbulkan kontroversi yang tajam di ruang publik.
Oleh karena itu, seluruh elemen bangsa—terlepas dari sikap pro-kontra terhadap pelaksanaan Pilkada 2020—harus legawa dan tetap optimistis dalam menyikapi Pilkada 2020. Pasti ada jalan keluar yang bersifat win-win solution. Bukankah bangsa ini dikenal memiliki seribu satu cara (baca: jalan tengah) untuk keluar dari berbagai kemelut persoalan?
Pandemi dan revolusi industri 4.0 harus jadi momentum untuk melahirkan terobosan kreatif-inovatif di berbagai bidang, tak terkecuali dalam hal konsolidasi dan pelembagaan demokrasi di negeri ini.
Digitalisasi pilkada
Jalan tengah dimaksud tak lain adalah digitalisasi pilkada, sebuah gagasan yang sejatinya sudah sering dilontarkan di ruang publik oleh banyak pihak. Jika kantor-kantor kementerian, lembaga pendidikan, bahkan rumah-rumah ibadah sudah menerapkan kebijakan bekerja dari rumah dan protokol kesehatan di bawah tatanan normal baru, kita dapat melakukan hal yang sama untuk pilkada. Dengan melibatkan pihak-pihak yang berkompeten, digitalisasi pilkada bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk diterapkan.
Baca juga : Hak Pilih dan Hak Hidup
Jika pun tak seluruhnya, sebagian tahapan proses pilkada bisa dilakukan secara digital. Tahapan pilkada dimulai ketika para calon kepala daerah mendaftarkan diri ke kantor KPU. Pada tahapan ini, kita sudah menyaksikan bagaimana kerumunan dan iring-iringan orang masih mengabaikan protokol kesehatan. Akibatnya, di tahapan ini saja sudah ada 46 bakal calon kepala daerah yang terinfeksi Covid-19.
Jumlah ini belum termasuk para petugas penyelenggara pilkada (Bawaslu dan KPU) yang terinfeksi Covid-19. Jumlahnya pasti bertambah banyak.
Baca juga : Pilkada untuk Siapa
Tahap berikutnya, kampanye. Di tahap ini, KPU dapat menginstruksikan kepada setiap bakal calon kepala daerah untuk memanfaatkan platform digital dalam mengampanyekan dan menyosialisasikan program atau materi kampanye ke khalayak.
Kampanye klasik melalui pawai, iring-iringan atau berkumpul di lapangan terbuka harus dilarang untuk menghindari persebaran Covid-19. Regulasi kampanye di dalam ruangan perlu ditinjau kembali karena rentan jadi pemicu penyebaran Covid-19.
Regulasi kampanye di dalam ruangan perlu ditinjau kembali karena rentan jadi pemicu penyebaran Covid-19.
Tahap ketiga, pencoblosan (ballot cast). Jika proses digitalisasi tak dimungkinkan seluruhnya pada tahapan ini akibat serapan anggaran yang telanjur dilakukan untuk membeli perlengkapan pilkada, seperti kotak suara dan tinta, KPU dapat mempertimbangkan penerapan pencoblosan ala daring atau jarak jauh (distant voting) secara terbatas hanya pada kelompok usia tertentu atau kelompok rentan. Konsekuensinya, identifikasi dan pendataan pemilih daring merupakan tahapan yang sangat krusial untuk menghindari kekacauan data di lapangan.
Tahap keempat, penghitungan suara (ballot count). Pada tahap ini KPU sudah memiliki pengalaman yang cukup baik karena digitalisasi terbatas telah dilakukan dalam penghitungan dan pengiriman suara. Barangkali isunya masih tetap saja: bagaimana KPU menggaransi proses akuntabilitas dan pengamanan suara yang sudah terkumpul. Harus diakui, inilah tahap paling rawan bagi munculnya kecurangan di lapangan yang dapat menyebabkan kerugian di kalangan pihak-pihak tertentu.
Baca juga: PBNU Desak Pemerintah Tunda Pilkada Serentak 2020
Pengalaman negara lain
Sebenarnya sudah banyak negara yang menerapkan digitalisasi pemilu, baik secara keseluruhan maupun parsial. Jerman dan Austria sudah menerapkan pemilu jarak jauh (remote or distant voting) sejak 1989. Jerman menerapkan pemilu lewat pos sejak 1960 (Marschitz, 2002). Konsep e-voting di Austria dapat diterapkan dengan kehadiran atau ketidakhadiran pemilih untuk proses identifikasi pemilih, proses pencoblosan, dan penghitungan suara lewat teknologi internet.
Finlandia juga menggunakan sistem e-voting untuk proses pemilu. Hukum pemilu di Finlandia memungkinkan pencoblosan sebagai berikut: (1) pemilih dapat mencoblos di bilik suara saat pemilu diselenggarakan; (2) pemilih dapat mencoblos jauh hari sebelum proses pemilu di tempat tertentu; (3) kaum difabel dan orang yang sakit boleh mencoblos dari rumah, rumah sakit, rutan, dan lembaga lain.
Baca juga : Urgensi Memaksimalkan Kampanye Daring
AS adalah negara demokrasi yang telah menggunakan mekanisme daring pada Pilpres 2000 (Coleman, 2000). Para pemilih dapat mengakses berbagai informasi mengenai program capres di laman The Vote Smart. Para pemilih dari 50 negara bagian juga dapat mengunduh formulir registrasi di laman Rock the Vote. Setelah diisi, formulir dikirimkan kembali melalui surat elektronik ke negara bagian masing-masing untuk didaftarkan sebagai pemilih tetap.
Inggris, Swiss, Estonia, Korea Selatan adalah contoh negara yang telah menerapkan sistem demokrasi digital melalui e-voting dengan porsi bervariasi.
Inggris, Swiss, Estonia, Korea Selatan adalah contoh negara yang telah menerapkan sistem demokrasi digital melalui e-voting dengan porsi bervariasi. Kesiapan teknologi informasi, SDM yang melek IT, serta perangkat regulasi merupakan basis fundamental bagi pelaksanaan demokrasi digital (Jansen and Priddat, 2001; West, 2002).
Berbagai kajian tentang demokrasi digital menekankan pentingnya peluang baru bagi terciptanya partisipasi demokratis yang menjangkau sebanyak mungkin pemilih lewat kanal-kanal elektronik untuk proses informasi, komunikasi, dan transaksi (Karmack and Nye, 2002).
Dengan jumlah pemilih lebih dari 106 juta, penyelenggaraan Pilkada 2020 di tengah situasi pandemi menjadi tantangan tersendiri yang harus dicarikan jalan keluarnya. Penetapan jadwal tahapan dan Rencana Anggaran Belanja (RAB) Pilkada yang sudah telanjur diputuskan bukan halangan bagi KPU menerapkan digitalisasi pilkada.
Harus ada perlakuan atau exit strategy khusus untuk mengatasi masalah ini. Berapa pun porsinya, penerapan digitalisasi pilkada merupakan sebuah keniscayaan agar bangsa ini terhindar dari jebakan nihilistik yang saling menegasikan satu sama lain. Kata kaidah fikih, ”jika tidak bisa meraih semua, maka jangan ditinggal semua”.
Masdar Hilmy
Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya