Penurunan ekonomi menjadi hal lumrah di masa pandemi. Karena itu, target rasio pajak 2020 tak perlu muluk-muluk. Yang penting perekonomian tetap bertahan.
Oleh
IRWAN WISANGGENI
·3 menit baca
Pandemi Covid-19 meluluhlantakkan sendi-sendi perekonomian internasional dan nasional. Penerimaan pajak ikut tergerus akibat pandemi ini. Sebelum pandemi, rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) sebagai tolak ukur kinerja pemerintah dalam penerimaan pajak sudah cenderung menurun.
Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan mencatat rasio pajak turun dari 10,76 persen (2015) ke 9,76 persen (2019). Rasio pajak juga menyentuh angka satu digit pada 2017, yakni 9,89 persen.
Banyak aspek yang memengaruhi rasio pajak, baik ekonomi, sosial, maupun politik. Penyebab penurunan rasio pajak pada kurun waktu tersebut adalah penurunan dua sektor industri yang jadi primadona penerimaan pajak, yakni perdagangan dan manufaktur, yakni 1,7 persen dan 4,5 persen. Penurunan lebih tajam diperkirakan terjadi di masa pandemi.
Banyak aspek yang memengaruhi rasio pajak, baik ekonomi, sosial, maupun politik.
Situasi pandemi menyebabkan terjadinya kontraksi ekonomi. Kondisi ini tak seperti kontraksi biasa, di mana pendapatan menurun lebih drastis daripada konsumsi. Pembatasan sosial berskala besar menyebabkan penurunan luar konsumsi masyarakat sehingga terjadi penurunan transaksi perdagangan yang tentunya sangat memengaruhi angka penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Pemerintah berupaya menggerakkan kembali roda ekonomi dengan berbagai regulasi dan stimulus. Salah satunya stimulus pajak, seperti Pajak Penghasilan (PPh) 21, PPh 22, PPh 25, dan PPh untuk UKM. Transaksi perdagangan yang terimbas Covid-19 juga dibebaskan dari PPN. Stimulus pajak ini menggerus penerimaan negara dari pajak (hingga Juni 2020 insentif pajak Rp 10,8 triliun). Maka, bisa dipastikan penerimaan pajak 2020 turun drastis, demikian pula rasio pajak.
Apakah kita akan masuk ke masa resesi ekonomi? Perbedaan utama antara situasi pandemi dan resesi ekonomi adalah konsumsi berkembang lebih lancar selama resesi, seperti terjadi secara historis selama ini.
Dampak pandemi pada perekonomian sebaliknya: terjadi penurunan konsumsi yang luar biasa tajam dan secara konkret melebihi penurunan pendapatan yang diharapkan. Akibatnya, penerimaan PPN turun jauh lebih besar daripada PPh.
Hingga Juni 2020, penerimaan PPN dalam negeri turun 27,7 persen dan penerimaan PPN impor minus 5,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Perlu terobosan
Secara umum, untuk meningkatkan rasio pajak, perlu langkah optimalisasi penerimaan pajak dengan meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak serta meminimalkan kebocoran penerimaan pajak. Namun, itu hanya bisa dilakukan dalam kondisi normal, bukan saat pandemi seperti saat ini.
Perlu terobosan untuk menghimpun penerimaan pajak, misalnya dari pajak digital atas konsumsi produk digital dari luar negeri. Namun, pelaksanaannya tak semudah yang dibayangkan karena untuk menjaring pajak ini perlu upaya keras pemerintah mengawasi transaksi perdagangan di dunia maya.
Perlu terobosan untuk menghimpun penerimaan pajak, misalnya dari pajak digital atas konsumsi produk digital dari luar negeri.
Pemerintah dapat membuat aspek pajak baru seperti pengenaan pajak lingkungan atas konsumsi BBM dan plastik sekali pakai. Batalnya penerapan pajak lingkungan di Indonesia karena ada berbagai masalah, seperti kekhawatiran dalam praktiknya akan sulit membedakan tujuan pajak ini untuk budgetary atau regulatory. Juga ada potensi tumpang tindih, pengusaha yang sudah dikenai berbagai jenis pajak, dikenai pajak baru. Pajak kesehatan konsumsi rokok juga bisa dijajaki.
Perlu pembenahan dari sisi makroekonomi untuk mempercepat penerimaan pajak masuk ke kas negara. Memperbaiki kondisi ekonomi saat ini sangat sulit karena negara besar seperti AS dan China juga terpukul akibat pandemi dengan kontraksi ekonomi masing-masing sekitar 5 dan 6,8 persen.
Penurunan ekonomi menjadi hal lumrah di masa pandemi. Karena itu, target rasio pajak 2020 tak perlu muluk-muluk. Yang penting perekonomian tetap bertahan, Indonesia tak jatuh ke jurang resesi berkepanjangan dan pengusaha dapat terus menjalankan bisnisnya.
Kondisi perekonomian Indonesia diperkirakan membaik pascapandemi, dengan pertumbuhan 2021 diprediksi BI 5,2-5,6 persen, seiring meningkatnya produktivitas global dan pulihnya perdagangan dunia.