Informasi dari ”Kompas” menjadi ”trivia” dalam ingatan saya, menjadi sumber penghasilan sampingan yang lebih dari lumayan ketika saya menjadi anggota tim riset Kuis Siapa Berani.
Oleh
Reinhard R Tawas
·3 menit baca
Tulisan M Jusuf Kalla di Kompas sehari setelah kepergian Pak Jakob Oetama menyebut, ”Kompas adalah Jakob Oetama, Jakob Oetama adalah Kompas.” Dalam banyak hal, menurut saya, ”Kompas adalah pembacanya. Pembacanya adalah Kompas.”
Sejak bisa membaca, saya selalu membaca Kompas. Jika pergi jauh, pulangnya saya baca tumpukan Kompas agar tidak ketinggalan. Pertama kali saya baca Kompas sebagai koran dinding di barak Batalyon Kavaleri 3, Malang.
Saya ingat di papan yang cukup panjang terdapat, antara lain, harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Ketika itu koran terbit empat halaman sehingga tidak perlu papan bermeter-meter. Kompas ketika itu tintanya paling pekat sehingga buat saya yang masih SD membacanya lebih nyaman. Sejak itu saya tidak pernah berhenti membaca Kompas, kecuali ketika dibredel.
Sebagai pembaca, saya dulu cukup sering menulis ke ”Redaksi Yth” dan dimuat. Kemudian, saya juga menulis di halaman olahraga Kompas meskipun tidak sering, terakhir 26 Desember 2013.
Sebagai pembaca, saya sangat beruntung karena informasi yang ada: peristiwa besar, seperti penyerbuan Uni Soviet dan Pakta Warsawa atas Cekoslowakia; pembunuhan Martin Luther King Jr dan Robert Kennedy; pendaratan manusia di bulan; ”Tet Offensive”, dan banyak lagi, menjadi ”trivia” dalam ingatan saya.
Di kemudian hari ”trivia” ini menjadi sumber penghasilan sampingan yang lebih dari lumayan ketika saya bekerja dengan Ibu Ani Sumadi dan kemudian Helmy Yahya. Seorang anggota tim riset Kuis Siapa Berani, saya bisa membeli seri baru mobil laris dari ”trivia” yang saya peroleh, antara lain, dari Kompas.
Selamat jalan Pak Jakob Oetama. Semoga Kompas tetap jaga amanat beliau. Terima kasih.
Reinhard R Tawas
Kebon Kacang XI, Tanah Abang, Jakarta 10240
Wajar atau Pengelabuan?
Saat ini banyak pengguna jaringan internet mengeluhkan kualitas jaringan. Banyak yang sudah berlangganan sekian Mbps, tetapi hanya mendapatkan setengah, bahkan kurang dari setengah, dari yang dijanjikan provider.
Jika menelepon ke layanan pelanggan (CS), jawabannya, ”Ooo itu, kan, up to, jadi realitasnya bisa jauh dari itu.”
Berperisai istilah up to, provider internet bisa dengan seenaknya memberikan layanan yang tidak sesuai dengan kesepakatan kontrak, sementara pelanggan tetap harus membayar penuh tanpa kompensasi apa pun.
Apakah hal ini sudah sesuai dengan semangat UU Perlindungan Konsumen? Jika dibiarkan, saya khawatir nantinya akan diikuti produsen dan penyedia jasa lain, seperti tegangan listrik up to, oktan bensin up to, bahkan jam kerja pun up to.
Saya mohon anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat bisa meluruskan.
Dr Benny B Tjandrasa
Dosen; Alumnus DIM
Unpad
Paket Tak Sampai
Anak saya memesan tas kanvas dari Jakarta, dikirim melalui JNE. Pihak penjual mengirim 23 September.
Karena barang tidak kunjung tiba, pada 28 September anak saya menghubungi JNE melalui e-mail. Tidak ada respons dari JNE.
Pada 30 September kembali anak saya menghubungi JNE melalui Facebook Messenger dan DM Instagram JNE. JNE merespons dengan pertanyaan apakah anak saya sebagai pengirim atau penerima dan detail barang. Anak saya sudah melengkapi pertanyaan itu.
Mereka mengatakan, proses maksimal empat hari dari pembuatan laporan. Per tanggal hari itu barang belum sampai dan saya tulis surat ini. Menurut resi, status sudah dikirim penjual 23 September dan per 24 September berangkat dari Jakarta.